Daisypath - Personal pictureDaisypath Anniversary tickers

Sabtu, 29 Desember 2012

Balita Sekarang: Ekspresif, Kritis, dan Demokratis.

Sedikit-sedikit bertanya apa, siapa, kenapa, kok bisa? Dan orang dewasa di sekitarnya akan memutar otak dengan keras supaya bisa menjelaskan dengan tepat (Sesuai usia anak) dan memuaskan rasa ingin tahunya. Begitulah kira-kira gambaran kondisi anak-anak (dimulai saat bisa bicara) zaman sekarang yang cenderung lebih kritis dan terbuka dalam menyampaikan pendapat. Jika ada yang bertanya mungkinkah ada anak-anak yang memiliki level rasa penasaran sangat rendah? Maka penulis akan mengakui menjadi salah satu anak tersebut di masa lalu.

Kisah aneh ini tentang penasaran seorang anak yang dipendam dalam waktu lama, dan mendapatkan jawaban dengan sendirinya setelah bertahun-tahun kemudian. Jadi begini, sejak mulai bisa membaca wajar kan kalau seorang anak paling tertarik dengan deretan huruf yang membentuk sepatah dua patah kata pendek? Salah satu benda yang sering kulihat di rumah adalah koleksi kaset milik orang tua. Jangan heran selain lagu anak-anak (zaman dulu masih banyak lagu anak-anak yang sedang hits), beberapa lagu orang dewasa yang dinyanyikan oleh Ebiet G. Ade dan Nike Ardilla cukup akrab di telingaku saat itu. Nah, kebiasaan Ayah adalah menuliskan kaset koleksinya dengan tulisan Abu Nila. Masih belum menemukan keanehan? Mari kita lanjutkan cerita ini di paragraf berikutnya.

Jadi sejak SD itu dalam hati sedikit bingung kenapa di kaset yang bukan milikku malah tertulis namaku. Lagi-lagi karena si anak itu memiliki level rasa penasaran yang rendah, jadilah ia mengambil kesimpulan sendiri. Apa kesimpulannya? Tulisan Abu Nila itu merujuk pada penggabungan nama Ayah dan namaku. Maksudnya? Memang itu merupakan salah satu kata dari nama Ayahku. Padahal saudara-saudara ternyata kesimpulan bertahun-tahunku itu benar-benar salah alias sotoy banget.

Kira-kira enam tahun kemudian sekolah di pesantren, yang pelajaran utama dan paling awal diajarkan adalah bahasa Arab. Ternyata kata Abu itu berasal dari bahasa Arab, yang artinya bapak, ayah, papa, papi, atau sebutan lainnya untuk pasangan kata ibu. Oh, itu to maksudnya jadi kata Abu Nila di kaset koleksi Ayah dulu itu maksudnya milik bapaknya Nila. Kenapa hanya namaku yang dipakai bukan nama kedua adikku? Mungkin saat membelinya dulu memang baru diriku yang lahir ke dunia ini. Jawaban yang baru kudapatkan setelah bertahun-tahun ini, juga diperkuat dengan kebiasaan para ustad (sebutan guru di pesantren) yang baru memiliki anak dan mendapat panggilan Abu...... (Nama anaknya) dari beberapa rekan ustad lainnya. Sampai saat ini pun cerita ini tidak pernah kubagi dengan siapa pun ^_*.

Kisah lainnya yang juga tak kalah memalukan adalah ketika diri ini sejak SD menganggap bahwa setiap orang yang menikah maka sudah pasti tidak lama kemudian perutnya membesar dan segera memiliki adik bayi. Namun, keganjilannya adalah ketika diri berpikir itu semua terjadi tanpa adanya proses apapun dan tidak pernah sekalipun bertanya mengenai sebab musababnya ada adik bayi lahir (Anak-anak sekarang mungkin sudah bertanya tentang dari mana datangnya adik bayi, yang membuat orang tuanya mungkin kebingungan menjelaskannya). Hal tersebut masih tetap kuyakini sampai SMP (Seiring kemajuan zaman anak SMP saat ini mungkin sudah mendapatkan edukasi seks yang dulu dianggap sebagai hal tabu). Apalagi zaman dulu belum banyak kejadian pernikahan dini akibat kecelakaan, dan juga mayoritas kerabat yang baru menikah memang langsung memiliki anak, jadi menurutku secara otomatis Allah akan memberikan adik bayi hanya kepada orang yang sudah menikah.

Kenyataan menunjukkanku bahwa anggapanku tidak sepenuhnya benar. Ketika mulai melihat fenomena di masyarakat, ternyata ada orang yang bertahun-tahun menikah tidak punya anak, dan ada pula yang belum menikah (masih sangat muda) tapi perutnya bisa membesar dan kemudian punya bayi. Selain itu juga diperkuat dengan pelajaran Biologi yang menunjukkan perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Maka di penghujung SMP (khususnya setelah akil baligh) baru menyadari ternyata memang ada "sesuatu" baik berupa proses atau apa pun itu namanya (yang meski saat itu belum mengerti jelas) yang membuat adanya janin bisa tumbuh di rahim dan kemudian lahir menjadi seorang manusia baru bernama bayi.

Itulah kira-kira gambaran anak-anak masa lalu yang mungkin berbeda jauh dari kondisi saat ini. Misalnya sekarang anak TK pun nyaris sudah bisa dengan lugasnya menyatakan siapa artis idolanya, siapa teman yang disukainya (beberapa terang-terangan menyebut itu pacar), bahkan bisa menjadi komentator untuk orang yang umurnya lebih tua. Jika belum mempunyai anak, mungkin saudara sepupu atau keponakan kita lah yang memiliki tingkah unik seperti itu, yang menjadi hiburan tersendiri bagi kita sekaligus juga kadang sampai kehabisan kata-kata untuk menanggapi celetukan mereka.

Misalnya beberapa waktu lalu, saat di rumah ada seorang sepupu yang baru berusia sekitar 4,5 tahun dan kami saat itu menonton acara TV. Tahu kan salah satu boyband yang anggotanya terdiri dari 4 ABG cowok yang saat ini menjadi idola hampir semua anak-anak perempuan terutama yang masih SD. Ya, Coboy Junior. Dengan wajah sumringah si sepupu ini pun berkata, "Eh, ada itu... (diam sebentar karena agak lupa siapa nama salah satu personilnya), siapa itu yang ganteng tu namanya?" Glek, jelas kaget campur pengen ketawa mendengar balita bisa ngomong begitu. Kulihat TV dan asal saja menyebut nama Iqbal (berdasarkan fans-nya yang sepertinya lebih banyak yang mengidolakan cowok imut yang satu itu). "Iya, bener Iqbal." Sepupu kecilku pun membenarkan jawabanku. Bahkan menyebutnya sebagai pacar, hehe kalau ini baru kupahami maksudnya beberapa hari ini setelah terkahir kali dia main ke rumah. Ternyata yang dimaksud oleh balita ini, sebagai pacar adalah seseorang yang dianggap idola, disukai atau disenangi untuk menjadi teman/sahabat. Karena menyusul pernyataannya, kalau dia punya 3 pacar, yaitu: Iqbal Coboy Junior dan Sherina (maksudnya idolanya), dan nama salah satu teman di TK (teman perempuan) alasannya karena suka bermain bersama.

Di kesempatan lainnya sepupuku ini malah bisa mengomentari bahwa Aku lebih cantik jika tidak menggunakan kacamata. Aduh, seumur-umur saja diri ini tidak pernah memikirkan hal itu, wajar saja memakai kaca mata sejak kelas 1 SMP, dan saat itu belum puber dan mikirin penampilan, jadi sampai saat ini merasa kalau tidak pakai kaca mata justru tidak menjadi diri sendiri. Si kecil pun menyarankanku untuk memakai lensa kontak, yang menurutnya seperti saudara sepupunya yang lain. Wah, kepikiran beli lensa kontak saja enggak, apalagi memakainya di mataku. Daripada tidak bisa merawatnya lebih baik pakai kaca mata saja. Begitu pula jika melihatku memakai pakaian yang baru dia lihat, pasti dikomentari paling tidak kalau yang bagus pasti akan dipujinya.

Kekritisan dan keterbukaan yang dimiliki anak-anak zaman sekarang inilah, yang sebenarnya baik untuk masa depan mereka. Mungkin kelak 10 atau 20 tahun lagi kita tidak akan lagi mendengar kisah orang yang menjalani kehidupannya dengan keterpaksaan, mengalami kisah cinta terpendam yang bertahun-tahun tak terungkap dan hanya menyisakan sebuah penyesalan, dan tidak ada lagi orang-orang yang dianggap penjilat karena tidak berani mengungkap kebenaran meski itu pahit. Jadi kalau kelak ada yang bingung dengan berbagai perkataan atau tingkah laku anak-anak yang kritis namun membuat pusing, jangan dianggap negatif. Sejatinya mereka sedang belajar untuk meraih kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
read more »

Rabu, 26 Desember 2012

Cinta (Sama Tapi Beda)

Cinta Tapi Beda. Merupakan salah satu judul film yang akan dirilis pada akhir tahun 2012. Kurang lebih pemahaman Saya setelah sekilas melihat trailer-nya di TV (karena belum menonton dan tidak benar-benar minat untuk menonton karena malas ke bioskop), film ini berkisah tentang kisah cinta yang pelakunya memiliki perbedaan. Sebuah perbedaan yang sangat memungkinkan untuk timbulnya sebuah konflik, bahkan dalam suatu keluarga yang amat menjunjung tinggi nilai keyakinan dalam beribadah. Ya, perbedaan agama yang bukan satu atau dua pasangan saja yang mengalaminya di setiap kota. Maka meski dengan konflik atau pun latar belakang yang berbeda, tidak salah jika film tersebut mencantumkan bahwa kisahnya dibuat berdasarkan kenyataan. Karena memang benar banyak yang mengalaminya, baik yang sukses memperjuangkan cintanya sampai pelaminan (dengan atau tanpa mengubah keyakinan beragamanya), atau bahkan terpaksa kandas karena berbagai alasan, terutama restu orang tua.

Saya tidak akan banyak menulis tentang kisah cinta beda agama, karena tidak memiliki pengalaman seperti itu, dan juga lingkungan sekitarnya cenderung homogen bila dilihat berdasarkan agamanya. Jadi khawatir akan terjadi banyak kesalahan persepsi, jika memaksakan diri menuliskan pandangan tentang cinta beda agama. Masalah perbedaan di mana pun dan kapan pun bisa saja menjadi sebuah konflik dan adanya pihak yang merasa menderita atau merasa hal tersebut menjadi aib. Tidak hanya kasus hubungan antar agama, mereka yang seagama pun tidak semuanya bisa menjalani kisah yang mulus, terutama terkait restu orang tua atau parahnya jika urusan tersebut menjadi urusan keluarga besar.

Pernah mendengar orang-orang (terutama generasi orang tua kita ke atas) yang menyarankan lebih baik mencari pacar atau calon pasangan hidup yang sesuku? Atau terang-terangan menyebutkan suku-suku tertentu yang sebisanya dihindari untuk dijadikan keluarga "baru"? Kasus lainnya mungkin karena perbedaan gelar akademik, status sosial atau kemapanan materinya? Dan ada satu hal lagi terkait perbedaan, yang mungkin sejak lama menjadi hal yang membuat penulis heran, perbedaan antar organisasi keagamaan (masih dalam satu agama).

Maaf jika ternyata tulisan ini bagi beberapa pihak termasuk menyinggung SARA. Tapi penulis hanya ingin mengutarakan pendapat dan sepertinya ada tanda tanya besar yang ada di hati sejak dahulu, sepertinya sejak SD. Bukankah kita sama-sama beragama Islam? Kenapa harus ada perbedaan di sana-sini? Kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah umat muslim terbanyak di dunia, namun mungkinkah karena jumlahnya yang banyak ini jadi terbagi begitu banyak organisasi keislaman (Pemakaian kata "kelompok" atau "aliran" khawatir seolah sudah menjadi agama yang berbeda). Penulis tidak tahu pasti ada berapa jumlah organisasi yang landasan dan seluruh kegiatannya didasari oleh nilai-nilai Islam. Namun, setidaknya ada dua organisasi besar yang paling banyak diberitakan di berbagai media.

Kalau penulis sendiri masuk yang mana? Jika ada yang bertanya demikian, maka Saya tidak ingin menjadi bagian dari yang mana pun. Saya hanya salah satu orang beragama Islam yang tercatat sebagai warga negara Indonesia, maka jika ada keputusan yang menyangkut hal beribadah, misalnya hari raya maka akan mengikuti keputusan pemerintah. Bukankah memang Allah memerintah pada kita untuk taat pada-Nya, pada Rasul-Nya, dan pada pemerintahan? Meski tidak dipungkiri keluarga besar dari orang tua Saya cenderung mayoritas merupakan warga NU (Ups, kesebut juga deh). Satu hal yang sejak kecil mengusik hati adalah kenapa hanya karena perbedaan ini, jadi suatu waktu bisa menimbulkan konflik, atau minimal sekedar saling menjelekkan di belakang. Tidak ingat apa detail permasalahannya, namun waktu Saya masih kecil terdengar pembicaraan para generasi di atasku, tentang perbedaan pandangan dan sikap mereka dengan kerabat lainnya yang berada di pihak organisasi keislaman lainnya. Tentang perbedaan persepsi mengenai doa qunut, tahlilan, dan lain-lain.

Saya masih ingat kalau tidak salah pertama kali belajar dan menghafalkan doa qunut sewaktu kelas 1 atau kelas 2 MI (setara dengan SD). Di buku memang ditulis bahwa hukum membaca doa qunut di waktu melaksanakan shalat subuh, adalah sunnah (dikerjakan berpahala, tidak dikerjakan tidak apa-apa). Karena masih kecil dan terkadang punya pemikiran nyeleneh, ya sudah kan masih kecil jadi tidak usah dibaca saja karena tidak wajib/menjadi rukun shalat (Alasan utamanya sih waktu itu malas menghafal lebih banyak doa hehe). Tapi pendapat anehku itu dibantah oleh Ibu, dan terang-terangan bicara "emangnya orang Muh*mm*diy*h, tidak pakai qunut?" Sepertinya saat itu Ibu agak kelepasan bicara, anak usia sekitar 6 - 7 tahun kan belum mengerti konsep perbedaan itu? Tapi emang dasarnya Saya bukan anak yang kritis, dan lebih takut jadi durhaka kalau tidak menuruti kata orang tua, ya ikuti saja. Namun, semakin besar terutama saat sekolah di pesantren jadi teringat lagi tentang masalah ini.

Salah satu guru di pesantren mengatakan, bahwa jika kita terbiasa membaca doa qunut tapi menjadi makmum dari imam yang tidak membaca qunut, shalatnya tetap sah dan tidak ada masalah jangan dijadikan bahan perdebatan. Begitu pula sebaliknya jika kita terbiasa tanpa membaca doa qunut, tetapi sedang ikut shalat berjamaah di tempat yang selalu membaca doa qunut, ya tidak apa-apa jika hanya diam saat imam membacanya. Atau sekedar mengamini juga tidak ada salahnya, jika memang tidak hafal. Hal ini mengingatkanku pada sebuah fenomena yang pernah kudengar saat ada orang dikira melenceng dari agama karena ikut berjamaah shalat di masjid yang katanya berbeda organisasi (mungkin madzhab ya maksudnya?). Lah, kalau memang jarak rumah atau lokasi tempat beraktivitasnya lebih dekat ke masjid itu, apa iya harus berjalan lebih jauh ke masjid lain? Atau dengan alasan tersebut menyia-nyiakan 27 derajat pahala lebih banyak, dengan shalat sendiri? Hal lebih miris lagi jika konflik karena perbedaan ini, juga diakibatkan karena mereka yang disegani di kelompok masing-masing, juga selalu mempermasalahkan perbedaan itu. Masing-masing saling menganggap dirinya yang benar. Apalagi jika masa menjelang penentuan kapan mulai puasa Ramadhan, hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan lain-lain. Apakah mungkin suatu saat nanti hal seperti itu bisa mencapai satu kesepakatan bersama? Sebagai masyarakat awam, mungkin inilah yang menjadi harapan kami.

Bagaimana jika ada kejadian seperti ini, seorang Ibu menyampaikan suatu harapan pada putrinya. Kelak jika Sang Ibu telah tiada ingin jika tetap ada yang mendoakannya dengan tetap mengadakan acara tahlilan. Maksud dari pembicaraan itu secara tidak langsung adalah kalau bisa calon menantunya kelak berasal dari kelompok yang membiasakan adanya tradisi tahlilan. Intinya tidak mengharapkan adanya perbedaan terkait hal yang satu itu. Padahal masalah jodoh dan kematian adalah misteri Illahi. Belum tentu juga yang akan meninggal dunia lebih dulu adalah Sang Ibu, bisa jadi anaknya duluan. Atau belum tentu juga jika anaknya mendapatkan pendamping dari yang sekelompok itu, lebih baik kehidupan dunia akhiratnya. Karena masa kini adalah masa sekarang, dan masa depan tidak ada yang tahu pasti. Padahal jika waktu dan orang yang tepat sudah datang, permasalahan apa pun sewajarnya bisa menjadi suatu hal yang bisa dimusyawarahkan. Bukan menjadi konflik keluarga.

Itu hanyalah sekedar contoh, dan bagaimana bila konsep dalam film Cinta Tapi Beda itu diadaptasi ke masalah di paragraf sebelumnya? Mungkin penulis akan mengubah sedikit judulnya Cinta (Sama Tapi Beda). Meski sudah memiliki keyakinan beragama sama pun, tetap akan ada hal-hal yang membuat cinta itu tidak mudah bersatu. Beda mulai puasa, beda lebaran, beda suku, beda madzhab, beda profesi, beda adat, dan lain-lain. Memang cinta itu sungguh rumit dan unik, bahkan bagi mereka yang sudah memiliki banyak persamaan sekali pun. Karena semua pasti memiliki cinta dengan kisahnya masing-masing, terutama terkait kisah bagaimana memperjuangkan cintanya itu. Maka cinta adalah sebuah tema yang tidak akan pernah usang dibahas dalam suatu diskusi, ditulis sebagai sebuah cerita, direkam dan kemudian  disaksikan dalam bentuk sebuah film. Karena cinta adalah C-I-N-T-A (Wah, ini sih ngutip kata-katanya D'Bagindas ^_^).

read more »

Selasa, 25 Desember 2012

Kecanduanku Pada Hal Itu

Sepertinya hal itu mulai menjadi candu untukku. Sungguh jangan berpikir yang macam-macam, apalagi ke arah sesuatu yang ilegal dan kriminal. Karena candu yang kurasa ini adalah pada makanan dengan rasa pedas. Sebuah cita rasa yang mayoritas orang sama sekali tidak mengidentikkannya dengan makanan khas dari suku orang tuaku. Bukan sekedar anggapan orang banyak tanpa bukti mendasar. Memang kenyataannya sampai lulus SD pun keluargaku seolah tanpa sadar menanamkan doktrin bahwa makanan pedas itu bukan untuk anak-anak, padahal orang dewasa di sekitarku kala itu, juga hampir tidak pernah menyantap makanan pedas level tinggi. Sekalinya ada pelengkap makanan berupa sambal uleg, itu juga masih ditambahkan gula pasir atau gula jawa sebagai pemanisnya.

Karena itu pula saat masih SD, Aku menjadi anak yang terkagum-kagum pada teman-teman yang berani atau bahkan sangat menyukai makanan pedas. Tapi semua itu berubah saat Aku keluar sementara dari rumah, tinggal dan sekolah di sebuah sekolah berasrama. Nyaris semua anak perwakilan dari Sabang sampai Merauke ada di sana. Walaupun mayoritas sepertinya tetap terbanyak mereka yang berasal dari tanah Sunda, karena sekolah kami memang berada di Provinsi Jawa Barat.

Sedikit demi sedikit Aku mulai terbiasa dengan menu makan sehari-hari yang sedikit ada rasa pedasnya. Apalagi suasana makan bersama memiliki sedikit banyak pengaruh, walaupun tetap saja masih pilih-pilih makanan dengan bahan utama sayuran atau ikan teri yang sebelumnya tidak pernah dimakan. Misalnya lauk makan siang berupa tumis teri cabai hijau dengan sayur asem. Kedua menu ini bagaikan harus memaksa diri makan nasi putih saja, tapi daripada makan tanpa rasa akhirnya kuputuskan untuk tidak meminta sayur asem pada Mpok pembagi makanan. Dengan meminggirkan ikan teri atau diberikan pada teman yang suka, Aku hanya makan dengan cabe hijau dan sedikit bumbu tumis teri tersebut. Maka mulailah lidah ini terbiasa dan nyaris kurang berselera makan tanpa ada sedikit rasa pedas di setiap makanan.

Kemudian level tingkat ketahanan terhadap rasa pedas mulai meningkat seiring berjalannya waktu, dan perubahan pola makan. Ketika sudah agak lama tinggal di asrama dan mulai akrab dengan teman-teman lainnya, ada satu kebiasaan yang dilakukan ketika tidak makan saat waktu makan tiba, bisa jadi kehabisan atau sengaja tidak makan karena lauk yang tidak sesuai harapan. Biasanya menjelang pukul 5 sore (soalnya biasanya jam segitu nasi untuk makan malam baru matang) beberapa orang akan sepakat patungan beli lauk di rumah makan luar asrama, bisa di warteg atau rumah makan Padang. Namun saat kondisi kantong sedang pas-pas-an dengan lauk sederhana tetapi yang wajib adalah sambal warteg yang dibeli dalam jumlah sebanyak mungkin. Lalu nasinya tidak perlu beli, tapi ambil saja di dapur asrama. Kebiasaan bergabung bersama teman-teman penyuka pedas inilah yang merubah kekebalan lidah ini pada rasa pedas.

Selanjutnya beberapa tahun belakangan ini, seolah makin tren segala jenis makanan atau sekedar cemilan yang menawarkan cita rasa pedas. Bahkan beberapa produk seolah menjadi simbol atau gaya hidup anak muda yang ingin disebut gaul. Meski tidak terlalu mengikuti semua tren yang ada, sesekali diri ini juga penasaran, apalagi kalau di sekitar kita yang menjual produk tersebut. Akhirnya setelah mencoba sekali, merasa kepedesan, tetapi saat di lain waktu membeli lagi entah kenapa kok tidak terlalu terasa pedas seperti waktu pertama kali mencoba. Kupikir ini karena strategi produsen yang terkena imbas harga cabai yang melambung lumayan drastis. Begitu juga saat sesekali iseng membuat mi instan dengan puluhan cabe rawit diuleg kasar. Pertama kali kepedesan, tapi kedua dan ketiga kalinya dengan takaran hampir sama tapi tidak mampu memuaskan diri yang saat itu sedang ingin makanan super pedas.

Beberapa waktu berselang, tanpa disengaja menemukan artikel yang menjelaskan bahwa (kurang lebih seperti ini kesimpulan yang kupahami) semakin sering seseorang mengkonsumsi makanan pedas, maka tingkat kepekaan indera pengecapnya juga mengalami penurunan. Atau kata lainnya, semakin kebal juga lidahnya, maka setiap kali makan pedas merasa masih kurang pedas. Oh, jadi ini yang terjadi pada diriku terutama pada bagian lidahku yang bertugas mengecap rasa pedas. Maka jangan kaget kalau saat kita menyantap makanan yang menurut lidah kita belum terlalu pedas, tetapi sudah bisa membuat lambung bereaksi dan terjadi hal yang tidak dikehendaki. Diare misalnya atau lebih parah lagi penyakit berat yang memerlukan penanganan serius dari tim medis.

Tapi nasi sudah jadi bubur, kebiasaan sudah terlanjur mengakar dan sulit diberhentikan. Beginilah jika seseorang sudah kecanduan pedas. Enggak pedas, enggak enak, berasa hambar. So, pintar-pintarnya saja mengatur supaya kebiasaan ini tidak jadi senjata makan tuan buat diri kita sendiri. I love chili, sambal, and everthing have hot and spicy taste.

Thank's for visiting, pemilihan theme blog ini meski awalnya iseng tapi boleh juga disebut karena kesukaanku pada rasa pedas. Cabai, banyak warna, banyak jenis, dengan tingkat rasa pedas yang berbeda-beda juga. Membuat makan lebih berasa (Loh kok mirip iklan saus sambal ya?).
read more »

Senin, 24 Desember 2012

Hello Kitty Pancake With Chocolate Meises

Salam blogger, semoga liburannya menyenangkan ya. Pancake adalah salah satu jenis makanan yang di berbagai negara memiliki versinya sendiri. Bahkan di Indonesia, beberapa jenis kue, meski memiliki cita rasa, warna, tekstur, dan penyajian yang berbeda, pada dasarnya mirip yaitu masih berupa penjelmaan dari versi pancake asli (tapi saya sendiri belum tahu pasti, pancake asal muasalnya dari mana dan jenis yang mana, yang benar-benar dikatakan sebagai pancake original).

Pan dalam bahasa Inggris artinya wajan, sedangkan Cake artinya kue. Maksudnya (kurang lebih menurut pemahaman saya) sejenis kue yang dimasak dengan atau tanpa minyak di atas sebuah wajan. Nah, berdasarkan pengamatan dan uji coba rasa beberapa jenis kue yang termasuk saudara-saudaranya si pancake atau panekuk ini, di antaranya yaitu: serabi, dadar gulung, crepe (ini sih versi moderen), dan lain-lain.

Sebenarnya pertama kali membuat pancake sudah lama banget, tepatnya setelah beberapa kali melihat liputan kuliner di TV tentang pancake yang lembut, empuk, dan kelihatannya sangat enak. Namun berhubung harga yang lumayan mahal dan jauhnya lokasi cafe yang direkomendasikan, maka nekatlah saya melakukan beberapa kali eksperimen, dengan resep yang berhasil didapat dari internet. Hasilnya, waktu pertama kali buat aromanya lebih mirip apem, mungkin kebanyakan baking powder-nya, dan bantet. Berkali-kali mencoba, sempat berhasil empuk tapi tidak bertahan lama. Bantet lagi dan lagi. Sampai akhirnya sempat menyerah dan merasa tidak bakat memasak si "kue wajan" itu.

 Still The Bantet Pancake (dengan stroberi + es krim sebagai penawar kekecewaan).

Nyaris ada satu tahun sejak masa menyerah, tiba-tiba saya menemukan blog yang memaparkan resep pancake empuk, yang empunya blog ternyata juga sempat mengalami kegagalan-kegagalan saat membuat pancake sebelumnya. Cerita klasik, yaitu bantet. Namun di postingannya, beliau mengakui akhirnya bisa membuat pancake empuk. Tapi karena ketersediaan bahan atau pun memang pada dasarnya memasak itu tidak seperti hitungan pasti matematika, tetap saja saya perlu melakukan modifikasi dan improvisasi (Waduh, mulai ngaco bahasanya.) dari resep aslinya. Bagi yang ingin melihat resep aslinya silahkan mampir ke http://vidyaipied.blogspot.com. Thank you sista Vidya yang sudah berbagi resep.

Sejak pertama kali menemukan resepnya sista Vidya, sudah sekitar 4 atau 5 kali saya mencoba membuat pancake, dan hasilnya empuk. Malahan pernah suatu kali karena membuatnya banyak, sampai akhirnya seharian belum habis juga itu kue. Tapi teksturnya tetap empuk, dan untuk mengubah sedikit cita rasanya, saya membuat kinca (kuah gula dan santan/susu yang biasanya untuk serabi). Rasanya jadi lebih enak (hehe narsis bin promosi).

Untuk resep yang kali ini saya posting, spesial pancake-nya dimasak di wajan mini berbentuk Hello Kitty. Ya, memang tidak terlalu jelas sih wajah si "kucing terkenal sedunia" ini, mungkin karena ukiran di wajannya yang kurang tebal (maklum belinya yang murah hehe). Tapi tetap lebih spesial daripada yang sebelumnya, apalagi yang ini juga ditambahkan meises coklat di dalam adonannya. Terinspirasi dari kue cubit yang dijual abang-abang di sekitar SD. Ini dia Hello Kitty Pancake With Chocolate Meises.


Bahan kering:
1 cangkir (muncung) tepung terigu serbaguna
2 sdm gula pasir (sesuai selera)
1 1/2 sdt baking powder
seujung sdt garam
meises coklat atau bisa diganti kismis/kurma

Bahan basah (kocok dengan whisk atau pengocok telur):
3/4 cangkir susu cair
1 btr telur ayam
2 sdm minyak kelapa sawit/minyak goreng biasa

Cara membuat:
1. Aduk rata semua bahan kering (kecuali meises) di dalam mangkuk yang terpisah dari bahan basah.
2. Kocok telur, susu, dan minyak, sampai semuanya bercampur menjadi satu dan warnanya lebih pucat.
3. Masukkan bahan kering ke dalam mangkuk berisi adonan bahan basah, aduk sampai tercampur rata. Jangan terlalu lama diaduk, cukup sampai semuanya tercampur rata saja.
4. Masukkan meises cokelat atau buah kering sesuai selera, tidak digunakan juga tidak apa-apa.
5. Panaskan wajan datar dengan api kecil, dan dioles dengan sedikit minyak (cukup sekali saja mengoleskan minyak karena adonan pancake sudah mengandung minyak).
6. Tuang adonan di atas wajan, diamkan beberapa saat sampai permukaan adonan muncul lubang-lubang kecil nyaris merata di semua bagian. Setelah lubang-lubang kecil itu merata, segera balik dan biarkan hanya beberapa detik, kemudian angkat pancake. Lakukan sampai adonan habis. Resep ini bisa menghasilkan 7 - 8 buah pancake.
7. Sajikan dengan topping sesuai selera, seperti es krim, madu, sirup maple, saus cokelat, buah, dan lain-lain.


Note:
Sebelumnya selain membuat versi original pancake, saya juga pernah mengaplikasikan resep ini menjadi pancake pandan, cuma karena ada penambahan pewarna makanan jadi takaran gulanya harus ditambah.
Sekedar info, memasak memang kadang tidak semudah yang terlihat. Apalagi karena memasak bukan seperti hitungan pasti matematika. Saya pernah mencoba membuat pancake dua kali lipat dari resep asli, dengan mengkalikan dua setiap takaran bahan-bahannya. Tapi hasilnya kurang memuaskan, jadi harus lebih mengutamakan feeling.
*sdm = sendok makan
*sdt = sendok teh
read more »

Minggu, 23 Desember 2012

Jajanan Oh Jajanan

Hiii, ngeri, geli, takut, jijik, tapi sepintas tampak menggiurkan. Apa sih? Kabar menghebohkan (lagi) tentang bakso daging sapi yang dioplos dengan daging babi. Rumornya karena harga daging sapi yang sempat naik dengan cukup "wow", jadi ada pihak yang ingin memanfaatkan situasi supaya tidak merugi. Belum lagi tayangan liputan berita khusus yang memata-matai praktek curang pedagang makanan, demi meminimalisir modal serta memaksimalkan keuntungan yang diperoleh. Memang, sebagian pedagang itu ada yang mengaku tidak tahu bahaya dari bahan bahaya yang digunakan, atau tahu tapi pura-pura tidak tahu. Misalnya makanan atau minuman berwarna dibuat dengan campuran pewarna tekstil, penggunaan boraks atau formalin supaya makanan dan minuman yang dijual tidak cepat rusak, penambahan pemanis buatan yang melebihi dosis, atau lebih parahnya untuk membuat gorengan tetap garing dan renyah, botol plastik bekas minuman dimasukkan dalam minyak goreng panas.

Walaupun tidak semua produsen bahan pangan atau makanan dan minuman siap saji, melakukan kecurangan yang merugikan konsumen. Jadi tinggal kita sebagai konsumen yang harus jeli memilih, dengan banyaknya informasi yang disediakan oleh media. Orang dewasa mungkin sudah bisa memilih makanan dan minuman apa yang sekiranya baik untuk kesehatan. Apalagi jika memiliki kemauan, minat, atau bahkan ahli memasak. Setidaknya bahaya tersebut dapat diminimalisir karena pengolahannya dilakukan sendiri di rumah. Kenapa hanya bisa meminimalisir? karena kenyataannya bahan mentah pun banyak yang kurang aman dan kurang sehat jika produsennya curang.

Lain halnya dengan anak-anak balita dan anak sekolah, yang biasanya masih memilih makanan dan minuman dari segi fisik (warna, rasa, aroma, dan bentuknya). Jika warnanya menarik, bentuknya lucu, ditambah harganya yang murah dan rasanya disukai anak-anak, hampir bisa dipastikan jenis makanan atau minuman yang biasanya dikenal sebagai jajajan itu laris manis. Balita juga biasanya masih selalu berada dekat ibu atau pengasuhnya, jadi masih bisa mengontrol jajanannya. Sedangkan anak usia SD sampai SMP, hampir dipastikan terbiasa menerima uang saku, dan membelanjakannya sendiri saat waktu istirahat atau pulang sekolah. Padahal tidak semua jajanan yang mereka sukai itu, aman dan sehat.

Walaupun di dalam area sekolah, disediakan kantin yang biasanya sudah terkontrol dari kebersihan dan keamanan pangannya, tapi jika di luar sekolah ada pedagang jajanan bukan tidak mungkin anak sekolah lebih memilih jajan diluar. Kenapa? Karena jenis dan bentuk jajanan yang dijual di luar kantin sekolah, biasanya lebih beragam, lebih menarik, lebih berasa (jelas karena penambah rasa yang digunakan bisa dari MSG atau gula biang), dan bisa jadi lebih murah (kemungkinan memakai bahan-bahan tidak aman).

Setidaknya itu juga yang Saya alami saat dulu masih SD. Jika dibandingkan jumlah siswa yang jajan di dalam kantin sekolah, lebih banyak yang memilih jajan di luar. Walaupun pihak sekolah akhirnya memberi peraturan bahwa saat jam istirahat sekolah, tidak ada yang boleh jajan di luar, tetap saja banyak yang nekat jajan dengan cara membeli jajanan lewat sela-sela pagar pembatas. Sekali ditegur, tetap saja besok-besoknya dilakukan lagi. Saya sendiri sewaktu SD juga lebih tertarik dengan jajanan yang dijual di luar sekolah, tapi tidak berani membelinya saat waktu istirahat, karena yang berani nekat seperti itu mayoritas anak laki-laki. Jadi kadang istirahat makan bekal yang dibawa dari rumah, dan sepulang sekolah baru membeli jajanan yang kadang sudah dipikirkan beberapa saat sebelum bel pulang berbunyi. Cape deh!!!

Loh, tadi perasaan di awal membahas tentang makanan dan minuman dari sisi keamanan dan kesehatannya, kok sekarang malah nostalgia? Iya, maaf ya pembaca bukan maksud tidak konsisten, namanya juga sekedar mencoretkan isi pikiran sekalian curhat colongan ^_^. Selain itu wawasan penulis juga kurang banyak tentang isu tersebut, dan pasti sudah banyak yang membahas tentang hal itu, para ahlinya langsung malahan.

Jadi tidak usah berpanjang kata dengan masalah yang rumit itu. Sebagai masyarakat awam penulis hanya bisa berharap semoga masalah terkait makanan dan minuman yang berbahaya untuk kesehatan, bisa berkurang dan di kemudian hari bisa tuntas. Kalau memang ditemukan para pedagang yang belum tahu bahwa bahan yang digunakan tidak layak untuk makanan atau minuman, semoga pemerintah bisa mensosialisasikan dengan harapan pedagang juga memikirkan kesehatan konsumennya. Dan semoga anak-anak penerus masa depan tetap sehat dan berprestasi baik dalam bidang apa pun, sehingga bisa memajukan negeri ini. Happy holiday!!!
read more »

Jumat, 21 Desember 2012

DUKUNGAN UNTUK ODHA (Pernah Dikirim Untuk Sebuah Lomba Tahun 2009)

 Jangan ditanya menang atau tidak, kalau menang tentu tidak akan Saya posting sekarang. Namun karena temanya masih lumayan hangat untuk dibahas di Bulan Desember, maka penulis hanya ingin berbagi dengan siapa pun yang mau dibagi informasi ini. Penulis juga menggunakan beberapa sumber referensi (tercantum di dalam paragrafnya), jadi ini hanya rangkuman kecil yang penulis satukan dari berbagai data, fakta, atau pun pandangan para ahli. Semoga bermanfaat, maaf jika ada hal-hal kurang tepat dalam penyampaian informasi ini. Selamat membaca ^_^.

DUKUNGAN UNTUK ODHA
 

”Anda positif terinfeksi HIV.” Seakan disambar petir saat Toto (bukan nama sebenarnya) divonis terinfeksi HIV. Flu yang sering menjangkitinya selama ini ternyata akibat HIV yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Walaupun ia masih tampak dan merasa sehat karena belum memasuki tahap AIDS, namun sudah terbayang rasa sakit yang tidak hanya dirasakan fisik, namun juga sakit secara sosial dan psikologi. Apa anggapan masyarakat dan keluarga? Karena di masyarakat penyakit ini identik dengan hal-hal negatif seperti seks bebas/seks menyimpang, penggunaan narkoba dan kematian. Terlebih bagi mereka yang tidak mendapat informasi yang benar tentang HIV/AIDS. 
Berbagai pencegahan dari penyakit HIV/AIDS mungkin sudah sering disosialisasikan walaupun mungkin sasarannya belum sesuai yang diharapkan. Namun, jika penyakit sudah terjangkit HIV/AIDS seberapa banyak yang tahu akan penanganannya? Masalah ini dapat berdampak negatif pada kehidupan penderitanya. Tidak hanya masalah kesehatan fisiknya, tapi secara psikis akan mempengaruhi kehidupan.
Masih ada masyarakat yang memperlakukan para ODHA dengan perlakuan yang tidak menyenangka. Mendiskriminasi, menjauhi seakan-akan HIV dapat menular hanya dengan bertemu dengan ODHA. Padahal masih banyak hal yang dapat dilakukan oleh seorang ODHA. Terlebih bila lingkungan sosial memberi dukungan suportif tanpa memandang mereka rendah.
Pengobatan dan perawatan dalam menangani masalah HIV AIDS diantaranya adalah konseling dan tes mandiri, dukungan bagi pencegahan penularan HIV, konseling tindak lanjut, saran-saran mengenai makanan dan gizi, pengobatan IMS, pengelolaan efek nutrisi, pencegahan dan perawatan infeksi oportunistik (IOS), dan pemberian obat-obatan antiretroviral.
Unsur-unsur perawatan lain dapat membantu mempertahankan kualitas hidup tinggi saat ARV tidak tersedia. Unsur-unsur ini meliputi nutrisi yang memadai, konseling, pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik, dan menjaga kesehatan pada umumnya. (http://pojokpenjas.blogspot.com/2008/08/perawatan-hiv-aids.html)
Pengobatan atau dengan kata lain mempertahankan kondisi seseorang yang telah terjangkit HIV AIDS selain dengan obat Antiretroviral (ARV) juga didukung kondisi psikologis penderitanya. Dengan kondisi psikologis yang terkendali maka setidaknya ODHA memiliki semangat hidup tinggi dan jauh dari depresi. Sebaliknya kondisi mental dan jiwa yang terganggu karena depresi dan putus asa akan memperburuk keadaan. Kondisi fisik akan semakin lemah, berbagai infeksi akan samakin mudah menyerang tubuh.
Selain obat ARV, asupan gizi ODHA harus mendapat perhatian khusus. Pada orang yang sehat dan normal pun jika memiliki gangguan gizi akan berkibat buruk. Terlebih bagi ODHA. Dalam keadaan yang terpuruk ataupun depresi karena menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, kemungkinan besar akan mengurangi asupan makanan. Nafsu makan menurun, ataupun jika seorang ODHA hidup seorang diri dan tidak mempunyai penghasilan yang menjadikan daya beli rendah sudah pasti mempengaruhi asupan gizi yang dikonsumsi.
Kebutuhan kalori ODHA berkisar sekitar 2000-3000 Kkcal/hari dan protein 1,5-2 gram/kgBB/hari. Untuk mencukupi kebutuhan kalori dan protein sehari diberikan dengan memberikan makanan lengkap 3 kali ditambah makanan selingan 3 kali sehari.Kebutuhan kalori yang berasal dari lemak dianjurkan sebesar 10-15% dari total kalori sehari. Kebutuhan zat gizi makro tersebut di atas harus dipenuhi untuk mencegah penurunan berat badan yang drastis. Pemantauan status gizi dan makanan bagi penderita ODHA sendiri juga mutlak diperlukan untuk mengetahui efek dari infeksi HIV dan kesehatan ODHA. (http://www.eurekaindonesia.org/gizi-yang-baik-untuk-orang-dengan-hivaids-odha/)  
  Terdapat Strategi Nasional 2007-2010 (STRANAS 2007-2010) menjabarkan paradigma baru dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia dari upaya yang terfragmentasi menjadi upaya yang komprehensif dan terintegrasi diselenggarakan dengan harmonis oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder). Akserelasi upaya perawatan, pengobatan dan dukungan pada orang yang hidup dengan HIV dan AIDS (ODHA) dijalankan bersamaan dengan akselerasi upaya pencegahan baik dilingkungan sub-populasi berperilaku risiko tinggi maupu dilingkungan sub-populasi berperilaku risiko rendah dan masyarakat umum. (http://www.undp.or.id/programme/propoor/The%20National%20HIV%20&%20AIDS%20Strategy%202007-2010%20(Indonesia).pdf)
Berdasarkan strategi yang telah ada, pelaksanaannya tidak hanya dilakukan oleh satu bidang. Namun semua sektor (lintas sektor) harus dilibatkanuntuk tercapainya tujuan bersama. Tanpa adanya kerjasama yang baik, maka akan sangat sulit dan mendekati mustahil dalam pencapaian penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.
Saat ini mulai banyak LSM yang peduli terhadap permasalahan ini. Banyak yang kemudian menyediakan forum dan layanan konsultasi bagi para ODHA. Kemunculan lembaga non-pemerintah seperti ini sangat membantu. Terlebih dalam kondisi krisis ekonomi global, kondisi stres ODHA dan keluarganya dapat meningkat. Karena kondisi ekonomi juga dapat membuat seseorang berpikir ulang untuk tetap merawat sendiri keluarganya yang telah berstatus ODHA.
Seharusnya kehadiran lembaga seperti itu dapat merubah stigma masyarakat. Terutama keluarga ODHA untuk tetap menerima keadaan seorang ODHA. Sebab bagaimanapun juga dukungan keluarga adalah yang terpenting walaupun ODHA tersebut mengikuti komunitas yang dibimbing oleh suatu lembaga. Namun, memang tidak mudah menerima anggota keluarga yang ODHA jika stigma masyarakat masih tetap buruk. Masih banyak yang mementingkan ”apa kata orang nanti?” dibandingkan mengikuti kata hatinya.
Bagaimana jika yang terinfeksi HIV adalah seorang anak? Anak dibawah umur yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Anak yang tentunya masih ingin bermain dengan teman-temannya. Jika mereka sudah dikucilkan sejak kecil, tentunya sangat sulit mempertahankan kesehatan. Secara psikologis mereka merasa minder dan malu untuk bersosialisasi. Terlebih jika keluarga tidak mau merawat, tidak ada yang akan menjamin kebutuhan obat-obatan dan gizinya. Mungkin diantara sekian banyak anak jalanan adalah pengidap HIV/AIDS.
Bayangkan jika sejak bayi sudah terinfeksi HIV, maka secara medis kecil kemungkinan akan bertahan hingga usia remaja. Ini akan menyebabkan meningkatnya ”lost generation” di negara Indonesia. Beberapa kasus gizi buruk pada balita ternyata diakibatkan HIV yang ditularkan dari orang tua balita. Berawal dari status gizi yang buruk dan adanya infeksi HIV, balita akan semakin rentan dan dapat meningkatkan angka kematian anak.  
Jika seorang ibu positif terinfeksi HIV, sebenarnya masih terdapat cara pencegahan penularan ke janin/bayi. Diantaranya adalah melahirkan dengan proses operasi caesar. Hal ini disebabkan banyak kejadian penularan terjadi saat proses persalinan normal. Pencegahan kedua adalah pemeriksaan kehamilan secara rutin (Antenatal Care/ANC) untuk berkonsultasi kepada dokter. HIV tidak menular melalui ASI, namun selama proses menyusui, biasanya terjadi mastitis (peradangan pada payudara). Peradangan dan luka inilah yang dikhawatirkan menularkan HIV ke bayi. Maka sebaiknya tidak menyusui untuk mencegah penularan ke bayi.   
ODHA tidak sepatutnya mendapatkan diskriminasi. Masih banyak hal positif yang dapat mereka lakukan. Terutama jika masih pada tahap HIV dan aktif mengkonsumsi ARV. Pada tahap ini penderita masih tampak sehat karena gejalanya belum tampak. Sehingga mereka masih bisa mencari nafkah untuk keluarga. Namun, di banyak lapangan pekerjaan tidak memperkerjakan seorang ODHA. Ketakutan tertular adalah alasan yang kerap dilontarkan. Ini dikarenakan keterbatasan informasi yang tepat dan benar masyarakat. Masalah ini menjadi gambaran betapa tidak mudah mensosialisasikan informasi kesehatan.
 Harga ARV yang mahal, menyebabkan ODHA dari kalangan menengah ke bawah tidak mendapatkan ARV. Kondisi ekonomi yang buruk memperparah keadaan ODHA. Padahal jumlah ODHA terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini juga akan menurunkan angka harapan hidup orang Indonesia. Dengan kata lain kondisi kesehatan di Indonesia menjadi buruk. Dari aspek ekonomi akan butuh dana lebih untuk mengatasi semua permasalahan kesehatan.  
 Pepatah ”nasi sudah jadi bubur” bukankah sebaiknya ”bubur” itu dimakan daripada dibuang? Begitu pula jika sudah menjadi ODHA, maka terima mereka dan arahkan untuk dapat melakukan hal positif dibandingkan jika kita mendiskriminasi mereka yang akan menimbulkan masalah baru? Bukan tidak mungkin jika para ODHA yang merasa sakit hati karena diskriminasi yang mereka rasakan berperilaku yang menyebabkan peningkatan penularan HIV/AIDS. Seperti mencari teman ataupun kekasih dengan tujuan menjerumuskan agar menjadi sesama ODHA. Hal ini harus dicegah dengan cara memperlakukan mereka sebaik mungkin.
”Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama.” Salah satunya caranya adalah membantu para ODHA disekitar kita dengan minimal mendukung mereka. Jika dapat membantu mengarahkan untuk melakukan hal-hal positif akan lebih baik. Seperti menciptakan lapangan pekerjaan atau minimal membantu mengajak masyarakat untuk ikut memberi dukungan. Dengan begitu semangat hidup ODHA akan meningkat yang baik untuk kondisi kesehatan. Paling tidak meringankan rasa sakit dan mempertahankan hidup mereka.
Komunitas sesama ODHA akan sangat membantu. ODHA tidak merasa sendiri dan mudah berkonsultasi dengan konselor ataupun sesama ODHA yang mungkin memilki pengalaman lebih. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat membantu pembentukan komunitas serta membimbing kegiatan komunitas ini. Dari komunitas ODHA inilah berbagai informasi diberikan untuk memotivasi dan bersama bangkit dari keterpurukan dan putus asa yang mereka rasakan.
Tentu tidak bisa hanya mengandalkan komunitas ODHA. Dukungan keluarga sangat diperlukan. Maka akan lebih baik para ODHA tetap tinggal bersama keluarga, tidak seperti kebanyakan yang dimasukkan ke tempat rehabilitasi khusus ODHA. Ini semakin menguatkan adanya diskriminasi oleh keluarga sendiri. Tetapi tidak dapat dipungkiri, HIV/AIDS masih dianggap aib oleh keluarga ODHA. Pendekatan dan penyampaian informasi kepada keluarga/orang yang tinggal dengan ODHA harus lebih ditingkatkan.
Agama dapat menjadi media pengobatan, perawatan dan dukungan. Mendekatkan diri ODHA kepada tuhan adalah cara yang terbaik. Hanya kepada Tuhan-lah seseorang memohon kesabaran dan kekuatan dalam menghadapi segala permasalahan. Siraman rohani dapat dimasukkan ke dalam agenda kegiatan komunitas ODHA. Dengan jiwa yang tenang, maka kondisi kesehatan akan dapat dipertahankan. Keluarga akan semakin sabar dan diharapkan mau dan mampu menerima anggota keluarganya yang ODHA.     
ODHA juga manusia yang punya hak yang patut kita hargai. Maka sayangi ODHA, dukung mereka dan mari berperan dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS!

31 Mei 2009
Nila Amalia Husna 
read more »

Selasa, 18 Desember 2012

You Are Not Freak, But You Are Unique

"Kamu bisa melihat hal-hal yang "begitu" (makhluk halus/gaib yang tidak semua manusia bisa melihat atau merasakan keberadaannya) ya?" Pertanyaan seorang teman di suatu kesempatan, membuatku kaget nan terkejut. Terang saja kaget dan hanya bisa menggelengkan kepala sembari menjelaskan padanya bahwa seumur hidup sampai saat ini belum pernah mendengar suara, melihat wujud, apalagi berkomunikasi dengan makhluk "seperti itu." Meski dalam hati heran dan bingung kenapa ada yang bertanya seperti itu, tapi kuurungkan untuk bertanya sebab musababnya kenapa dia bertanya demikian. Kalau kutanyakan, khawatir dia akan berpikir bahwa jawabanku itu bohong hanya untuk menutupi kemampuan unik itu. Padahal sumpe deh enggak punya tuh kemampuan macam itu, malah tidak mau karena sadar diri imannya belum kuat. 

Meski punya nama yang kalau diartikan ke dalam bahasa inggris menjadi sebuah istilah untuk orang-orang yang biasanya memiliki kemampuan unik dari orang kebanyakan, tetap saja itu hanya kebetulan. Bukan benar-benar menggambarkan kondisi diriku. Apalagi dari beberapa sumber yang kubaca, anak-anak yang terpilih memiliki kemampuan unik itu, mulai lahir pada tahun setelah 1990. Sedangkan penulis lahir 2 tahun sebelum tahun 1990, berarti tidak termasuk kan (maksa ya)?

Bicara tentang makhluk gaib yang juga memiliki haknya untuk tinggal dunia ini, tidak ada pengalaman yang benar-benar dirasakan sendiri oleh penulis. Dulu sempat bingung kenapa ada beberapa orang yang bisa merasakan keberadaan "mereka" atau bahkan melihat serta berkomunikasi dengan "mereka." Namun, setelah mendengar cerita-cerita itu, penulis bersyukur karena tidak diberi kemampuan seperti itu oleh Allah. Karena jika imannya belum kuat atau minimal tidak memiliki mental yang baja maka bukan mustahil akan ketakutan dan konon katanya rentan kesurupan.

Meski tidak bisa dikategorikan pemberani, tapi penulis juga bukan orang yang super penakut, dan bisa mengekspresikan ketakutan yang dirasa di depan orang lain. Jadi lebih sering memberanikan diri atau bahkan kadang membuat diri seperti orang yang pemberani ketika sedang bersama teman atau kerabat yang level ketakutannya sedikit lebih tinggi dariku. Jangan-jangan karena hal ini juga, sampai seorang kawan itu bertanya pertanyaan aneh di paragraf pertama. Apa karena seringnya melihat diri ini cuek bebek melenggang ke toilet atau ke mushola yang kadang pencahayaannya kurang terang, tanpa mengajak seorang teman untuk menemani. Atau ketika masih sekolah dan aktif ngampus, saat ada perlu ke bank atau ke kantin sendirian tanpa meminta seseorang untuk menemani. Padahal itu lebih karena sifat diri yang "tidak enakan", khawatir mengganggu aktivitas orang lain, jadi kalau ada yang berkepentingan sama ya syukur ada teman, kalau tidak ada ya nekat saja sendiri. Dan Alhamdulillah belum pernah mengalami hal-hal aneh, jangan sampai deh ya.

Masih bicara mengenai kemampuan seseorang dalam mengekspresikan rasa takutnya, yang tidak sama pada setiap orang. Mungkin penulis salah satu manusia yang sulit untuk mengekspresikan segala bentuk rasa yang dialami, baik takut, senang, sedih, kecuali malu yang mungkin tampak jelas pada umumnya orang yang terlanjur di-cap sebagai manusia pemalu bin pendiam. Apalagi rasa takut akan hal-hal yang terlihat itu, sebenarnya ada rasa ciut juga ke kamar mandi sendirian saat malam hari, tapi biasanya kalau kita tampak ketakutan, maka orang di sekitar kita lah yang makin senang meledek (ternyata jaim bisa memotivasi diri untuk sedikit lebih berani).

Suatu ketika saat di asrama tempat penulis menuntut ilmu dulu, pernah terjadi suatu hal yang cukup menghebohkan asrama putri. Terutama asrama yang terletak dekat jemuran pakaian dan juga ruang makan. Mungkin saat itu masih tren rumor mengenai jalangkung yang sempat juga dibuat filmnya. Sebagai remaja yang masih labil, maka ada beberapa orang yang mungkin penasaran akan kebenaran urban legend tersebut. Detail kejadiannya tidak penulis ketahui, karena lokasi "permainannya" di kamar sebelahku. Entah karena ada makhluk "lain" yang merasa terganggu atau mungkin marah, maka terjadilah beberapa kejadian "kemasukan" secara bergantian. Selama beberapa hari sangat terasa hawa aneh, nyaris ketakutan kemana-mana sendiri (khususnya malam hari), ketakutan kalau menjadi target "kemasukan" selanjutnya, atau menjadi target gangguan atau sasaran kemarahan "mereka". Bahkan tidur pun yang biasanya 1 kasur setiap orang, saat itu satu kasur kami tidur berdua, yang kasurnya di ranjang atas, pindah ke bawah untuk sementara sampai keadaan aman.

Sungguh, saat itu rasanya ingin pulang ke rumah, tapi apa alasannya? Kalau takut, bukankah sudah jelas kita hanya boleh takut pada Allah. Kalau pun alasan rasa ketidaknyamanan, bukankah semuanya juga merasa tidak nyaman atas keadaan ini? Nyaris beberapa kali dalam satu hari ada beberapa orang yang menjadi sasaran gangguan "mereka". Kata guru kami, itu bisa terjadi terutama jika pikiran kita kosong, maka kami dianjurkan untuk lebih sering berdzikir (menyebut nama Allah), membaca ayat-ayat Alqur'an, dan jangan sampai melamun atau memiliki rasa ketakutan yang berlebihan. Karena kejadiannya sudah sangat lama, maka tidak lagi ingat entah bagaimana suasana asrama kembali seperti semula. Entah berapa hari sampai kami hampir benar-benar melupakan kejadian mencekam tersebut. Kembali seperti biasa tidur di kasur masing-masing, dan tidak ada satu pun yang membicarakan kejadian itu lagi. Kalau diingat-ingat kok seperti kisah Harry Potter, yang sempat asramanya mengalami kondisi tidak aman karena munculnya para dementor yang gentayangan di sekitar Hogwarts. Aduh, masih sempat pula ngejayus (supaya tidak terlalu tegang).

Meski sudah tidak ada lagi kejadian heboh seperti itu, namun sewajarnya dunia ini juga bukan hanya manusia yang menempati, maka sesekali "mereka" pun bisa meminjam tubuh seseorang untuk dikunjungi. Rasanya tegang ketika mendengar atau melihat langsung ada kawan, kakak kelas atau adik kelas, yang katanya sedang "kemasukan." Tapi sekuat hati juga berusaha menepis rasa takut, karena konon "mereka" tahu manusia-manusia mana yang pikirannya kosong atau bahkan sekedar terbesit rasa takut. Bukankah itu lebih memungkinkan kita untuk "mereka" senangi sebagai teman ataupun permainan bagi makhluk yang tidak semua orang bisa melihatnya itu.

Mungkin itu pula yang membuat beberapa orang sedikit melihatku sebagai pribadi aneh. Padahal hanya berbeda mengekspresikan rasa terutama ketakutan akan sesuatu hal. Kebetulan saja meski geli dan sedikit takut pada beberapa jenis binatang, tetapi tidak sampai ada fobia yang membuat lari tunggang langgang atau jejeritan dengan lantang saat berada di dekat hal yang membuat takut. Tanpa disengaja, meski tidak benar-benar berniat menjaga image (jaim), namun tidak menyalahkan pula mereka yang sempat men-cap diri ini super jaim. Mungkin karena pola asuh dan lingkungan keluarga masing-masing yang berbeda, atau pengalaman di masa kecil yang berbeda, dan mungkin juga efek menjadi seorang sulung sedikit banyak bisa mempengaruhi seseorang untuk bersikap tampat jaim, terutama di asrama sedikit memaksa jaim dengan angan-angan tidak membuat pusing orang tua. Padahal ketika seseorang merasa bahwa dirinya sedikit berbeda dari lingkungan sekitarnya, tanpa disebutkan pun dia menyadarinya, apalagi kalau masih dalam usia remaja. Masih labil dalam semua hal, terutama masalah pergaulan dengan teman yang nyaris menjadi prioritas utama.

Padahal jika boleh jujur, ada rasa juga bahwa mungkin betapa menyenangkannya mereka yang bersikap apa adanya di mana pun dan kapan pun. Terutama jika itu masih berada di usia remaja, karena saat itulah masa pencarian jati diri, dan semestinya tidak ada hal yang dimanupulasi supaya masa depannya tidak mengalami suatu penyesalan karena masih bingung dengan dirinya sendiri. Jika yang sudah melewati masa remaja, dan merasakan hal tersebut, maka belum terlambat untuk mencoba menjadi diri sendiri meski sudah memasuki usia dewasa. Karena sejatinya sebelum Izrail menjemput kita, diri ini masih akan terus belajar. Buat yang masih remaja, jangan ragu menunjukkan siapa sesungguhnya diri kita, apa yang kita ingin capai di masa depan. Jangan khawatir mengecewakan orang-orang yang kita sayan jika ternyata impian itu berbeda dengan harapan mereka. Selama masih dalam hal positif, maka jika dibicarakan secara baik-baik, bukan mustahil impian itu akan semakin cepat kita raih dengan dukungan dari orang-orang tersayang.

Intinya setiap individu adalah unik dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Jika ada yang men-cap kita aneh, jangan dianggap sebagai hal negatif. Ganti saja kata aneh dengan unik, kemudian kita introspeksi diri apakah yang dianggap orang lain aneh itu, hal positif atau negatif? Kalau positif dipertahankan, dan jika hal itu ternyata negatif sebaiknya berusaha diminimalisir dan berusaha menjadi diri yang lebih baik lagi. Jadi jangan sedih kalau secara tersurat atau tersirat, ada yang men-cap kita aneh. Katakan saja "I am not freak, but I am unique, and also you are unique too, because everybody is unique."





read more »

Rabu, 05 Desember 2012

Percaya Tidak Percaya

Kalau ada kupu-kupu masuk ke dalam rumah, tandanya akan ada tamu yang berkunjung. Kalau sering jatuh tandanya mau punya adik. Kalau bulu mata jatuh tandanya ada yang rindu. Kalau telinga berdenging berarti sedang dbicarakan oleh orang lain. Kalau mimpi ular berarti ada yang suka. Kalau mimpi gigi patah/ompong, akan ada yang meninggal dunia. Kalau mimpi meninggal tandanya umurnya panjang. Dan masih banyak lagi mitos (entah sekedar mitos atau benar adanya) yang berkembang di masyarakat, khususnya mereka yang masih mengingat betul apa kata orang tua dulu. Percaya tidak percaya juga, tergantung pengalaman masing-masing individu juga. Kalau Saya pribadi memilih yang baik dianggap motivasi untuk optimis, dan yang buruk tidak usah terlalu dipikirkan.

Sebenarnya kalau di keluarga Saya, sejak kecil sampai sekarang tidak pernah di-doktrin dengan pernyataan-pernyataan demikian. Namun, itu semua Saya dengar di lingkungan luar rumah, sekolah yang saat itu berasrama, atau sekedar membaca dari beberapa sumber di berbagai media massa. Anggaplah itu hanya sekedar mitos yang tidak dapat dibuktikan secara pasti tingkat keakuratan dan kepastiannya. Tetapi tidak akan ada rumor demikian jika pada zaman dahulu, tidak ada yang merasakan efek kebenaran dari mitos-mitos tersebut. Bahkan sampai sekarang pun masih ada beberapa orang yang kadang memang menemukan kebenarannya, meski mungkin hanya sesekali. Berikut ini beberapa pengalaman pribadi terkait dengan beberapa hal yang berhubungan dengan mitos yang cukup populer di masyarakat.

AKAN SEGERA PUNYA ADIK JIKA SERING JATUH.

Saya sendiri pernah mengalaminya beberapa kali. Meski baru disadari saat ini mungkin inilah salah satu hal yang membuat orang bilang, kalau sering jatuh berarti akan punya adik lagi. Kalau diingat-ingat, ada beberapa kali kejadian jatuh atau kecelakaan tunggal yang terjadi saat Saya masih kecil. Kalau kecelakaan pertama (kepala terbentur rak TV) bukan murni Saya ingat, tetapi karena diceritakan dan bantuan sebuah foto dengan perban masih menutupi dahi bagian kanan (Bekas jahitannya masih terlihat sampai sekarang). Itu terjadi sekitar usia 1 tahun lebih beberapa bulan, alias belum genap 2 tahun. Jarak usia Saya dengan adik pertama yaitu 3 tahun. Berarti ketika jatuh itu bisa lah dikatakan memang Saya akan segera memiliki seorang adik.

Berpose dengan perban kenangan :).
Kemudian saat melihat foto lainnya, yaitu gambar Saya berpose bersama adik pertama (kalau menebak fotonya sekitar umur 1 atau 2 tahun, enggak tahu pasti karena konon ceritanya adik yang satu ini memang sangat kurus saat masa balitanya), juga bersama kedua om (adik Ibu). Di foto itu terlihat jelas bahwa kedua lutut Saya ada luka, masih terlihat merah karena warna obat luka zaman dulu (sekarang enggak pernah lihat obat itu lagi). Setelah lihat foto itu, jadi ingat suatu kenangan masa kecil. Ternyata luka itu bukan terjadi karena satu kali jatuh, tetapi dua kali jatuh. Aneh ya, kok masih ingat? Mungkin karena waktu itu sudah sekolah TK, dan karena kejadian jatuh itu merupakan kejadian traumatis. Bukan lebay, tapi memang berkesan dalam. Begini cerita detailnya, luka pertama menimpa lutut bagian kanan. Waktu itu sedang asyik bermain di halaman rumah, entah main apa yang jelas ingatnya tiba-tiba jatuh dengan lutut tepat mendarat di tanah berbatu. Waktu itu kebetulan sedang pakai celana 3/4 warna putih motif polkadot hitam kecil, yang merupakan celana kesayangan saat itu (ini dia sebab utama kenapa masih ingat kejadiannya). Bukan hanya melukai lutut, tapi celana itu juga ikut sobek seukuran lukanya. Huwaaa!!! Bukan hanya kesakitan tapi sedih juga karena celananya rusak.

Sedangkan luka di lutut sebelah kiri, terjadi beberapa hari setelah kejadian suksesnya lutut kanan terluka. Entah waktu itu pulang dari sekolah TK atau memang sedang diajak Ibu ke pasar (kebetulan memang jika sepulang sekolah mampir dulu ke pasar itu, memang searah ke rumah). Kalau tidak salah ingat ketika mau pulang (tepatnya menuju angkot), Ibu berjalan dengan agak terburu-buru sambil menggandeng tanganku. Entah karena lelah, lapar, atau memang sudah takdirnya jatuh, Saya terjatuh di trotoar dekat jalan raya sekitar pasar Pondok Labu (tuh kan, traumatik banget dan malu juga sih banyak orang sampai ingat lokasinya). Ajaibnya, pas banget yang luka itu lutut bagian kiri, bukan yang kanan atau bagian tubuh lain. Jadilah saat itu lutut kanan dan kiri kompak berwarna merah, diwarnai sama obat luka yang dulu populer dengan nama "obat merah."

Setelah atau sebelum kejadian itu pun (lupa pastinya) Saya juga pernah terjatuh dari tangga, gara-gara sok ngebantuin si Mbak (Asisten Rumah Tangga) angkat jemuran. Terutama mengambil sendiri sebuah selendang imut yang biasa Saya pakai buat menggendong boneka. Keserimpet selendang, jatuhlah di tangga. Untungnya (masih bisa bilang untung ya??) tidak ada perdarahan, tapi sukses membuat dahi benjol di bagian kanan dan kiri (atas mata). Sampai sekarang masih agak merasakan sepasang benjolan di dahi, meski tidak pernah diperiksakan karena memang mungkin tidak sampai menimbulkan masalah serius pada bagian dalam kepala.

Apa hubungannya sama mitos punya adik? (sabar yee...) Jadi jarak usia adik pertama dengan adik kedua itu 3 tahun, otomatis jarak usia si Bungsu sama Saya (si Sulung) 6 tahun kan? Jadi kalau saat itu Saya udah TK B atau usia 5 tahun aja, berarti kejadian itu enggak lama sebelum Ibu mengandung si Bungsu kan? Nah, Alhamdulillah sejak semua adik lahir (Cuma dua, tapi kesan kata semua seolah menunjukkan jumlah yang banyak ya?), maka entah kenapa Saya jadi sangat amat jarang jatuh (Ya iya lah masa' hobi bener jatuh??) Kalau diingat-ingat sampai sekarang, Alhamdulillah kalau sesekali kepeleset, kesandung, atau lainnya ada mungkin jaraknya setelah bertahun-tahun, tidak seperti kejadian di waktu kecil dulu. Hehe tapi kalau mau dipikir secara logika, ya sama seperti orang lanjut usia yang bisa sering jatuh karena sudah ada beberapa bagian tubuh yang melemah/rusak. Anak kecil pun demikian, bisa sering jatuh karena kebalikannya, yaitu organ tubuh dan alat pergerakannya yang belum begitu kuat dalam hal menjaga keseimbangan tubuh. Who knows???

AKAN KEDATANGAN TAMU JIKA ADA KUPU-KUPU MASUK KE DALAM RUMAH/RUANGAN.

Nah, kalau ini sepertinya jadi salah satu mitos yang hampir mendapat predikat paling populer (setidaknya di lingkungan orang-orang yang kukenal). Ketika masa-masa sekolah di asrama, saat ada seekor kupu-kupu masuk ke dalam kamar, seketika itu pula ada yang nyeletuk "Wah ada yang mau ditengok nih, asyik ada kiriman uang/makanan." Kadang memang benar, salah satu di antara anggota kamar mendapat kunjungan dari orang tua atau keluarga lainnya.

Cerita lainnya terjadi di rumah orang tua Saya. Suatu waktu ada kupu-kupu yang menurutku terjebak masuk ke dalam rumah. Agak lama juga memutari ruangan, seolah mencari jalan keluar. Iseng-iseng dalam hati kepikiran, jangan-jangan bakal ada tamu nih. Ternyata memang ada tamu, dengan jumlah orang yang tidak bisa dibilang sedikit (maksudnya lebih dari 3 orang). Sudah lupa tamunya siapa dan waktunya kapan, karena tidak hanya memang dalam setahun nyaris lumayan sering ada tamu di rumah. Pokoknya lumayan cukup membuktikan kenapa dulu ada yang mencetuskan mitos ini.

AKAN ADA YANG MENINGGAL DUNIA JIKA BERMIMPI GIGI PATAH/OMPONG.

Ini adalah salah satu mitos yang cukup membuat orang-orang cemas, terutama kalau memang ada salah satu kerabat yang sedang sakit atau berada jauh dari rumah. Awalnya Saya bukanlah orang yang memikirkan mimpi apa semalam. Bahkan sesaat setelah mata terbuka ketika bangun tidur pun, lebih sering melupakan mimpi yang dialami, dan tidak jarang pula tidur tanpa mimpi alias gelap gulita. Namun, suatu ketika semuanya berubah, dan lumayan membuat diri ini merasa terganggu, meski tidak sampai memeriksakan diri ke psikiater.

Beberapa tahun lalu, entah kenapa tiba-tiba suatu malam memimpikan hal yang super duper aneh. Mimpi yang seolah terasa sangat nyata. Bukan hanya sekedar mimpi seolah menonton film, tapi benar-benar merasa terlibat karena dalam hati seolah hampir bisa mengendalikan apa yang dibicarakan dengan orang di sekitar. Meski sekarang sudah lupa detail pembicaraan dalam mimpi, dan siapa orang yang Saya ajak bicara. Tetapi satu hal yang masih teringat adalah, bahwa di detik-detik terakhir sebelum terbangun. Tiba-tiba berdiri di depan sebuah cermin, dan merasakan bahwa beberapa gigi di barisan depan atas copot semua alias ompong. Sensasi copotnya itu dapet banget (kalau tidak salah giginya masih sempat ditangkap oleh tangan), tapi anehnya tidak ada darah atau rasa sakit sedikit pun. Saat akan bercermin sembari menempelkan lidah ke bagian yang ompong, Saya sudah tersadar dan membuka mata.

Astagfirullah, ini pertama kalinya mimpi yang terasa sangat nyata. Bahkan ketika baru membuka mata (masih berbaring di tempat tidur) seketika refleks langsung menggerakkan lidah untuk menyentuh gigi di barisan depan atas. Untuk memastikan apakah benar gigi-gigi itu copot atau tidak. Bangun pun dengan perasaan aneh dan agak deg-deg-an. Tapi berusaha untuk tidak memikirkan mimpi itu terlalu dalam, khawatir jadi pesimis dan paranoid. Kemudian hari-hari pun berlalu seperti biasanya.

Entah tidak tahu pastinya kapan, mungkin beberapa bulan semenjak mimpi aneh itu, kami sekeluarga mendengar kabar bahwa salah satu kerabat dari Ayah, harus masuk ICU. Kami pun masih sempat menjenguk, meski waktu itu beliau dalam keadaan tidak sadar, dibantu dengan banyaknya selang yang jujur saja baru pertama kali kulihat secara langsung (biasanya cuma di TV). Kami pun hanya bisa memanjatkan doa supaya beliau segera membaik. Hanya selang beberapa hari kemudian kami mendengar kabar bahwa beliau sudah kembali kepada-NYA. Innaalillahi wa innaa ilaihi raaji'uun.

Seketika teringat pada mimpi aneh itu, dan ternyata kejadian. Memang sih katanya tidak baik menghubung-hubungkan sesuatu hal yang sudah menjadi takdir-NYA dengan segala hal yang dianggap tanda-tanda atau firasat tertentu. Namun, setidaknya inilah pengalaman pertamaku dengan sebuah hal yang konon dianggap mitos. Hal ini tidak berani kuceritakan pada orang tuaku, terutama saat kejadian belum lama terjadi. Selain khawatir membuat sedih, juga mungkin tidak akan memberikan tanggapan atau komentar (sebagai usaha supaya anaknya tidak mikir yang aneh-aneh).

Hal yang paling membuatku heran, adalah kenapa Aku harus menerima mimpi seperti itu, karena sebenarnya Aku tidak terlalu dekat juga dengan beliau. Meskipun memang di antara Aku dan adik-adik, karena Aku si Sulung otomatis mungkin lebih banyak memori tentang beliau. Keanehan lainnya adalah jauh sebelum memimpikan gigi ompong itu, Aku juga sempat bermimpi melihat beliau dengan beberapa orang anaknya yang seperti menangis, entah bertengkar atau apa. Tetapi waktu itu Aku hanya sebatas melihat mereka tanpa terlibat di dalamnya. Waktu itu tidak kuambil pusing, karena memang kalau tidak salah mimpi itu terjadi beberapa saat setelah silaturrahim (hari raya apa ya?), jadi kupikir mungkin alam bawah sadarnya merekam kejadian yang sudah terjadi. Apakah itu semua saling berhubungan? Wallahu'alam.
read more »

Selasa, 04 Desember 2012

Cerpen: TIBA SAATNYA


 “Ngedengerin ceramah??? Pasti BT banget. Tiap peringatan Isra Mi’raj pasti ada acara ceramah.” Aku hanya bisa bersungut-sungut dalam hati. Ya, hari ini peringatan Isra Mi’raj diisi dengan ceramah yang disampaikan oleh seorang wanita yang disebut ustadzah. BT banget, apalagi acaranya dipisah cowok dan cewek. Nggak bisa lihat doi deh. Dengan berat kulangkahkan kaki menuju aula. Anak-anak ROHIS sudah berdiri di samping pintu menyambut seluruh siswi SMU PUSPA BANGSA.
Fir, dateng juga lo, gue kira seorang Fira enggak bakalan mau ikut acara kayak gini.” “Sebenernya gue ogah, tapie nggak enak sama anak ROHIS. Waktu kita punya acara minggu lalu anak ROHIS udah mau dateng plus ngasih sambutan sebagai support mereka buat kegiatan KIR.” Lala hanya mengangkat kedua bahunya sembari berjalan di sisiku menuju deretan kursi di bagian tengah. Acara demi acara pun berlangsung meski aku mengikutinya dengan perasaan terpaksa.
**********
Perkataan ustadzah di aula kemarin telah membuatku sering merenung. “Fir, kenapa sih? Kayaknya gue perhatiin akhir-akhir ini jadi enggak fokus di kelas. Punya masalah?” “Enggak, lagi males aja.” “Oh, ya udah. Asal pelajaran jangan sampai keteteran gitu dong.” “Sip, makasih ya, La.”
Lala sahabat yang selalu setia mendengarkan uneg-unegku. Selain itu, di KIR aku menjabat sebagai ketua dan Lala adalah sekretaris. Jadi makin kompak deh. “Teeetttt…”. Bel berbunyi, tanda waktu pulang telah tiba. Seperti biasanya Aku pulang bareng Lala. “Fir, lo mau nemenin gue ke toko buku nggak? Bokap nitip something sama gue.” “Oke, gue mau nemenin kok”. Kuiyakan permintaan Lala karena memang Aku sedang malas buru-buru pulang ke rumah yang sepi.

Di  Knowledge Book Store.
Pandanganku tertuju pada buku bercover hijau dengan judul “WANITA dan JILBAB.” Ingatanku kembali pada saat acara Isra Mi’raj di sekolah. Ustadzah Aisyah berkata bahwa islam mewajibkan umatnya khususnya muslimah untuk menutup aurat. Caranya, dengan berjilbab. Kuambil buku itu dan kubaca sinopsisnya di cover bagian belakang. “Sering tidak kita sadari bahwa rambut dapat mengundang maksiat. Maka di buku ini dijelaskan perintah Allah dan Rasul-NYA untuk menutup aurat dengan berjilbab bagi wanita.”
“Fir, ngapain lo? Pulang yuk.” Ucapan  Lala mengagetkanku. Refleks kukembalikan buku itu ke tempatnya. Sepanjang perjalanan, Lala menceritakan kisah buku yang ia beli, namun aku hanya menganggapinya dengan kata-kata “Ya, bagus banget” dan mengangguk-angguk seolah memperhatikan ucapannya.
**********
“Bunda, kapankah seorang muslimah diwajibkan berjilbab ?” Bunda termenung sesaat kemudian tersenyum, “Fira, sebetulnya ketika perempuan sudah baligh, maka ia wajib menutup auratnya. Tapi kalau sudah berjilbab harus konsisten. Jangan memakai jilbab dengan niat setengah-setengah.”
Aku terdiam dan berpikir apakah aku sudah siap dengan segala hal yang akan kuhadapi nanti. “Apa kamu berniat berjilbab ?” Bunda seperti tahu apa yang ada di benakku. “Mungkin, tapi kayaknya nggak sekarang, soalnya Fira ingin menguatkan tekad terlebih dahulu.” Bunda tersenyum penuh harap putrinya akan mengikuti jejaknya yang berjilbab sejak tiga tahun lalu.
**********
Kegaduhan terjadi di depan kantor TU. Nilai UAN sudah diumumkan. Ada yang melonjak senang karena lulus, ada pula yang menangis karena tidak lulus dan harus mengikuti remedial saat yang lulus sudah libur nantinya. Ada pula yang tak berekspresi karena tak tahu melanjutkan kemana.
Aku lulus dengan rata-rata 9,00. akhirnya aku berhasil meraih PMDK di FMIPA UI. Sedangkan Lala mendapat PMDK di FKM UI, jadi kami masih akan tetap dekat dan mudah untuk bertemu. Saat inilah aku berani terus terang padanya perihal keinginanku untuk berhijrah.
Lala memelukku penuh haru. “Alhamdulillah, akhirnya hidayah telah datang. Kok kebetulan, aku juga ingin mengatakan hal yang sama.” Ketika pelukan lepas, kami berjanji akan bersama-sama berhijrah. Bersama-sama konsisten, sampai akhir hayat. Aamiin.


Ditulis di Kota Hujan, sekitar bulan Oktober atau November 2004

read more »