Daisypath - Personal pictureDaisypath Anniversary tickers

Minggu, 29 September 2013

Stupidity of A Bride: Sebuah Kisah Kedodolan Pengantin Wanita

Cuma satu kayaknya cewek dodol yang di hari pentingnya, lengkap dengan pakaian pengantin pula, salah masuk toilet. Parah banget, dengan santainya melangkah masuk tanpa lihat-lihat dulu tanda di pintu toilet yang bergambar manusia pakai celana, bukan rok. Untungnya (masih bilang untung) di dalam sedang tidak ada manusia seorang pun.

Ini semua dimulai dengan rentetan ke-senewen-an sejak pagi buta. Diawali dengan kurang tidur, bangun sedikit kesiangan, dilanjut dengan terlalu banyak menghabiskan waktu untuk memasang soft lens. Maklum baru beberapa hari sebelum hari H (24 Agustus 2013) kenalan sama benda mungil itu. Dari dulu anti banget buat pakai soft lens dengan alasan takut matanya iritasi, ribet, dll.

Sebelum tragedi salah masuk toilet itu, satu hal BeTe adalah saat adik perempuan saya memberitahukan bahwa ada noda lipstik di gigi bagian depan atas. Weeekkk!!! Udah aslinya punya trauma sama lipstik, malah hal seperti ini muncul di menit-menit terakhir sebelum acara resepsi di mulai. Waktu itu sudah siap berdiri karena mas-mas fotografernya udah mulai cerewet kasih tahu kalau bentar lagi kudu siap pose untuk foto keluarga. Tapi malah orang tua kami yang belum selesai didandani. Udah kepalang tanggung, ribet juga cari tempat duduk, maka kami pun berdiri di depan ruang rias, yang bersebelahan juga dengan toilet.

Panik, cari tisu enggak ada. Si adik pun menganjurkan untuk membersihkan noda tersebut dengan lidah. Tapi kalau tidak bercermin susah kan? Apalagi pikiran saya mulai sedikit mengingat ke-eneg-an saat di masa balita lalu muntah gara-gara 'dicekokin' lipstik. Tapi dengan mental baja, agar supaya (inget pejabat siapa ya dulu yang sering pakai kata 'agar supaya'?) tidak merepotkan banyak orang, sekuat mungkin ingatan itu saya singkirkan. Biar tidak muntah, padahal apa yang mau dimuntahin sih, sarapan juga hanya sedikit itupun waktunya masih sangat pagi. Tawaran sarapan lagi pasca akad nikah (antara pukul 9 sampai 10 pagi), saya tolak karena tidak nyaman rasanya makan dengan lapisan lipstik tebal di bibir.

Baiklah, cara satu-satunya untuk menghilangkan noda lipstik di gigi saat itu, adalah segera masuk ke toilet, berdiri di depan cermin dan masalah pun teratasi. Saking buru-buru dan fokus sama cara jalan supaya enggak keserimpet rok yang menyapu jalan, maka saya segera masuk ke toilet tanpa melihat dulu gambar yang terpasang di pintu toilet. Ketika baru melangkahkan satu kaki ke dalam toilet, adik laki-laki saya yang memang saat itu berdiri di samping toilet mengingatkan kalau itu untuk cowok. Dodooool!!! Untung enggak banyak yang melihat (tapi setelah saya tulis kisah ini, akan jadi banyak yang tahu *_^). Dengan segera kulangkahkan kaki menuju jalan yang benar, menuju toilet yang seharusnya kumasuki, toilet wanita.

Ya sudahlah ya, namanya juga sedang nervous kelas berat. Apalagi buat si cewek yang selalu enggak nyaman jadi pusat perhatian. Beberapa hari sebelum dan di hari pernikahan itu, siapa lagi yang paling sering ditanyain, yang paling ingin dilihat atau ditemui kerabat? Sudah tahu semua kan jawabannya? Makanya hari itu bukan panik karena apa-apa, tapi lebih panik membayangkan ratusan pasang mata tertuju ke arahku (huuu, GeeR pisan euy).

Udah dulu ya cerita dodolnya, selamat istirahat di hari Minggu ini yaaa.....
read more »

Sabtu, 21 September 2013

Bahasa Emak

Long time no see... Eh maksudnya long time no write about my absurd story. Setelah hampir sebulan lebih vakum dari dunia blog ini, kini saya hadir kembali dengan kisah baru di status yang kini baru juga.

Now I am a wife (Whaaaaaattttt???). Dunia kaget? Yang mengalami saja masih tidak menyangka bisa sampai di tahap ini. Tapi sekarang bukan waktunya menceritakan detail bagaimana si cewek aneh binti eror ini bisa bertemu dengan orang yang mau menerima doi secara lahir dan batin. Sekarang temanya adalah tentang bahasa ibu.

Tahu kan maksudnya? Yaitu tentang bahasa daerah asal seorang wanita yang bertitel ibu, emak, mama, mami, ummi, dll, yang sepatutnya diwariskan kepada anak-anaknya meski si anak tidak lahir atau tumbuh besar di kampung halaman orang tuanya. *Omong-omong kampung halaman eike apa ya? Secara meski keturunan Jawa tulen, ogut kan lahir di dan besar melewati masa bayi, balita, dan kanak-kanak di Jakarta.

Sebut saja kasus yang saya alami, sebagai salah satu anak kelahiran Jakarta, besar di Jakarta, Bogor, dan kemudian pindah ke Tangerang Selatan, tapi punya darah keturunan suku Jawa tulen dari kedua orang tua yang sama-sama asal Jawa Tengah. Kalau istilah di novel Harry Potter, saya ini "berdarah murni" bukan "berdarah campuran." *Eh, apa coba kok ngomongin novelnya J.K. Rowling?

Balik lagi ke soal bahasa ibu. Meski lahir dan besar di Jakarta, saya cukup beruntung punya ibu yang sejak dulu selalu mengenalkan dan membiasakan untuk berbicara bahasa Jawa kepada anak-anaknya. Ya, memang kami, selaku anak-anak beliau hampir tidak pernah menimpalinya lagi dengan bahasa Jawa. Tapi minimal sedikit-sedikit lumayan paham kan? Daripada sama sekali tidak mengerti bahasa daerah asal orang tua?

Namun tetap saja kemampuan berbahasa Jawa itu hanya sekedar kemampuan pasif, hanya bisa paham tanpa mampu menuturkannya dengan baik dan benar, serta tepat sasaran (ada perbedaan untuk berbicara kepada yang sebaya dan kepada yang lebih tua). Apalagi kalau suatu saat harus kembali berbaur di lingkungan yang masih dominan menggunakan bahasa Jawa dibandingkan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.

Dulu sih cuek-cuek saja. Toh bertemu saudara yang tinggal di kampung halaman hanya sesekali, bahkan bisa dikatakan sekali setahun saat hari raya. Tapi kini ketidakmampuan saya dalam melafalkan bahasa Jawa (terutama yang halus dan penuturan kepada yang lebih tua), benar-benar sangat terasa. Bahkan sering membuat diri ini menjadi salah tingkah, enggak nyaman, malu, dan hampir selalu memilih diam jika tidak benar-benar mendesak untuk bicara.

Terutama di masa awal-awal berstatus baru ketika menjalani masa-masa ngunduh mantu beberapa waktu lalu. Kebetulan (eh, takdir maksudnya) Tuhan memilih saya untuk kembali bertemu dengan orang yang sesuku, bahkan bukan sekedar Jawa "keturunan doang" seperti saya, tapi memang orang yang lahir dan besar di Jawa Tengah. Tidak terlampau jauh dari kampung halaman kedua orang tua saya.

Tapi keadaan terdesak memang bisa mengubah segalanya. Termasuk saya yang sebelumnya tidak pernah mau bertutur dalam bahasa Jawa. Saat ini minimal sepatah dua patah kata harus ada yang diganti dengan bahasa Jawa. Sulit bukan berarti tidak bisa kan? Toh ini termasuk hal positif. Minimal belajar jadi wanita halus, bukan cewek tomboy nan kasar binti cuek bebek sama lingkungan sekitarnya.

Maka saya bersyukur menjadi anak dari seorang Ibu yang tidak menyepelekan masalah bahasa ibu ini. Hal ini sangat membantu saya dalam beberapa waktu lalu, yang tinggal sementara di PMI (Pondok Mertua Indah) alias daerah kelahiran suami (masih rada rikuh menuliskannya, karena belum terbiasa dengan kata tersebut, tapi harus dibiasakan). Sambung lagi kapan-kapan yaaa ^_^.
read more »