Sekitar dua hari yang lalu menekatkan diri pergi sendiri untuk belanja (what??? Nila belanja?), tepatnya untuk membeli sepasang sandal berhak sekitar 5 cm (makin shock, mengingat sejak kecil sampai dewasa lebih condong boyish daripada feminim). Bahkan saat balita pernah menolak mentah-mentah, sebuah daster pink unyu (dulu menganggap tidak bagus) yang sengaja dijahit kembaran dengan daster milik Mama. Alhasil tidak pernah sekalipun daster mini itu terpakai, waktu SD baru sadar dan merasa bersalah dalam hati. Mungkin sejak itu juga nyaris tidak pernah menolak pakaian yang dibelikan beliau meski agak kurang sreg.
Kali ini tentang high heels, mau tidak mau memang harus mencobanya untuk membiasakan pakai benda itu. Padahal punya kaki yang lebar tapi pendek ini, lumayan susah menemukan ukuran yang cocok. Jadi enggak heran juga kan kalau lebih suka pakai sepatu atau sandal hak datar, karena biasanya ukuran lebarnya sama dari ujung ke ujung.
Kali ini inti ceritanya bukanlah tentang high hells atau soal minat seorang Nila yang minim tentang belanja segala hal terkait fashion. Tapi tentang kejadian unik yang mungkin juga dialami oleh setiap manusia.
Jadi begini. Saya berangkat menuju target lokasi dengan angkot yang setiap harinya melintasi depan rumah ortu. Ada satu ibu-ibu penumpang yang tidak saya kenal sebelumnya. Akhirnya kami memang turun di tempat yang sama, meski beliau lebih dulu ada di dalam angkot daripada saya. Oke, kami pun berjalan ke arah yang berbeda, tanpa sempat menyapa atau berkenalan (kerajinan ya. turun angkot kenalan dulu sama penumpang lain?).
Kurang lebih satu setengah jam (bukan kelamaan nawar atau muter-muter, tapi kelamaan bingung sendiri saking enggak paham mana sandal yang bagus dari kualitas baik dengan harga terjangkau). Alhamdulillah, yang dicari dapat juga, udah malas pergi-pergi lagi. Kemudian setelah menyebrang ke arah pertokoan lain, mencoba cuci mata enggak jelas yang akhirnya bosan sendiri, maka diputuskan saat itu juga menuju pinggir jalan raya menunggu si angkot warna biru telor asin.
Setengah jam berlalu, memang harus ekstra sabar menunggu angkot itu, karena jumlahnya yang sedikit, terlebih di hari Minggu siang menjelang sore itu. Menengok ke belakang, ada seorang ibu yang mukanya enggak asing. Eh, ternyata beliau ibu yang tadi seangkot saat saya berangkat dari rumah. Ketemu lagi deh... Akhirnya bareng-bareng menanti kedatangan si angkot, sambil sesekali mengobrol. Iya, ngobrolin si angkot yang jangan-jangan sudah tidak ada lagi karena hari libur.
Is that called 'jodoh'?
Dalam hal apapun mungkin kita pernah mengalaminya. Sesuatu yang diinginkan dan diusahakan setengah mati didapatkan, malah hilang begitu saja. Sedangkan yang dihindari atau mengupayakan segala cara untuk menggagalkan, malah berjalan mulus-mulus saja. Ya, makanya itu semua disebut misteri Ilahi. Semuanya, tentang rezeki, jodoh, dan maut. Wallahu a'lam bishawab.