NYANYIAN HATI SEORANG PEMALANG
(Coretan Gundah Masa Labil Santriwati Eror, 2005)
Langit mulai menampakkan siluet senjanya. Tapi kelelawar ganas sudah terjaga di gua. Bersiap-siap mencari makanan saat rembulan menyapa. Ya, malam ini malam bulan purnama. Saatnya akan dimulai.
Entahlah aku bingung kenapa hidup harus kujalani. Kududuk di tepi danau. Melihat air yang tenang menandakan dalamnya danau itu. Sedalam hal yang menusuk hatiku. Menikam dadaku. Aku tak mengerti kenapa tidak kutemukan rasa itu? Kenapa juga aku jalani ini semua? Hidupku mengambang entah ke mana. Di atas kurasa salah, di bawah kurasa belum tepat. Di kanan kurasa sakit, di kiri kurasa perih. Ingin kumasuki dunia yang lain. Di mana tak ada seorang pun dapat menggangguku. Sunyi, sepi. Hanya alam yang menjadi sahabatku. Dapat menerima dan memberi. Menjadi simbiosis mutualisme.
Aku muak. Ingin memuntahkan semua kepedihan ini. Ingin kuterbang jauh. Melintasi segala kemalangan di bawahku. Berkata "good bye" pada mereka semua. Hingga takkan lagi kulihat dan kembali membuatku menangis. Aku sudah bosan pada kesedihan, kekalahan, kemalangan, keterpaksaan, dan segala ungkapan yang menunjukkan segala sesuatu berupa penindasan. Terkucil, terisolasi, tersudut, terpaksa, terpendam, tertutup jauh di dalam lubuk hatiku.
Hari ini seorang anak "pemalang" duduk di sini. "Pemalang" yang selalu menangis. Selalu menikmati hari-harinya bersama alam, sunyi, sepi, dan benci keramaian. Karena keramaian selalu membuatnya terkucil, tersudut, terpojok. Di saat senang dia bingung pada siapa membagikannya, karena tidak ada yang mau menerima. Apalagi kesedihan, mungkin mereka sudah muntah terlebih dahulu. Inilah suara hati seorang "pemalang".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar