Melihat Daisypath dan tersadar akan suatu hal yang setahun atau bahkan setengah tahun lalu belum jadi pemikiranku sama sekali. Hampir genap dua bulan statusku berubah. Oh, mungkin bukan berubah tapi bertambah. Tidak hanya menjadi anak dari orang tuaku, tapi juga menjadi seorang istri serta menantu dari sosok yang kupanggil 'Ibuk.'
Mayoritas yang 'KEPO' sejak masa pra sampai pasca akad, adalah pertanyaan bagaimana kami bisa bertemu. Mayoritas pula melontarkan tebakan awal "Teman sekolah/kuliah ya?" Atau salah satu sesepuh yang sudah menduga kemungkinan terbesar alasan kami bisa menikah karena dijodohkan (baca: memerlukan perantara), dengan lugas bertanya siapa sosok Mak Comblangnya. Saat itu aku hanya menjawab dengan kalimat "Wallahu a'lam." Maksudnya memang karena diri sendiri pun tidak tahu pasti siapa yang paling tepat disebut sebagai comblangnya. Tapi jawabanku itu malah dianggap sebagai jawaban untuk menyembunyikan sebuah fakta. Padahal apa yang mau ditutup-tutupi, kami sendiri kadang masih tidak menyangka akhirnya sampai di tahap yang seserius ini.
Hari gini dijodohin? Mungkin kalimat itu yang akan muncul di benak sebagian besar manusia yang merasakan hidup di zaman moderen ini. Tapi pada kenyataannya memang demikian adanya, bahkan mungkin ada semacam fenomena gunung es. Dimana jumlah pasangan yang menikah melalui perjodohan (masa kini) hanya sedikit yang tampak, padahal jumlahnya masih sangat banyak yang tidak terdeteksi.
Kok mau-maunya sih dijodohin? Enggak takut kalau tiba-tiba enggak cocok karena sebelumnya belum pernah kenal sama yang bersangkutan?
Enggak bohong, kalau (mungkin) awalnya mereka yang dijodohkan akan mengalami masa kegalauan luar biasa. Apalagi mereka yang sebelumnya tidak ingin buru-buru melepas status lajang, atau masih merasa belum siap untuk memiliki keluarga sendiri. Saya sendiri sama sekali tidak pernah berpikir akan menikah di usia 25 tahun. Bukan berprasangka buruk, tapi mengingat ke-kuper-an ditambah masa remaja yang tidak pernah dilalui dengan kenangan pacaran satu kali pun, membuat saya merasa wajar jika kelak tidak bisa melepas masa lajang tepat di usia 1/4 abad (Menurut kebanyakan orang Indonesia, wanita memang sebisa mungkin pada usia 25 tahun itu minimal sudah menemukan calon pendampingnya).
Maka jangan ditanya bagaimana kondisi psikisku saat itu. Memang dari luar tidak terlalu nampak aneh, karena ada satu sisi dalam diri yang membuat itu semua tidak lepas kontrol keluar sebagai perwujudan emosi menolak. Yaitu sisi lain hati nurani yang berusaha memahami bahwa apa yang dilakukan orang tua tidak lain tidak bukan yaitu demi kebaikan buah hatinya. Satu hal yang tidak bisa dipahami seseorang yang belum merasakan menjadi orang tua. Meski pergolakan batin sempat terjadi, toh pada akhirnya diri ini mengambil kesimpulan akan suatu hal.
Sesuatu yang ingin kita hindari sejauh mungkin dan dengan berbagai cara apa pun, tetap akan kita jalani jika itu sudah menjadi ketentuan Tuhan. Sebaliknya sebesar apa pun keinginan kita untuk mendapatkan sesuatu (misal mengejar cinta seseorang), akan ada saja halangan untuk bisa bersatu. Maka di saat emosi mulai melunak, masa saat itulah diri ini mulai mencoba memasrahkan segala sesuatunya pada Tuhan. Tuhan jika ini memang jalannya, kuatkan kami, jadikan kami ikhlas, dan jadikan orang tua kami bahagia, dengan demikian seiring berjalannya waktu kami pun bisa merasa bahagia seolah pernikahan ini tidak melalui tahapan 'rasa terpaksa' di awalnya. Mengingat petuah seorang kakak kami, bahagia enggak bisa didefinisikan dan dicari, tapi bahagia itu kita yang ciptakan. Bagaimana pun caranya, jika memang sudah ketentuan Tuhan, maka insya Allah itulah yang terbaik. Sebab Tuhan memberi yang kita butuhkan, meski tidak selalu yang kita butuhkan itu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Keep happy gals ^_*.
read more »