Mimpi aneh itu muncul lagi. Seketika kudapati diriku berada di sebuah ruangan gelap, dengan sebuah meja di sudut ruangan. Namun seberkas cahaya bulan memasuki ruangan melalui celah atap yang berlubang. Cahaya itu menyinari bagian atas meja, di sana terdapat kotak kayu yang menarik perhatianku. Tampak lusuh, berdebu karena Aku sempat menyentuhnya untuk memuaskan rasa penasaran akan isi kotak tersebut. Tetapi belum sempat kubuka kotak itu, tiba-tiba saja Aku sudah tersadar, terbangun dari tidur lelapku. Ternyata itu hanya mimpi, bukankah mimpi hanya sekedar bunganya tidur? Entah kenapa disebut sebagai bunga tidur, Aku pun tidak tahu.
Tidak akan kupikirkan jika mimpi hanya sebatas mimpi, dan hanya muncul dalam sekali. Tapi mimpi itu sudah kualami selama 3 kali berturut-turut dalam 3 malam. Entah apa sebenarnya isi dari kotak itu, atau siapakah pemiliknya? Kenapa mimpi itu begitu nyata, dan mengapa selalu terputus ketika Aku nyaris membukanya. Mungkin hanya sekedar misteri Tuhan yang kebetulan mampir pada diriku. Aku hanya berharap tidak ada hal-hal aneh yang akan terjadi.
*****
Satu minggu berlalu sampai pada suatu siang kudapati (mungkin arti dari mimpi-mimpi anehku belakangan ini) sebuah kenyataan rumit. Dhuarr!!! Bagaikan disambar petir di siang bolong. Dulu Aku begitu heran kenapa ada yang menciptakan perumpamaan demikian, bagaimana sebetulnya rasanya itu. Namun, mungkin saat ini ungkapan itu mungkin cocok menggambarkan apa yang kurasakan. Ketika kuketahui sebuah kenyataan pahit tentang keluarga ini, keluarga yang kuanggap cukup harmonis meski sesekali tetap ada sedikit perdebatan kecil antara ayah dan ibu, meski kami tidak begitu pandai mengekspresikan rasa sayang dalam bentuk pelukan atau ciuman antar anggota keluarga. Tapi kami rasa kami adalah keluarga harmonis yang tetap memiliki kasih sayang cukup, serta jauh dari kategori keluarga broken home.
Berawal ketika Aku mulai beranjak menjadi gadis dewasa muda. Saat tanpa sengaja kutemukan sebuah buku harian usang, yang kemudian kuketahui adalah milik Ibu. Awalnya kubuka dan hanya kutemukan beberapa catatan resep masakan dan catatan pengeluaran belanja harian di bagian depannya. Maka kupikir tidak ada hal yang sangat pribadi, sehingga kuteruskan membaca buku itu sampai halaman belakangnya. Sampai kuketahui sebuah kenyataan pahit bahwa tanpa sepengetahuan kami anak-anaknya, tanpa sepengetahuan siapa pun, Ibu memendam sebuah rahasia yang sungguh berat untuk dihadapi seorang diri. Beberapa tahun lalu, tepatnya sejak Aku masih duduk di bangku SMP, ternyata Ayah telah mengkhianati Ibu. Selingkuh. Begitulah istilah yang entah mengapa akhir-akhir ini juga begitu nge-tren di TV. Mungkin karena memang banyak para pelakunya.
Marah, kesal, kecewa, dan mungkin jijik membayangkan betapa sosok yang kukagumi bisa melakukan hal seperti itu. Dan tahukah siapa WIL itu? Ternyata orang yang juga masih memiliki suami, dan mungkin saja saat itu dia mengaku pada ayahku kalau dia single. Hal itu pun diketahui Ibu setelah mengajak om untuk menemaninya melabrak wanita itu. Di buku harian itu Ibu mencurahkan isi hatinya, tentang kebimbangannya untuk mempertahankan atau mengakhiri rumah tangganya dengan Ayah. Namun, Ibu memikirkan kami anak-anaknya, sehingga berjuang sekuat tenaga menyelesaikan tanpa harus menceritakan pada siapa pun, kecuali om-ku yang memang satu-satunya adik Ibu yang tinggal di kota ini.
"Tuhan, apa salahku sehingga masalah sebesar ini harus kualami. Dimulai dengan kabar perselingkuhan suamiku, dan ternyata itu benar adanya. Dengan entengnya dia meminta izin untuk menikah lagi dengan wanita itu, hanya karena alasan wanita itu mau kembali sembahyang setelah menjalin hubungan dengan suamiku. Betapa marahnya Aku, ketika dia tiba-tiba menolak menengok anak kami yang sedang menuntut ilmu di sebuah pesantren, dan ternyata dia menemui wanita itu. Semudah itu pula dia meminta maaf padaku setelah mengetahui bahwa ternyata wanita itu masih berstatus istri orang. Suamiku memohon maaf sambil mencium kakiku. Mengingat rasa sakit di hatiku, bukan hal mustahil jika saat itu Aku tidak memberikan kesempatan kedua untuknya, dan segera menggugat cerai. Namun, jika kuingat akan ketiga buah hatiku, rasanya Aku takut membayangkan masa depan mereka nanti. Sekecil itu harus menjadi korban perceraian orang tuanya. Maka dia kumaafkan setelah dia berjanji akan bertaubat dan tidak akan mengulangi atau pun menjalin komunikasi apa pun dengan wanita itu. Bahkan dia mau untuk pindah tempat kerja, karena di sanalah dia bertemu dengan wanita itu. Kumaafkan suamiku demi anak-anakku tercinta, kalian lah penyemangatku."
Itulah sedikit kisah yang ditulis Ibuku. Ternyata sekarang Aku paham mengapa sesekali Ibu kudapati begitu keras ketika sedikit ada perdebatan tentang sesuatu hal dengan Ayah. Mungkin hatinya kembali sakit bila mengingat apa yang pernah terjadi. Bahkan Aku yang dulu begitu dekat dengan Ayah saat masih kecil, menjadi berubah, sedikit malas untuk menatapnya. Apalagi bicara padanya. Aku tahu itu sudah terjadi sekian tahun lamanya, dan sudah berakhir. Tapi mengetahui kenyataan pahit ini membuatku marah, kesal. Pun ketika kebenaran hal ini kutanyakan pada Ibu, kenapa tidak mau sekedar berbagi kepadaku anak sulungnya? Beliau hanya menjawab, karena Ibu tidak mau kalian ikut merasakan sakit juga terutama tidak ingin membuatku tidak betah di pesantren.
Aku juga kesal pada diri sendiri yang tidak berada dekat Ibu. Dengan segala usaha beliau menutup rapat kesedihannya, ketika sesekali mengunjungiku di pesantren. Tidak nampak sedikit pun bahwa beliau memiliki masalah. Aku masih kesal pada Ayah, namun hanya bisa kupendam dalam hati. Selain masalah itu sudah basi, Ibu juga memintaku untuk tetap merahasiakan hal ini dari siapa pun. Beliau bicara "Bukankah sekarang Ayahmu sudah bertaubat dan menjalani hidup dengan lebih baik, nak? Cukup jadikan hal itu pelajaran terutama untukmu yang beberapa tahun nanti juga mungkin akan berumah tangga." Aku hanya bisa mengangguk lemah dan segera masuk ke kamar mandi dengan alasan ingin mandi. Padahal Aku ingin menumpahkan air mataku tanpa sepengetahuan Ibu.
Jujur, Aku merasa marah, kesal, dan tidak bisa terima jika Ibu tersakiti. Namun, tidak ada yang bisa kulakukan karena mantan pelaku "kekerasan" pada Ibu adalah sosok yang juga harus Aku hormati dalam keadaan apa pun. Nyaris kuikrarkan dalam hati, untuk tidak ingin menikah karena kenyataan ini begitu pahit. Untuk apa menikah jika harus ada pihak yang menyakiti dan tersakiti. Namun, nalarku kembali bekerja. Bukankah salah satu hal yang bisa membuat orang tua bahagia, adalah melihat anak-anaknya tumbuh dewasa, menemukan jodohnya yang baik di mata manusia dan Tuhan? Bukankah esensi menikah juga adalah ibadah? Maka meski berat untuk menerimanya, akan kucoba memaafkan Ayah, tanpa harus beliau meminta maaf padaku. Aku tahu beliau sudah berubah. Aku hanya harus mencoba lebih melapangkan hati untuk menerima kenyataan ini. Demi Ibu tercinta. Aku sayang Ibu.
Created by: Nila Amalia
Tang-Sel, 28 November 2012.
Untuk semua Ibu di dunia :)