Dear Diary... Tiba-tiba saja teringat dua kata tersebut. Dua kata yang mengingatkan akan kebiasaan seseorang menulis di buku harian. Dua kata yang mengingatkanku saat masih SD, ketika orang tua masih mengawali membangun usaha keluarga. Saat dimana Aku meminta sebuah buku tulis bergambar, dengan kertas warna-warninya (beberapa di antaranya memiliki aroma harum) seperti yang dimiliki teman-teman sekolahku. Namun tidak diizinkan karena harganya yang memang lebih mahal dibandingkan buku tulis biasa. "Kalau beli makanan boleh, tapi buku tulis kan masih bisa pakai yang ada di rumah," begitu kira-kira penolakan halus Mama saat kupinta sebuah buku tulis manis bergambar kartun.
Sekitar tahun 1998, salah satu tren di kalangan anak SD saat itu adalah buku tulis manis yang biasa disebut "Diary." Terutama di kalangan anak perempuan di sekolahku, mayoritas mereka memilikinya. Buku tulis khusus ini ada yang berukuran kecil, sedang, dan besar. Biasanya digunakan untuk mencatat aktivitas harian atau sekedar alamat dan nomor telepon rumah teman-teman. Namun, tidak sedikit juga yang menggunakannya untuk menuliskan curahan hati, kalau ini sifatnya rahasia. Makanya beberapa jenis "Diary" ada yang dilengkapi gembok dan kuncinya juga, berarti plus mahalnya.
Kembali ke masalah curhat di buku tulis (tetap buku tulis biasa yang digunakan untuk mencatat pelajaran), kebiasaan ini mulai berjalan konsisten saat Aku bersekolah di sebuah pondok pesantren. Waktu dan tempat yang mendukung untuk memulai kebiasaan ini. Terutama masa-masa awal "mondok", masa-masa masih cengeng kangen rumah tapi malu buat nangis di depan orang lain. Bagi santriwati (sebutan untuk murid perempuan di pesantren) baru, khususnya yang masih kelas 1 Mts (setingkat SMP), menangis hanya karena tidak betah atau rindu orang tua adalah hal yang sering dijumpai. Apalagi kalau masuk pesantrennya hasil paksaan orang tua, atau tidak dipaksa keras tapi orang tuanya enggak mau ngurusin daftar di sekolah non pesantren (Nila banget ini mah), ya sudahlah nurut aja.
Tapi dulu Aku merasa malu kalau harus berbagi cerita dan menangis di depan teman-teman, jadi kadang nangisnya diam-diam kalau orang-orang sudah terlelap, atau dikamar mandi. Maka lebih baik semua uneg-uneg yang terpendam, dituangkan dalam tulisan saja. Bahkan kalau sedang bosan atau mengantuk di kelas, pasti bagian belakang buku tulis kena sasaran coretan. Coretan bermakna atau lebih seringnya sekedar benang kusut atau rumput tak bergoyang :)
Sampai saat ini masih ada sekitar 5 buku tulis "khusus" yang menyimpan kisahku selama kurang lebih 6 tahun bersekolah di pesantren. Buku yang kalau dibaca lagi mengundang tawa geli, membuat mata berkaca-kaca, pipi merona, emosi sedikit naik, atau pun terbesit rasa sesal akan kisah yang ada di dalamnya. Tapi apa pun kisahnya, semuanya telah menjadi guru berharga dalam hidupku. Bahkan beberapa di antaranya telah mengispirasiku untuk menuliskan cerita, yang tentunya ditambah bumbu-bumbu khayalan supaya menjadi tidak biasa.
Tiba-tiba kerinduan itu muncul, rindu menuliskan sepatah dua patah kata menjelang tidur. Rindu kembali menuliskan mimpiku semalam, rindu menuliskan perasaan terpendam yang hanya Allah - lah Sang Maha Mengetahui. Suatu saat akan kumulai lagi membagi kisahku padamu, diary-ku. Suatu kisah, pengalaman, pesan, harapan, serta mungkin peninggalan berharga saat raga sudah ditinggalkan oleh jiwanya.
Kutipan yang sering Kudengar (entah siapa penutur pertamanya)
Sejatinya, Aku adalah Aku. Namun, tidak semua hal mencapai Aku adalah Aku. Merasa tanpa beban saat Aku benar-benar adalah Aku, bukan beliau, bukan dia, bukan mereka. Aku hanya ingin benar-benar menjadi Aku.
Namun, tidak selalu Aku adalah Aku. Terkadang Aku adalah beliau, dia, dan mereka. Tidak mengapa jika Aku adalah Kita. Tidak bisa kusangkal saat raga dan jiwa ini merasa lelah. Ya, karena Aku tidak benar-benar Aku, diriku. Berbagai cara telah kucoba, perlahan, halus, tanpa pemberontakan, dan kadang dengan sedikit pemberontakan kecil di kala genting. Namun, sepertinya itu semua sia-sia. Mungkin Aku hanya harus belajar menerima ketika Aku tidak bisa sepenuhnya perwujudan sebenarnya Aku. Bukankah tidak ada yang sempurna selain Dia Yang Maha Segalanya?
Usah hiraukan kesedihan saat Aku adalah beliau, dia, atau mereka. Karena tanpa ada beliau, dia, atau mereka, maka adanya Aku tidak ada bedanya dengan tidak adanya Aku. Ada hal yang tidak sesuai dengan harapku, inginku, pilihanku, tapi banyak hal yang akan datang sesuai kebutuhanku. Masa depan tidak hanya masalah diriku sendiri, maka Aku harus berbagi. Jadi Aku adalah Aku, beliau, dia, dan mereka.
Pagi-pagi tanpa mendung, tanpa geledek kenapa tiba-tiba muncul kata telepati di pikiran. Jadi keingetan suatu memori tentang someone yang punya bakat telepati, aduh mungkin enggak penting banget buat di-share secara detail kisahnya. Cukup disimpan dalam taman ingatanku saja ya ^_^. Back to the main idea, setelah googling-googling (kacau banget bahasanya) ketemu lah beberapa penjelasan mengenai telepati.
Saya coba cari arti kata dari telepati menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (http://kamusbahasaindonesia.org/telepati):
"Daya seseorang untuk menyampaikan sesuatu kpd orang lain yg jauh jaraknya, atau dapat menangkap apa yg ada di benak orang lain tanpa mempergunakan alat-alat yg dapat dilihat."
Kalau kasus telepati yang dilakukan secara sengaja oleh dua orang di tempat berbeda, Saya belum menemukan contohnya. Tetapi hal ini biasanya secara refleks tanpa disadari kadang terjadi, dan biasa disebut kontak batin. Misalnya ketika anak dan ibu berada di tempat yang berjauhan. Saat si anak sakit meski tidak mengabari ibunya, bisa saja sang ibu akan menghubungi anaknya terlebih dahulu karena perasaannya tidak enak. Contoh lain yang dipercaya banyak orang adalah kalau terjadi apa-apa dengan salah satu dari anak kembar, maka saudara kembarnya akan merasakan hal yang sama. Tapi kalau masalah sakit yang bisa menular dan anaknya tinggal di satu rumah, jelas bukan hanya sekedar kontak batin, tapi memang ketularan sakit kan?
Sedangkan kalau fakta adanya seseorang yang bisa membaca pikiran orang lain, ini agak lumayan sering Saya dengar ceritanya. Kalau pernah bertemu langsung ya, si someone yang sempat disinggung di paragraf awal itu (jangan tanya siapa, karena ini menyangkut privasi orang lain ya. Hehe ngelesnya bisa banget, bilang aja enggak mau kasih tahu). Terus konon katanya orang-orang yang level spritualnya dianggap di atas normal dari orang kebanyakan, memiliki kemampuan seperti ini, baik mereka yang dikenal sebagai kyai, paranormal, dukun, dll. Wallahu'alam. Sedangkan kalau dilihat secara logika, maka para psikolog dan psikiater juga dianggap punya kemampuan membaca pikiran orang lain. Kalau ini Saya memang pernah membaca cara membaca pikiran orang lain dari bahasa tubuh dan mimik wajah seseorang.
Ternyata telepati bukanlah sesuatu yang hanya didapatkan berdasarkan bakat alam, atau setelah menjalani ritual tertentu seperti yang Saya bayangkan sebelumnya. Telepati dapat dipelajari oleh siapapun (dari berbagai sumber). Bagaimana caranya? Salah satunya dari tulisan seorang Kaskuser tentang telepati. Disana dikatakan bahwa latihan dasarnya adalah melatih kefokusan kita akan suatu hal. Misalnya membuat titik kecil dengan spidol hitam, kemudian diperhatikan kurang lebih 30 menit sehari, sampai kita dapat merasa seolah-seolah titik hitam tersebut menghilang. Saya sendiri belum mencoba dan mungkin bukan tipe orang yang sabar melakukannya. Lebih jelasnya dan takut Saya kebanyakan ngawur jelasin coba cek kemari http://www.kaskus.co.id/showthread.php?p=721629534
Dari blog http://wuryanano.wordpress.com/2008/10/21/mencoba-latihan-telepati/ dijelaskan lebih detail lagi mengenai cara berkonsentrasi untuk melakukan telepati, meskipun ditulis juga banyak yang gagal karena tidak mencapai tahapan rileks alias masih tegang. Sedikit kutipan dari blog tersebut tentang percobaan telepati (http://wuryanano.wordpress.com/2008/10/21/mencoba-latihan-telepati/):
"Cobalah berkonsentrasi selama beberapa saat pada BAYANGAN PIKIRAN yang hendak Anda kirimkan kepada seseorang, juga pikirkan bahwa Anda sangat ingin memproyeksikan PESAN tersebut dari tempat Anda berada ke beberapa tempat yang jauh. Kemudian konsentrasikan bahwa si penerima pesan Anda di beberapa tempat yang jauh dari Anda, bisa menerima pesan dari Anda. Dan, jangan lupa untuk memberikan segenap perasaan emosi Anda pada saat berkonsentrasi mengirimkan pesan secara TELEPATI itu. Kekurangan dari nilai emosional atau jika tanpa ada perasaan emosi yang menyelubungi pesan…maka itu sering menyebabkan proses Telepati menjadi gagal."
Bulan Syawal telah tiba, menggantikan kepergian Ramadhan di tahun 1433 H. Sebelumnya mau minta maaf kepada semuanya, mohon maaf lahir batin atas semua kesalahan, tulisan yang menyinggung pihak tertentu dan curhatan tidak penting yang diposting di blog ini. Semoga tahun depan kita semua masih diberikan kesempatan hidup dan sehat sehingga dapat kembali merasakan kenikmatan beribadah di bulan penuh berkah, Ramadhan. Namun, bukan berarti di bulan lainnya jadi malas-malasan ibadah. Justru kebiasaan rajin ibadah saat Ramadhan hendaknya dilanjutkan, karena ajal tidak dapat ditebak kedatangannya. Seenggaknya kalau kita tetap menjalankan ibadah dengan rajin (Aamiin), maka kemungkinan meninggal dalam keadaan su'ul khotimah lebih kecil dibandingkan kalau bersantai-santai dengan motto "Nanti saja taubatnya kalau sudah menikah, kalau sudah punya anak, atau kalau sudah tua." Kalau tiba-tiba dijemput Izrail waktu lagi asyik bermaksiat gimana?
Kata-kata di atas bukan menunjukkan kalau penulis sudah merasa siap di"jemput" kapan saja, sebaliknya juga pengingat diri kalau masih amat sangat jauuuuh dari level memiliki "bekal" cukup untuk menemani di kamar coklat ukuran 2 X 1 meter nanti. Bismillah, yuk bareng-bareng menjaga amalan ibadah yang saat Ramadhan lalu merasa rugi untuk ditinggalkan. Kalau bulan Ramadhan minimal bisa 1 kali khatam baca Al-qur'an, kalau memang sibuk setidaknya untuk setiap bulan dapat mencapai setengahnya atau paling minimal seperempatnya, dengan memahami maknanya secara perlahan. Pokoknya berusaha jangan sampai 11 bulan selain Ramadhan sama sekali tidak khatam, tiba-tiba dikebut di Ramadhan berikutnya. Itupun kalau masih dikasih umur :(.
Akhir paragraf, penulis mengucapkan Selamat Idul Fitri 1433 H, semoga ibadah kita semua diterima Allah swt, selalu terjaga menjadi hamba-Nya yang taat menjalankan perintah-Nya. Aamiin.
Sebuah catatan di malam menuju tanggal 3 Syawal 1433 H.
21 Mei 2010. ”Jangan!” Refleks Aku berteriak saat Mbak Sari mengambil sekantong darah yang baru saja tiba dari PMI. ”Kenapa La? Saya buru-buru ada korban kecelakaan yang butuh darah dengan golongan O, tapi hanya ada satu ini.” ”Enggak apa-apa Mbak, Saya takut darah itu belum di-screening, takut darahnya membahayakan pasien.” ”Tenang aja La, darah itu sudah di-screening di PMI.” ”Maaf Mbak, Saya kira di-screening-nya di rumah sakit ini.” ”Enggak apa-apa La, kan sekarang Kamu jadi tahu. Saya tinggal dulu ya.”
Kulanjutkan pekerjaanku mendata pasien yang mendapatkan transfusi darah di Rumah Sakit KELUARGA SEHAT. Ini hari pertamaku magang, jadi belum terbiasa. Aku juga masih sedikit trauma tentang penularan virus penyebab penyakit AIDS melalui transfusi darah. Ingatanku mundur ke masa empat tahun lalu.
SMU ANAK NEGERI. Kubaca papan besar di depan sebuah sekolah di Ciputat. ”Fit, masuk yuk. Kita cari kantor OSIS-nya.” Aku dan Fitri ingin menyerahkan karya tulis ilmiah kami dalam lomba yang diadakan oleh SMU ANAK NEGERI. ”La, kok sepi ya? Eh lihat deh kayaknya ane kenal orang itu.” Fitri menunjuk seseorang berseragam batik sekolah kami. Anak laki-laki itu pun menghampiri kami. ”Hai Fitri, mau ngapain? Eh, ada Lala juga, hai.” Ternyata dia Ardi, anak IPS-2. Setelah kubalas sapaannya, Fitri menjelaskan maksud kedatangan kami ke sini. ”Kebetulan, Ane juga mau ketemu sama anak ekskul pencak silat, bareng yuk.” Tinggal di pesantren yang mewajibkan bahasa Arab dan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi harian, membuat kami mengganti kosakata ”elu-gue” menjadi ”ane-ente.”
Setelah semua urusan kami selesai, kami pulang bersama-sama. ”Ardi, makasih ya udah bantuin Kita.” Aku pun turut mengangguk mengiyakan pernyataan Fitri. ”Sama-sama, Ane juga jadi ada temen ngobrol. La, dari tadi diem aja, sakit?” Setengah terkejut aku menanggapi pertanyaan Ardi, ”Enggak, tadi di bis agak sedikit mual.” Aku berbohong menutupi kegugupanku, Fitri menahan senyum. Fitri memang tahu bahwa diam-diam aku menyukai Ardi sejak kelas satu SMU ketika kami sama-sama ikut les bahasa Inggris selama satu semester.
”Gimana kalau makan dulu sebelum pulang ke asrama? Mau enggak?” Sebenarnya sih lapar, tapi makan sama dia takut salting. Sebelum aku menolak, Fitri sudah mengiyakan ajakannya. ”Oke, lagian Ane udah lama enggak makan bakso. Sekarang baru jam dua siang, masih tiga jam lagi kan?” Seolah tahu keenggananku, Fitri membujukku dan aku pun setuju. Sekolah dan tinggal di pesantren membuat kami tidak semudah anak-anak SMU lain dalam bepergian. Kami berangkat jam sembilan pagi dan hanya diizinkan keluar sampai jam lima sore, itupun mendapat izin karena hari libur sekolah, yaitu hari Jum’at. ”Yuk jalan kaki aja, Ane tahu tempat makan bakso yang enak.” Ardi jalan di depanku dan Fitri, berperan sebagai penunjuk jalan.
Di perjalanan, aku menatap Fitri dengan mata melotot, alis terangkat dan bibir yang dimajukan beberapa senti sebagai tanda aku marah padanya. Fitri tertawa dan berbisik padaku supaya jangan grogi. Tawa Fitri membuat Ardi menghentikan langkah dan menengok ke belakang, ”Kenapa Fit’, ’La?” ”Enggak ada apa-apa, Di. Masih jauh nggak?” ”Oh, di samping warnet itu tempatnya.” Ardi menunjuk warnet di sebelah kiri kami.
Sambil menunggu bakso yang telah dipesan, kami pun melepas lelah dengan obrolan ringan. ”Di kelas IPA sepibanget ya kalo lagi belajar?” Aku dan Fitri memang sekelas di IPA-1. ”Enggak juga kok, rame-rame aja apalagi anak ceweknya. Emang kenapa sih nanya gitu?”, Fitri menyangkal pernyataan Ardi. ”Enggak ada apa-apa, tapi kalo dilihat-lihat, anak-anak IPA tampangnya serius. Enggak asik diajak becanda.” ”Jangan anggap anak IPA kayak gitu dong ’Di. Tampang serius bukan berarti enggak enak diajak becanda. Buktinya kita tetep sering becanda, ya nggak ’La?” ”Bener banget tuh, makanya jangan lihat orang dari luarnya aja” Aku membenarkan ucapan Fitri. ”Iya,iya sorry kalau Ane salah. Baksonya dah di depan mata nih, ayo makan!”
Aku duduk di hadapan Ardi, sedangkan Fitri di sebelah kananku. Alhasil, selama makan aku hanya mampu menunduk tanpa berani menatap wajah Ardi. Selesai makan, saat Ardi mengeluarkan dompet, ada foto seorang gadis jatuh ke meja. Dengan cuek dia memperlihatkan foto itu padaku dan Fitri. ”Cantik kan?” Aku dan Fitri menggangguk dan menjawab bersamaan ”Cantik, siapa dia?” ”Ini pacar Ane, anak SMU Anak Negeri. Dia masih kelas satu.”
Aku hanya menanggapi dengan ”Oo..” singkat dan berusaha bersikap cuek. Fitri pun segera mengajukan pertanyaan ”Jadi, tadi Ente bukan ketemu sama temen tapi ketemu dia?” “Enggak, tadi beneran temen, Ane nganter undangan tanding persahabatan buat pencak silat. Ane ketemu cuma sebentar waktu doi pulang sekolah.” Ardi menjelaskan maksud kedatangannya ke SMU Anak Negeri.
Usai membayar bakso, arloji di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 14:50 WIB. Kami memutuskan shalat ashar terlebih dahulu di masjid dekat halte. Kami menunggu bis yang menuju sekolah kami di daerah Bogor. Bis yang kami tunggu memang sedikit jumlahnya jadi harus ekstra sabar. Sebenarnya bisa naik mobil umum yang banyak jumlahnya, tapi harus tiga kali ganti mobil dan berjalan agak jauh. Dari kejauhan tampak bis yang kami tunggu, kami segera menaiki bis itu saat bis berhenti perlahan. Bis memang selalu penuh saat sore hari, Alhamdulillah masih ada dua bangku kosong untukku dan Fitri walau kami tidak sebangku. Aku duduk dekat jendela dibangku pertama dari belakang dan Fitri di dekat jendela di bangku panjang belakang. Sedangkan Ardi dan beberapa orang pria lainnya berdiri di ruang kosong pemisah bangku-bangku.
Jalan raya belum begitu macet tapi butuh waktu sekitar dua jam untuk menuju sekolah kami. Di depan sebuah pasar, seorang ibu disampingku turun dan Ardi pun duduk menggantikan ibu itu. Jantungku berdegup semakin kencang dan rasa kantukku yang mulai muncul, tiba-tiba hilang saat dia bertanya ”Boleh duduk di sini?” ”Eh, boleh lah. Duduk aja Ente pasti cape berdiri.” Agak gugup saat mempersilahkan dia duduk disampingku.
Ardi memang tipe cowok yang agak cerewet. Satu hal yang baru kuketahui. Selama perjalanan, dia mengajakku bicara tentang berbagai hal. Mulai dari cita-cita sampai pendapat kami berdua dalam menghadapi berbagai persoalan. Aku tahu dia memang mudah bergaul dengan siapa saja, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk bisa beradaptasi dengan orang lain. Ditambah lagi faktor sekolah di dalam lingkungan pesantren sejak SMP membuatku terkesan sedikit kaku pada teman laki-laki.
Obrolanku dengan Ardi di bis lebih banyak tentang cita-cita. Ardi berkata bahwa dia ingin sekali menjadi seorang polisi dan apabila itu tidak tercapai dia akan memilih dunia bisnis. Sedangkan aku ingin menjadi seorang psikolog atau ahli gizi. Selebihnya obrolan kami hanya sekedar gurauan disela-sela pembicaraan tentang cita-cita. Tak terasa dua jam berlalu dan gerbang sekolah kami sudah tampak.
Di depan sekolah, Aku dan Fitri turun terlebih dahulu dari Ardi. Ardi sengaja turun sedikit jauh dari sekolah supaya satpam sekolah tak curiga pada kami. Aku pun meminta Fitri untuk merahasiakan pertemuan kami dengan Ardi. Ada beberapa teman perempuanku yang memang mengetahui perasaanku pada Ardi, tapi aku ingin hanya Fitri yang tahu karena dialah sahabatku sejak SMP di pesantren ini. Setelah kejadian itu hari-hariku kembali seperti biasa.
Sesekali aku berpapasan dengan Ardi di depan kelas. Dia tidak menyapaku, senyum saja tidak. Kupikir setelah perbincangan di bis itu dia dapat mengaggapku teman yang disapanya saat bertemu. Dia seperti pura-pura tidak mengenalku. Mana mungkin aku menyapanya duluan, aku tidak berani. Tidak seperti sikapnya pada teman-teman perempuan yang lain. Aneh, seperti bukan Ardi yang selama ini kutahu sifatnya yangramah pada semua orang.
Tapi kenapa aku mempermasalahkan hal itu? Aku bukan siapa-siapa baginya. Aku tidak boleh terlalu memikirkannya agar nilai-nilai akademisku tidak turun. Hari-hariku pun berjalan seperti biasanya. Lala yang selalu mengutamakan pelajaran meski tidak bisa dikategorikan pintar. Setelah itu juga Fitri tidak pernah menyinggung tentang Ardi padaku, segan barangkali.
Persiapan menjelang UN (Ujian Nasional) membuatku lupa akan sikap Ardi padaku beberapa waktu lalu. Pikiranku fokus pada ujian yang standarnya kelulusannya 4,50. Standar yang masih sulit dijangkau pelajar di indonesia. Aku pun tidak menyadari kira-kira dua minggu belakangan ini tidak tampak Ardi di sekolah. Aku memang tidak sekelas dengannya tapi biasanya dia selalu terlihat sedang memperhatikan adik-adik kelas bimbingannya berlatih silat sembari mengerjakan soal-soal latihan UN, di bawah pohon pinggir lapangan setiap Jum’at sore. Jum’at memang hari libur jadi digunakan untuk ekskul. Mungkin dia ingin fokus pada ujian dan meninggalkan aktivitas ekskul.
Tak terasa lusa adalah hari pertama UN. Ujian sekolah sebelumnya sudah dilaksanakan minggu lalu. Seluruh murid kelas tiga sore ini akan bersilaturrahim kepada para guru yang tinggal di lingkungan sekitar asrama. Kami akan meminta maaf atas segala kesalahan kami serta meminta didoakan agar ujian kami lancar dan lulus dengan hasil yang memuaskan. Selain pada guru kami juga meminta maaf kepada seluruh adik kelas dan mohon didoakan supaya sukses. Sebenarnya minta maaf bisa kapan saja namun dengan meminta maaf sebelum ujian, perasaan kami akan lebih tenang.
UN telah tiba. Setelah upacara selama 20 menit dan dibacakannya tata tertib ujian, siswa-siswi kelas tiga segera memasuki ruang ujian yang telah ditentukan . Sesaat sebelum masuk ruang ujian, aku melihat ambulan parkir di depan kantor Tata Usaha (TU). Mungkin untuk persiapan jika ada yang sakit saat ujian. Diawali dengan doa maka ujian pun dimulai.
Dua hari berikutnya ujian berlangsung lancar seperti kemarin. Ambulan yang kemarin kulihat lagi-lagi parkir di depan kantor TU. Namun syukurlah aku belum mendengar ada yang sakit. Ujian terakhir yaitu matematika untuk IPA dan ekonomi untuk IPS. Selesainya ujian diwarnai tangis haru murid perempuan. Kami berpelukan mengingat kami akan berpisah. Suasana seperti itu terhenti sesaat ketika Pak Rahmat, kepala sekolah kami mewakili segenap dewan guru menyampaikan nasehat dan doa untuk kami semua supaya menjadi orang yang sukses dan bisa mensukseskan bangsa juga agama. Selesai upacara ambulan yang biasa diparkir depan TU menuju gerbang keluar.
Ujian usai, tiga hari lagi akan diadakan perpisahan. Kami semua sibuk mempersiapkan acara itu. Jumlah murid kelas tiga yaitu 70 yang terdiri dari 44 siswa dan 26 siswi. Pada acara itu, orangtua ataupun wali murid kelas tiga akan diundang. Hasil UN memang belum diumumkan, namun dalam perpisahan ini, kami akan dinyatakan lulus atau tidaknya dari segi akhlak dan segala kegiatan yang kami ikuti sebagai sebagai syarat kelulusan dari pesantren.
Hari ini hari perpisahanku dengan teman-teman dan sahabat yang selama 3 tahun bahkan ada yang selama 6 tahun bersama. Saat perpisahan itu, aku melihat Ardi tampak dibangku barisan kedua. Dia seperti orang sakit. Badannya terlihat lebih kurus dan tampak berkeringat padahal ruangan ini ber-AC. Kalau tidak salah saat gladi resik kemarin dia tidak ada, aku tidak melihat saja barangkali.
Acara perpisahan ini dimulai pukul 09.00 WIB. Rangkaian acara berlangsung dengan khidmat dan sesuai harapan. Hingga tiba penampilan kami menyanyikan lagu untuk para guru. Guru-guru kami tak kuasa menahan tangis saat Riza dan Mutia membacakan puisi sebagai ungkapan rasa terimakasih kami pada mereka. Setelah itu kami bersalaman dengan para guru dan wali murid yang dibanjiri dengan air mata. Terlebih saat berpelukan dengan teman-teman, saling mendoakan dan berharap dapat bertemu kembali. Acara selesai pukul 11.00 WIB
Saat menuju kamar untuk mengemasi barang, Veri menghentikan langkahku. ”La, ada titipan buat Ente.” Veri memberikan sepucuk surat kepadaku, sebelum sempat bertanya dari siapa surat itu, Veri menjelaskan bahwa dia buru-buru, ”Sorry La, ane udah ditunggu ortu. Pokoknya itu titipan buat Ente. Duluan ya, Assalamu’alaikum.” ”Wa’alaikum salam.” Saat ingin membuka surat tersebut, tiba-tiba terdengar suara Ibu. ”Lala, ayo pulang. Bapak sudah menunggu di mobil.” Perkataan Ibu mengurungkan niatku membuka surat itu. ”Iya Bu, sebentar ya Lala ambil barang-barang yang masih ada di kamar.”
Barang-barangku selama tinggal di asrama sudah kumasukkan semua ke bagasi kijang sewaan Bapak. Hari ini khusus menjemputku dan membawa barang-barangku ke rumah Bapak menyisihkan sebagian tabungannya untuk menyewa mobil. Supaya tidak repot katanya. Setelah pamit pada guru-guru juga teman-teman yang belum pulang, aku pun pulang ke rumah dengan rasa lelah setelah acara perpisahan dan mengemasi barang-barang. Di gerbang keluar, aku melihat ambulan yang kulihat tempo hari baru tiba dan segera menuju asrama putra.
Sesampainya di rumah segera kubereskan buku-buku dan pakaianku setelah shalat dzuhur dan makan siang. Karena barang-barangku yang banyak, tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.50 WIB saat aku selesaimembereskan semuanya. Dengan terburu-buru aku mandi lalu shalat ashar. Karena aku kurang istirahat, maka setelah shalat isya nanti Ibu memerintahkanku untuk segera tidur.
Menjelang tidur, aku teringat pada surat yang diberikan oleh Veri tadi siang. Kuambil surat itu dari tas ransel di atas meja belajar. Kubuka amplop surat itu dan kubaca perlahan tulisan yang sekilas terlihat agak berantakan. Tertulis tanggal di sudut kanan atas kertas adalah kemarin. Satu hari sebelum acara perpisahan.
20 Mei 2006
Untuk Nur Fadilla (Lala).....
Assalamu’alikum La, apa kabar ?
Mungkin waktu baca surat ini Lala udah ada di rumah. Mudah-mudahan cita-citamu jadi psikolog atau ahli gizi bisa tercapai dan selalu sukses didunia juga di akhirat nanti. Yang penting, moga lulus UN dulu, betul nggak ?.Maaf kalau selama ini nggak pernah negur Lala tiap ketemu. Itu sejak ane divonis menderita AIDS dua hari setelah kita ketemu di SMU Anak Negeri. Ane takut, biasanya orang akan ngejauhin penderita penyakit ini. Anak-anak cowok di kelas tahunya ane sakit demam berdarah. Lihat ambulan waktu lagi UN? Itu kendaraan yang dipake buat antar jemput dari rumah sakit ke sekolah buat ujian. Satu-satunya temen yang tahu keadaan yang sebenarnya cuma Veri. Makanya surat ini dititipkan ke Veri.
Alasan lain enggak pernah nyapa karena sebenarnya ane suka sama ente sejak kelas satu SMA (waktu les bahasa inggris). Ane suka ente karena semangat ngejalanin aktivitas apapun. Sikap seorang Lala yang terkesan tertutup membuat ane nggak berani bilang langsung apalagi dalam keadaan yang seperti ini. Foto cewek yang ane tunjukkin sama Lala dan Fitri itu sebenernya cuma adik tiriku. Maaf bohong, waktu itu cuma mau tahu reaksi Lala kalau ane bilang dia pacar ane. Ternyata waktu itu sepertinya Lala cuek-cuek aja, berarti enggak ada sesuatu yang spesial dari seorang Ardi di mata Lala, betul enggak?
Awalnya bingung juga kenapa bisa kena AIDS. Setelah riwayat kesehataan diperiksa, dokter bilang kemungkinan karena transfusi darah yang mengandung virus HIV. Ane kena lemparan besi saat ada tawuran di jalan raya dekat rumah waktu masih SD. Luka di kepalayang cukup dalam jadi penyebab kehilangan banyak darah, sedangkan persediaan darah yang terbatas dan keadaan darurat membuat akhirnya seperti ini.
Maaf kalau susah baca tulisan ini, tangan ane udah mulai kehilangan kemampuan bergerak. Besok malam atau malam saat Lala baca surat ini, ane memutuskan untuk disuntik mati karena udah nggak ada yang membiayai pengobatan yang mungkin akan sia-sia. Maaf atas pernyataan yang mungkin menyakitimu.
Salam maaf untukmu dan untuk semua teman-teman
Muhammad Ardianza
Pandanganku kabur dan air mengalir dari kedua mataku. Handphoneku berbunyi tanda sebuah pesan masuk, dari Fitri. ”Aslkum. Innalillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Tmn Qta M. Ardianza meninggal dunia pkl 18.30 WIB di RS PMI sesaat sblm disuntik mati.” Aku tidak dapat membendung air mataku namun aku lega setidaknya dia memang pergi karena sudah waktunya, bukan karena disuntik mati. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu.
Sumber video: http://www.youtube.com/watch?v=hh4KKDbBT2s
Karya : Nila Amalia Husna
Dibuat tahun 2008 dan dikirim ke sebuah media tapi masih sangat jauh dari kriteria layak untuk dimuat. Kemudian diedit kembali 02 Juli 2012.
Pada awal kemunculannya di televisi, grup JKT48 (menurut beberapa sumber mereka disebut idol group jadi bukan girl band) cukup membuat Saya kaget. Kok banyak banget anggotanya, dan ternyata setiap kali tampil itu belum seluruh jumlah anggotanya, alias ada pembagian shift. Apalagi liriknya yang ada campuran bahasa Jepangnya membuat Saya sulit memahami maksud dari lirik lagu-lagunya. Kesimpulannya, kesan pertama biasa-biasa saja, meskipun tetap mengapresiasi usaha mereka yang pastinya buat latihan super duper harus disiplin dan sabar, karena jumlah anggota yang tidak sedikit.
Namun, sepertinya penilaian Saya agak berubah sejak (tanpa sengaja) menonton Mega Konser JKT48 yang ditayangkan stasiun televisi berlambang burung Rajawali. Dengan konsep konser yang mereka sebut mengajak para fans bernyanyi, otomatis di bagian bawah layar ada teks lirik lagunya. Akhirnya setelah didengarkan dan diperhatikan lirik lagu-lagunya cukup bagus dan dapat dikatakan memotivasi untuk selalu ceria+optimis. Mulai kepincut deh sama grup yang dibilang adik kelasnya AKB48 (Idol Group dari Jepang). Pantesan lagu-lagunya diadaptasi juga dari lagu kakak kelas mereka, tapi tetep easy listening (setidaknya menurut Saya).
Ada satu hal lagi yang unik saat menonton konser tersebut, para fans-nya yang kalau enggak salah lihat, yang hadir di studio itu cowok semua. Mungkin karena mayoritas penyuka manga, J-pop, dan segala hal about Jepang kayaknya emang cowok, beda sama all about Korea yang didominasi kaum cewek (kalau salah maaf ya, ini hanya berdasarkan pengamatan sekilas dan tren yang ada di jejaring sosial). Adik cowok saya juga penyuka manga, film-film jepang, dan sempat juga jadi pendengar lagunya Laruku (bener kan ya ini band asal Jepang?).
Balik lagi ke fans yang hadir saat Mega Konser JKT48, kalau diperhatiin ada yang unik lagi. Yaitu pada lagu yang beda-beda ada saja yel-yel yang khusus diteriakkan, kompak pula. Enggak tahu pasti kata apa yang diteriakkan, yang bisa Saya tangkap cuma satu yaitu kepanjangan dari JKT selain menunjukkan Jakarta. Yaitu, J= Joyfull; K= Kawaii (kalau enggak salah artinya lucu/cute); T= Try to the best. Wow, kalau sebelumnya ngeliat para cewek yang jadi fans fanatik suatu band, paling hanya rame teriak panggil nama artisnya atau kompak jadi paduan suara, ini lebih heboh lagi. Kebayang cowok-cowok yang suaranya udah pada berubah nge-bass, teriak rame-rame, menggelebar bo... Aduh sorry kalau lebay, tapi memang baru lihat yang seheboh itu, jadi maklum saja ya kalau agak norak.
Intinya acara yang ditayangkan tanggal 17 Juli 2012 tersebut, telah merubah pandangan Saya tentang JKT48, yang awalnya dikira sama seperti girl band lainnya. Terlepas dari kostum, usia anggota grupnya yang mungkin untuk beberapa pihak memunculkan kontroversi, Saya tidak akan berkomentar mengenai hal tersebut. Kembali ke judul postingan, ternyata Saya mulai kepincut lirik lagu-lagunya JKT48.
Kutipan lirik dari beberapa lagu JKT48:
Sampai tujuan yang Aku ingin, terus jalan walau tak akan sampai. (Bunga Sakuraku)
Pakai baju putih, perasaan baru, kesedihan dan kesulitan, ayo kita cuci. Bekas air mata juga kan segera hilang, pasti ada hari yang cerah, ada kamu yang menyilaukan. (Baju Putih)
Kegagalan itu tiada yang peduli, karena pasti hal yang menyenangkan, esok pasti akan menunggu. (Baju Putih)
Usaha keras itu tak akan menghianati. (Shonichii)
Akhir kata, segini dulu ya kalau ada info-info yang salah tolong kasih tahu yang benernya ya. Makasih udah mampir dan baca coretan Saya.
Beberapa hari ini kata "Bullying" kembali marak muncul di berbagai media. Pihak komisi perlindungan anak, pihak sekolah, dan tokoh lainnya kerap diundang untuk mendiskusikan masalah tersebut. Terutama menyoroti kasus kekerasan yang dilakukan oleh kakak kelas kepada murid baru di sebuah SMU ternama. Lagi, lagi senioritas menjadi alasannya, dan para pelaku menganggap hal tersebut wajar. Apakah kewajaran dalam benak mereka didapat karena masa lalu mereka sebagai korban bullying juga? Maybe yes, maybe no, entah kapan kita semua terbebas dari satu kata tersebut, "Bullying."
Saya tidak akan membahas secara rinci mengenai bullying, karena bukan seorang pakar dan hanya sebatas seseorang yang peduli akan masalah ini. Namun jika pembaca menginginkan hal detail tentang bullying, dalam penulisan artikel ini Saya mengacu pada http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=528.
Dalam situs tersebut, disebutkan istilah tiga mata rantai penindasan (The Bully, The Bullied, dan The Bystander: 2004). Apa saja ketiga mata rantai yang membuat lancarnya aksi bullying?
Ada pihak yang menindas. Di lingkungan sekolah, biasanya pihak ini merupakan anak yang merasa mempunyai kekuatan atau kekuasaan lebih di antara siswa lainnya. Senioritas merupakan hal yang sering menjadi alasan kekerasan pada saat MOS (Masa Orientasi Sekolah).
Ada penonton yang diam atau mendukung, hal ini bisa terjadi karena rasa takut menjadi korban juga, atau merasa satu kelompok dengan pihak yang menindas.
Ada pihak yang dianggap lemah, atau bahkan dirinya sendiri menganggap ia adalah pihak yang lemah. Pihak ini biasanya takut melaporkan pada guru/orang tua, takut melawan, dan yang lebih parah memberikan permakluman pada tindakan bullying yang mereka terima.
Namun sebenarnya masalah ini bagaikan fenomena gunung es, yang terpublikasi bukanlah jumlah kasus sebenarnya. Kasus yang terpublikasi, biasanya korban memiliki keberanian untuk mengungkapkan penganiayaan yang mereka alami, terlebih jika korban berjumlah lebih dari satu. Mereka akan lebih mudah melaporkan pada guru dan orang tua. Terlebih jika kasus bullying yang terjadi sudah sampai pada level penganiayaan fisik yang lebih mudah terdeteksi daripada bullying yang melukai kondisi psikis.
Berikut ini beberapa ciri dari individu yang berisiko menjadi pelaku dan korban bullying (The Bully, The Bullied, dan The Bystander: 2004).
Ciri Pelaku Bullying
Ciri Korban Bullying
·Suka mendominasi anak lain.
·Suka memanfaatkan anak lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
·Sulit melihat situasi dari titik pandang anak lain.
·Hanya peduli pada keinginan dan kesenangannya sendiri, dan tak mau peduli denganperasaan anak lain.
·Cenderung melukai anak lain ketika orangtua atau orang dewasa lainnya tidak ada di sekitar mereka.
·Memandang saudara-saudara atau rekan-rekan yang lebih lemah sebagai sasaran.
·Tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya.
·Tidak memiliki pandangan terhadap masa depan atau masa bodoh terhadap akibat dari perbuatannya.
·Haus perhatian
·Anak baru di lingkungan itu.
·Anak termuda atau paling kecil di sekolah.
·Anak yang pernah mengalami trauma sehingga sering menghindar karena rasa takut.
·Anak penurut karena cemas, kurang percaya diri, atau anak yang melakukan sesuatu karena takut dibenci atau ingin menyenangkan.
·Anak yang perilakunya dianggap mengganggu orang lain.
·Anak yang tidak mau berkelahi atau suka mengalah
·Anak yang pemalu, menyembunyikan perasaannya, pendiam atau tidak mau menarik perhatian orang lain.
·Anak yang paling miskin atau paling kaya.
·Anak yang ras atau etnisnya dipandang rendah.
·Anak yang orientasi gender atau seksualnya dipandang rendah.
·Anak yang agamanya dipandang rendah.
·Anak yang cerdas, berbakat, memiliki kelebihan atau beda dari yang lain.
·Anak yang merdeka atau liberal, tidak memedulikan status sosial, dan tidak berkompromi dengan norma-norma.
·Anak yang siap mendemontrasikan emosinya setiap waktu.
·Anak yang gemuk atau kurus, pendek atau jangkung.
·Anak yang memakai kawat gigi atau kacamata.
·Anak yang berjerawat atau memiliki masalah kondisi kulit lainnya.
·Anak yang memiliki kecacatan fisik atau keterbelakangan mental
·Anak yang berada di tempat yang keliru pada saat yang salah (bernasib buruk).
Hanya satu harapan Saya, semoga Si "Bullying" bisa hilang dari dunia perkembangan anak-anak dan remaja. Terutama terkait masa depan mereka yang mungkin bisa terhambat jika ada ganjalan berupa trauma gara-gara bullying.
Tulisan ini hanya sekedar tumpahan ide yang muncul di pikiran, terutama setelah membaca berita dan referensi tertentu tentang bullying. Jika ada kesalahan atau mungkin kebanyakan salahnya terutama salah pemahaman, itu wajar karena Saya masih belajar. Tolong dikasih tahu apa yang salah, next time akan berusaha memperbaikinya. Terima kasih, happy reading all :).