Dia
kembali lagi, meski hanya lewat sebuah mimpi. Mimpi yang kemungkinan besar
hanyalah sebuah bunga tidur, bukan pertanda atau pesan misterius yang ingin disampaikannya
padaku. Namun, sekejap pertemuan semu itu telah membuka kembali ingatan dan
rangkaian kisah yang hanya bisa kupendam sendiri. Klasik memang, sebuah kisah
cinta sepihak, cinta sendiri, cinta terpendam, yang kemungkinan jika si dia
mengetahui isi hatiku pun, kemungkinan besar menjadi cinta tak berbalas. Ya,
mungkin Aku merindukannya, meski dengan susah payah kuberusaha untuk melupakan
rasa ini (entah kata apa yang tepat untuk mengungkapkan apa yang kurasa)
padanya.
**********
Sebuah
mimpi yang mengingatkanku akan film yang pertama kali kutonton di bioskop, atas
ajakan beberapa sahabat baruku di bangku kuliah. Mungkin semua remaja dan para
manusia di golongan dewasa muda (pada saat film tersebut dirilis) hampir semua
mengetahui film yang kumaksud. Cintapuccino. Sebuah film yang diangkat dari
sebuah novel yang konon katanya cukup laris, baik sebelum atau setelah kisahnya
dibuat film.
Memilih
film tersebut untuk ditonton pun bukanlah karena faktor kesengajaan. Hanya saja
saat itu kami merasa bosan dengan rutinitas dan tumpukan tugas kuliah, dan
sedang ingin jalan-jalan di mall.
Saat ada waktu lebih lama sebelum malam menjelang, maka kami berempat pun
sepakat untuk menonton sebuah film di bioskop yang ada di lantai 3 dari sebuah mall di bilangan Cinere itu. Apalagi
saat itu hanya Aku yang belum pernah sekalipun nonton film di bioskop (maklum
anak rumahan dan lebih suka nongkrong di toko buku kalau ke mall). Maka dengan cepat kusetujui
ajakan mereka, walau belum jelas film apa yang akan kami tonton nantinya.
Saat
itu ada 3 pilihan film, Cintapuccino yang cenderung drama romantis, ada film
horor Indonesia, dan satu lagi film action
Hollywood. Kami memutuskan voting, berhubung ini pertama kalinya aku ke bioskop
maka kuputuskan menunggu jawaban mereka masing-masing. Satu temanku memilih
film action, satu orang lainnya memilih horor, dan yang satunya lagi memilih
Cintapuccino. Akhirnya ke-enam mata mereka mengarah padaku, sebagai (mau tidak
mau) penentu keputusan. Kalau dipikir-pikir nonton horor takut jadi parno,
nonton action paling takut kalau ada
adegan tembak-tembakan atau berdarah-darah-an. Jadi kupilih menonton film
Cintapuccino sebagai film yang akan kami tonton sore itu.
Intinya
film itu berkisah tentang seorang cewek yang selama 10 tahun memendam cintanya
kepada seorang cowok di masa sekolahnya. Tapi karena si cewek telah bersikap
realistis, dia pun bisa membuka hati untuk menjalin cinta, bahkan nyaris
menikah dengan pria baik yang sangat mencintainya. Namun, suatu ketika beberapa
saat menjelang hari bahagianya, si cowok dari masa sekolah yang telah beberapa
tahun pergi tanpa ada kabar dan kontak, malah tiba-tiba datang. Parahnya
mengungkapkan kalau dia tertanyata punya rasa yang sama juga ke si cewek selama
bertahun-tahun. Dilema sudah pasti, antara senang karena cinta yang dikira
hanya sekedar khayalan dan tak berbalas, ternyata berbalas. Tapi juga kesal,
kenapa waktunya terlambat, saat si cewek sudah tunangan, dan nyaris nikah?
Kenapa enggak dari dulu sih?
Setelah
mengalami dilema berkepanjangan, pada akhirnya sang tunangan cewek tersebut pun
memilih mengalah demi kebahagiaan si cewek yang belum bisa lepas dari bayangan
cinta pertamanya. So sweet di satu
sisi, tapi so ngenes juga kalau kata
penonton yang memihak pada cowok tunangannya, yang rela ngelepas si cewek
begitu aja, meski hari pernikahan udah di depan mata. Setidaknya temanku
berpendapat demikian, kasihan sama tunangan si cewek, yang super duper baik
hati, walau hatinya pasti bagai tersayat-sayat silet.
Film
tersebut juga mengingatkanku pada sekilas kisahku, yang hanya mampu memendam
rasa pada seseorang. Saat menonton film itu, waktu yang telah kuhabiskan untuk
memendam rasa ini, sekitar 4 atau 5 tahun. Dan kupikirkan, mungkinkah aku juga
akan menghabiskan waktu 10 tahun untuk terus menyimpan bayangannya? Kuharap
tidak terjadi padaku. Sama sekali tidak adil untuk beberapa pihak jika hal itu
terjadi di dunia nyata.
Namun,
saat ini nyaris 10 tahun, dan Aku belum benar-benar bisa melupakan,
menghilangkan perasaanku padanya. Meski pernah muncul beberapa sosok lain yang
nyaris dan mungkin lebih layak pada beberapa hal, untuk sekedar kusukai lebih
dari dia. Tapi Aku belum bisa. Padahal sekitar 1 tahun lebih Aku tidak pernah
bertatap muka dengannya. Sesekali wajah itu kutemui dalam mimpi. Dan terakhir
semalam, meski tidak jelas apa yang diperbincangkan, tapi aku merasa sangat
nyata bertemu dengannya. Bahkan semalam rasanya seperti kembali ke masa dulu,
dengan beberapa orang teman dengan candaannya seolah mendukung kami yang mereka
tahu saling memiliki perasaan satu sama lain.
**********
Meski berat menyadarinya, Aku tahu itu hanya mimpi, yang mungkin tidak akan terjadi
sedetik pun di dunia nyata. Dan sungguh jika rasa ini baik untukku, biarkan itu
tetap ada. Namun, jika ini akan membuat orang-orang yang menyayangiku kecewa,
maka tutup hati ini untuknya, Tuhan. Hanya pada-Mu lah dapat kucurahkan isi
hatiku, karena Engkau lah yang Maha Pemberi Rasa. Terima kasih Engkau telah
mempertemukanku dengannya. Kutitipkan kembali rasa ini pada-Mu, karena Engkau
yang akan memutuskan apakah Aku dapat bertemu lagi atau tidak, dengan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar