Daisypath - Personal pictureDaisypath Anniversary tickers

Selasa, 28 Mei 2013

Cerbung: The Absurd Story of Santriwati VS Pesantren (1)

Akhir Mei 2000

42,50 lumayan tidak terlalu jauh dari nilai sempurna sebesar 50,00. Itulah yang tertulis dalam lembar hasil NEM (Nilai Ebtanas Murni), disertai nama lengkapku. Indigo Putri Amalia. Senangnya bukan main saat Pak Mahmud wali kelasku, memberikan sebuah amplop besar berisi segala surat-surat penting yang menandakan lulus tidaknya seorang murid sekolah dasar. Setelah mengucapkan selamat padaku yang saat itu ditemani oleh Ibu, Pak Mahmud kemudian bertanya kemana aku akan melanjutkan sekolah. Saat itu memang aku masih belum tahu pasti, tapi yang jelas aku ingin melanjutkan ke sebuah SMP negeri yang banyak difavoritkan oleh teman-teman seangkatan. Sebelum sempat aku menjawab, Ibu sudah mewakilinya terlebih dahulu.

Rencananya Indi akan saya sekolahkan di sebuah pondok pesantren Pak, tapi masih dalam tahap survei ke beberapa tempat. Jadi setelah ini kami akan berangkat menuju salah satu pondok pesantren di Bogor. Buat melihat-lihat, karena kata beberapa kerabat kami, di sana lingkungannya bersih dan juga luas.”

Jelas saja aku terkejut, karena Ibu belum membicarakan masalah ini denganku. Wah, tampaknya Ibu ingin membuat kejutan, yang menurutku lebih tepat sebagai sebuah jebakan. Jebakan? Ya, karena beberapa hari lalu aku sudah membicarakan tentang keinginanku melanjutkan di SMP negeri atau yang swasta juga tidak apa-apa seandainya NEM-ku tidak mencukupi standar minimal. Aku juga tidak dapat membantah perkataan beliau, karena sekarang kami sedang berada di ruang guru.

Wah, sayang sekali ya Bu, padahal NEM Indi memungkinkan untuk diterima di SMP negeri. Tapi ya sudah, tidak apa-apa. Sekolah pada dasarnya di mana saja sama asalkan anaknya bisa mengikuti pelajaran dengan baik.

Setelah Ibu berpamitan, Pak Mahmud memberikan sebuah amplop Hijau berukuran sedang padaku. Sepertinya sebuah undangan, karena beberapa kali aku sempat melihat orang tuaku mendapatkannya saat diundang ke acara pernikahan atau khitanan saudara-saudara kami.

Indi ini undangan untuk kedua orang tuamu pada hari pelepasan siswa yang akan dilaksanakan dua minggu lagi. Nanti gladi resiknya dua hari sebelum hari-H, jadi jangan lupa datang ke sekolah ya. Semoga kamu bisa sukses di mana pun kamu menuntut ilmu.” 

Iya Pak, terima kasih juga selama ini sudah mengajarkan banyak hal pada kami semua, sampai akhirnya bisa lulus.

Kubalas ucapan wali kelasku itu, sembari bersalaman dan berpamitan pulang, sebenarnya bukan pulang tapi terpaksa ikut pergi melihat lokasi calon sekolah baruku nanti.

Di perjalanan menuju pesantren yang dimaksud Ibuku tadi, aku hanya diam tidak bersemangat. Awalnya memang agak kesal karena ternyata saat acara pelepasan siswa nanti, ternyata waktunya bersamaan dengan acara pernikahan salah satu kerabat Ibu di luar kota. Dan seluruh keluarga akan menghadiri acara tersebut, menurut Ibu lebih baik kita tidak usah hadir di pelepasan siswa itu, karena itu hanya sekedar acara formalitas tapi tidak akan mempengaruhi kelulusanku. Jadi tidak apa-apa tidak ikut.

Bayangkan! Itu adalah hari terakhir saat aku bisa bertemu teman-teman dan para guru secara lengkap, tapi aku sendiri tidak bisa berpartisipasi di acara itu. Namun, aku lebih tidak bersemangat saat tahu kemana arah taksi ini melaju. Sepuluh menit, dua puluh menit, empat puluh lima menit, dan kurang lebih satu jam sampailah kami di lapangan parkir sebuah komplek dengan beberapa gedung yang tersebar di berbagai sudut. kubaca dalam hati tulisan di sebuah papan besar berwarna hijau, “Pondok Pesantren Al-Muttaqin Bogor.”

Halamannya memang luas, ditambah lagi banyaknya jumlah pohon besar membuat suasana lebih sejuk dibandingkan cuaca khas Jakarta. Sekilas dari kejauhan, teras di gedung kelas dan asrama pun tidak tampak ada sampah, tapi suasananya sangat sepi. Menurut seorang guru piket yang memandu kami berkeliling wilayah santri putri ini, sekarang sedang jam pelajaran di kelas. Nanti sekitar setengah jam menjelang waktu shalat Dzuhur barulah mereka pulang ke asrama untuk bersiap-siap shalat berjama’ah di masjid, lalu makan siang, dan kembali ke kelas untuk menerima pelajaran lagi.

Penjelasan guru itu tidak terlalu kuperhatikan, sebab masih terbawa suasana hati yang kurang baik. Guru itu pun menawari Ibu, jika kami ingin melihat-lihat keadaan asrama tempat santriwati (sebutan untuk santri/murid perempuan), sebaiknya menunggu sekitar 15 menit lagi karena itu adalah jam mereka pulang sekolah. Akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan ke arah ruang makan, kamar mandi, tempat menjemur pakaian, juga sempat duduk sebentar di koperasi pesantren meski saat itu tutup, dikarenakan masih waktu belajar.

Ketika bel berbunyi, lebih tepat jika kusebut lonceng raksasa. Karena lonceng yang berada di tengah bagian pemisah antara asrama putra dan putri itu memang berukuran sangat besar. Mungkin sesuai dengan fungsinya, yaitu supaya seluruh warga pesantren dapat mendengar suaranya, saat berada di mana pun selama masih di dalam wilayah pesantren.

Dari jauh terlihat mungkin ratusan murid perempuan berseragam putih abu-abu dan juga putih biru, serta tidak ketinggalan sebuah kain penutup rambut di kepala mereka, berjalan ramai-ramai dari arah gedung kelas menuju gedung asrama, tepatnya menuju kamar tinggal masing-masing.

Seketika itu pula sebagai penutup tur singkat siang itu, guru pemandu kami segera mengantar aku dan Ibu ke salah satu kamar di sebuah lorong asrama yang terdekat dengan koperasi. Ternyata satu kamar ditempati oleh sekitar sepuluh sampai empat belas orang, dengan lemari berjumlah sama dengan jumlah orangnya, dan ranjang tingkat sekitar lima sampai tujuh ranjang. Ibu juga sempat menanyakan beberapa hal kepada beberapa orang dari santriwati, yang ternyata ada beberapa orang yang juga berasal dari daerah sekitar tempat tinggal kami di Jakarta. Ada pula yang berasal dari luar kota dan luar pulau.

Pernyataan mereka yang menyatakan bahwa sekolah itu sangat menyenangkan, membuat Ibu semakin yakin untuk menyekolahkanku di sana. Itu terbukti saat Ibu sedikit menjelaskan bahwa daripada lokasi pesantren lain yang pernah Ibu lihat saat aku tidak ikut karena masih ujian beberapa bulan lalu, jelas ini jauh lebih bersih dan sejuk. Ayah yang baru saja pulang dari kantor dan menjemput kami di pesantren ini, juga mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum padaku, membenarkan pernyataan Ibu.

Di mobil dalam perjalanan pulang ke rumah, Ibu dan Ayah terus berusaha membujukku yang masih tampak cemberut, dengan membandingkan bahwa sekarang pesantren sudah lebih moderen, berbeda dengan zaman Ayah dan Ibu yang masih sangat memprihatinkan. Memang keduanya juga pernah menimba ilmu di pesantren. Kalau dipikir-pikir mau di pesantren mana pun tetap itu bukan kemauanku, jadi daripada capek-capek pergi ke pesantren lain yang tetap saja terpaksa, maka kuanggukkan kepalaku dengan lemah, menyetujui dengan berat hati.

Pertengahan Juni 2000

Kemeriahan suasana hajatan yang diadakan kerabat dari Ibu, tidak mampu membuatku ceria. Hal ini karena badan dan pikiranku tidak berada di tempat yang sama. Meski jelas-jelas tubuh ini ada di dalam sebuah gedung mewah, dengan berbagai jenis makanan yang bisa dinikmati sepuasnya, tapi pikiranku terbang ke aula di sekolah. Acara gladi resik pelepasan siswa SD Bintang Kecil angkatan 2000, yang acaranya akan diadakan besok.

Aku sengaja tidak memberitahukan ketidakhadiranku pada guru-guru atau Rahmi, sahabatku sejak kelas 3 SD, karena jika mengabarkan terlebih dahulu pasti aku akan dibujuk untuk tetap mengikuti acara yang hanya akan dirasakan sekali setelah enam tahun belajar. Aku akan semakin sedih jika mengingatnya, apalagi mengingat kenyataan bahwa aku akan segera sekolah dan tinggal di pesantren, yang jelas tidak sebebas anak-anak SMP lainnya. Memang sejak dulu aku iri saat melihat kakak-kakak kelas yang sudah duduk di bangku SMP bisa main ke toko buku di mal sepulang sekolah. Memang toko buku adalah tempat favoritku saat pergi ke mal.

Belum lagi saat kuingat bahwa tiga hari lagi harus mengikuti ujian masuk calon santri baru di pesantren Al-Muttaqin. Walaupun sudah diberitahu bahwa yang diujikan adalah materi pelajaran umum dan pengetahuan baca tulis Al-qur’an, tidak ada niat sedikit pun untuk belajar, dengan harapan supaya tidak lolos seleksi dan batal masuk pesantren.

Doa Orang Tua Memang Top

Aku merasa tidak begitu antusias saat mengerjakan soal ujian masuk pesantren, dan ketika diminta membaca Al-qur’an pun sangat jauh dari kategori lancar. Namun, ketika harapan orang tua begitu besar, bukan hal mustahil untuk dikabulkan oleh Sang Maha Kuasa. Sekitar pukul empat sore, hasil ujian pun ditempel di papan pengumuman yang terletak di ruang tamu berukuran hampir sama dengan ruang kelasku saat SD. Kutelusuri deretan nama di selembar kertas itu, dan kutemukan namaku. Indigo Putri Amalia, tepat di atas nama seorang teman baru yang kukenal sebelum waktu ujian dimulai.

Ya, teman pertamaku di pesantren ini, Adinda Nur Utami. Berbeda denganku yang terpaksa masuk pesantren, dia memilki kemauan sendiri karena melihat saudara sepupunya yang mandiri dan pintar berpidato setelah belajar di Gontor, sebuah daerah di Jawa Timur yang terkenal dengan banyaknya jumlah pesantren.

Hari ini memang hanya sekitar sepuluh orang yang ikut tes, yang lainnya pun anak laki-laki jadi kami segan untuk berkenalan. Sebetulnya jumlah peminatnya lumayan banyak, sekitar 150 orang menurut informasi guru piket di sana, tetapi yang lain sudah terlebih dahulu ikut ujian di gelombang pertama. Gelombang kedua ini diadakan untuk memberi kesempatan mereka yang tidak dapat hadir di ujian gelombang pertama, namun masih ingin sekolah di pesantren ini. Karena jumlah peserta yang sedikit itulah pengumumannya juga sangat cepat, lain dengan gelombang pertama yang membutuhkan waktu seminggu untuk mengetahui hasilnya.

Tampak senyum bahagia di wajah kedua orang tuaku, tapi saat itu seolah ada monster yang siap memberontak di ruang rasaku. Tentu saja kutahan agar monster itu tidak benar-benar keluar dalam bentuk teriakan nyata. Tanganku mengepal semakin kencang untuk menahan emosi. Arrrrrrrgggggggggghhhhhh!!! (Bersambung ya…)


(Bagaimana kelanjutan hari-hari yang akan dilalui oleh Indi menjelang resmi disebut sebagai seorang santriwati? Nantikan kelanjutannya di blog yang sama, pada waktu yang belum dapat ditentukan. Hehe, maklum penulisnya baru mulai belajar menulis cerbung. Sampai jumpa ^_^.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar