Daisypath - Personal pictureDaisypath Anniversary tickers

Sabtu, 21 September 2013

Bahasa Emak

Long time no see... Eh maksudnya long time no write about my absurd story. Setelah hampir sebulan lebih vakum dari dunia blog ini, kini saya hadir kembali dengan kisah baru di status yang kini baru juga.

Now I am a wife (Whaaaaaattttt???). Dunia kaget? Yang mengalami saja masih tidak menyangka bisa sampai di tahap ini. Tapi sekarang bukan waktunya menceritakan detail bagaimana si cewek aneh binti eror ini bisa bertemu dengan orang yang mau menerima doi secara lahir dan batin. Sekarang temanya adalah tentang bahasa ibu.

Tahu kan maksudnya? Yaitu tentang bahasa daerah asal seorang wanita yang bertitel ibu, emak, mama, mami, ummi, dll, yang sepatutnya diwariskan kepada anak-anaknya meski si anak tidak lahir atau tumbuh besar di kampung halaman orang tuanya. *Omong-omong kampung halaman eike apa ya? Secara meski keturunan Jawa tulen, ogut kan lahir di dan besar melewati masa bayi, balita, dan kanak-kanak di Jakarta.

Sebut saja kasus yang saya alami, sebagai salah satu anak kelahiran Jakarta, besar di Jakarta, Bogor, dan kemudian pindah ke Tangerang Selatan, tapi punya darah keturunan suku Jawa tulen dari kedua orang tua yang sama-sama asal Jawa Tengah. Kalau istilah di novel Harry Potter, saya ini "berdarah murni" bukan "berdarah campuran." *Eh, apa coba kok ngomongin novelnya J.K. Rowling?

Balik lagi ke soal bahasa ibu. Meski lahir dan besar di Jakarta, saya cukup beruntung punya ibu yang sejak dulu selalu mengenalkan dan membiasakan untuk berbicara bahasa Jawa kepada anak-anaknya. Ya, memang kami, selaku anak-anak beliau hampir tidak pernah menimpalinya lagi dengan bahasa Jawa. Tapi minimal sedikit-sedikit lumayan paham kan? Daripada sama sekali tidak mengerti bahasa daerah asal orang tua?

Namun tetap saja kemampuan berbahasa Jawa itu hanya sekedar kemampuan pasif, hanya bisa paham tanpa mampu menuturkannya dengan baik dan benar, serta tepat sasaran (ada perbedaan untuk berbicara kepada yang sebaya dan kepada yang lebih tua). Apalagi kalau suatu saat harus kembali berbaur di lingkungan yang masih dominan menggunakan bahasa Jawa dibandingkan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.

Dulu sih cuek-cuek saja. Toh bertemu saudara yang tinggal di kampung halaman hanya sesekali, bahkan bisa dikatakan sekali setahun saat hari raya. Tapi kini ketidakmampuan saya dalam melafalkan bahasa Jawa (terutama yang halus dan penuturan kepada yang lebih tua), benar-benar sangat terasa. Bahkan sering membuat diri ini menjadi salah tingkah, enggak nyaman, malu, dan hampir selalu memilih diam jika tidak benar-benar mendesak untuk bicara.

Terutama di masa awal-awal berstatus baru ketika menjalani masa-masa ngunduh mantu beberapa waktu lalu. Kebetulan (eh, takdir maksudnya) Tuhan memilih saya untuk kembali bertemu dengan orang yang sesuku, bahkan bukan sekedar Jawa "keturunan doang" seperti saya, tapi memang orang yang lahir dan besar di Jawa Tengah. Tidak terlampau jauh dari kampung halaman kedua orang tua saya.

Tapi keadaan terdesak memang bisa mengubah segalanya. Termasuk saya yang sebelumnya tidak pernah mau bertutur dalam bahasa Jawa. Saat ini minimal sepatah dua patah kata harus ada yang diganti dengan bahasa Jawa. Sulit bukan berarti tidak bisa kan? Toh ini termasuk hal positif. Minimal belajar jadi wanita halus, bukan cewek tomboy nan kasar binti cuek bebek sama lingkungan sekitarnya.

Maka saya bersyukur menjadi anak dari seorang Ibu yang tidak menyepelekan masalah bahasa ibu ini. Hal ini sangat membantu saya dalam beberapa waktu lalu, yang tinggal sementara di PMI (Pondok Mertua Indah) alias daerah kelahiran suami (masih rada rikuh menuliskannya, karena belum terbiasa dengan kata tersebut, tapi harus dibiasakan). Sambung lagi kapan-kapan yaaa ^_^.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar