Daisypath - Personal pictureDaisypath Anniversary tickers

Rabu, 28 November 2012

Cerpen: Rahasia Itu...

Mimpi aneh itu muncul lagi. Seketika kudapati diriku berada di sebuah ruangan gelap, dengan sebuah meja di sudut ruangan. Namun seberkas cahaya bulan memasuki ruangan melalui celah atap yang berlubang. Cahaya itu menyinari bagian atas meja, di sana terdapat kotak kayu yang menarik perhatianku. Tampak lusuh, berdebu karena Aku sempat menyentuhnya untuk memuaskan rasa penasaran akan isi kotak tersebut. Tetapi belum sempat kubuka kotak itu, tiba-tiba saja Aku sudah tersadar, terbangun dari tidur lelapku. Ternyata itu hanya mimpi, bukankah mimpi hanya sekedar bunganya tidur? Entah kenapa disebut sebagai bunga tidur, Aku pun tidak tahu.

Tidak akan kupikirkan jika mimpi hanya sebatas mimpi, dan hanya muncul dalam sekali. Tapi mimpi itu sudah kualami selama 3 kali berturut-turut dalam 3 malam. Entah apa sebenarnya isi dari kotak itu, atau siapakah pemiliknya? Kenapa mimpi itu begitu nyata, dan mengapa selalu terputus ketika Aku nyaris membukanya. Mungkin hanya sekedar misteri Tuhan yang kebetulan mampir pada diriku. Aku hanya berharap tidak ada hal-hal aneh yang akan terjadi.
*****

Satu minggu berlalu sampai pada suatu siang kudapati (mungkin arti dari mimpi-mimpi anehku belakangan ini) sebuah kenyataan rumit. Dhuarr!!! Bagaikan disambar petir di siang bolong. Dulu Aku begitu heran kenapa ada yang menciptakan perumpamaan demikian, bagaimana sebetulnya rasanya itu. Namun, mungkin saat ini ungkapan itu mungkin cocok menggambarkan apa yang kurasakan. Ketika kuketahui sebuah kenyataan pahit tentang keluarga ini, keluarga yang kuanggap cukup harmonis meski sesekali tetap ada sedikit perdebatan kecil antara ayah dan ibu, meski kami tidak begitu pandai mengekspresikan rasa sayang dalam bentuk pelukan atau ciuman antar anggota keluarga. Tapi kami rasa kami adalah keluarga harmonis yang tetap memiliki kasih sayang cukup, serta jauh dari kategori keluarga broken home.

Berawal ketika Aku mulai beranjak menjadi gadis dewasa muda. Saat tanpa sengaja kutemukan sebuah buku harian usang, yang kemudian kuketahui adalah milik Ibu. Awalnya kubuka dan hanya kutemukan beberapa catatan resep masakan dan catatan pengeluaran belanja harian di bagian depannya. Maka kupikir tidak ada hal yang sangat pribadi, sehingga kuteruskan membaca buku itu sampai halaman belakangnya. Sampai kuketahui sebuah kenyataan pahit bahwa tanpa sepengetahuan kami anak-anaknya, tanpa sepengetahuan siapa pun, Ibu memendam sebuah rahasia yang sungguh berat untuk dihadapi seorang diri. Beberapa tahun lalu, tepatnya sejak Aku masih duduk di bangku SMP, ternyata Ayah telah mengkhianati Ibu. Selingkuh. Begitulah istilah yang entah mengapa akhir-akhir ini juga begitu nge-tren di TV. Mungkin karena memang banyak para pelakunya.

Marah, kesal, kecewa, dan mungkin jijik membayangkan betapa sosok yang kukagumi bisa melakukan hal seperti itu. Dan tahukah siapa WIL itu? Ternyata orang yang juga masih memiliki suami, dan mungkin saja saat itu dia mengaku pada ayahku kalau dia single. Hal itu pun diketahui Ibu setelah mengajak om untuk menemaninya melabrak wanita itu. Di buku harian itu Ibu mencurahkan isi hatinya, tentang kebimbangannya untuk mempertahankan atau mengakhiri rumah tangganya dengan Ayah. Namun, Ibu memikirkan kami anak-anaknya, sehingga berjuang sekuat tenaga menyelesaikan tanpa harus menceritakan pada siapa pun, kecuali om-ku yang memang satu-satunya adik Ibu yang tinggal di kota ini.

"Tuhan, apa salahku sehingga masalah sebesar ini harus kualami. Dimulai dengan kabar perselingkuhan suamiku, dan ternyata itu benar adanya. Dengan entengnya dia meminta izin untuk menikah lagi dengan wanita itu, hanya karena alasan wanita itu mau kembali sembahyang setelah menjalin hubungan dengan suamiku. Betapa marahnya Aku, ketika dia tiba-tiba menolak menengok anak kami yang sedang menuntut ilmu di sebuah pesantren, dan ternyata dia menemui wanita itu. Semudah itu pula dia meminta maaf padaku setelah mengetahui bahwa ternyata wanita itu masih berstatus istri orang. Suamiku memohon maaf sambil mencium kakiku. Mengingat rasa sakit di hatiku, bukan hal mustahil jika saat itu Aku tidak memberikan kesempatan kedua untuknya, dan segera menggugat cerai. Namun, jika kuingat akan ketiga buah hatiku, rasanya Aku takut membayangkan masa depan mereka nanti. Sekecil itu harus menjadi korban perceraian orang tuanya. Maka dia kumaafkan setelah dia berjanji akan bertaubat dan tidak akan mengulangi atau pun menjalin komunikasi apa pun dengan wanita itu. Bahkan dia mau untuk pindah tempat kerja, karena di sanalah dia bertemu dengan wanita itu. Kumaafkan suamiku demi anak-anakku tercinta, kalian lah penyemangatku."

Itulah sedikit kisah yang ditulis Ibuku. Ternyata sekarang Aku paham mengapa sesekali Ibu kudapati begitu keras ketika sedikit ada perdebatan tentang sesuatu hal dengan Ayah. Mungkin hatinya kembali sakit bila mengingat apa yang pernah terjadi. Bahkan Aku yang dulu begitu dekat dengan Ayah saat masih kecil, menjadi berubah, sedikit malas untuk menatapnya. Apalagi bicara padanya. Aku tahu itu sudah terjadi sekian tahun lamanya, dan sudah berakhir. Tapi mengetahui kenyataan pahit ini membuatku marah, kesal. Pun ketika kebenaran hal ini kutanyakan pada Ibu, kenapa tidak mau sekedar berbagi kepadaku anak sulungnya? Beliau hanya menjawab, karena Ibu tidak mau kalian ikut merasakan sakit juga terutama tidak ingin membuatku tidak betah di pesantren.

Aku juga kesal pada diri sendiri yang tidak berada dekat Ibu. Dengan segala usaha beliau menutup rapat kesedihannya, ketika sesekali mengunjungiku di pesantren. Tidak nampak sedikit pun bahwa beliau memiliki masalah. Aku masih kesal pada Ayah, namun hanya bisa kupendam dalam hati. Selain masalah itu sudah basi, Ibu juga memintaku untuk tetap merahasiakan hal ini dari siapa pun. Beliau bicara "Bukankah sekarang Ayahmu sudah bertaubat dan menjalani hidup dengan lebih baik, nak? Cukup jadikan hal itu pelajaran terutama untukmu yang beberapa tahun nanti juga mungkin akan berumah tangga." Aku hanya bisa mengangguk lemah dan segera masuk ke kamar mandi dengan alasan ingin mandi. Padahal Aku ingin menumpahkan air mataku tanpa sepengetahuan Ibu.

Jujur, Aku merasa marah, kesal, dan tidak bisa terima jika Ibu tersakiti. Namun, tidak ada yang bisa kulakukan karena mantan pelaku "kekerasan" pada Ibu adalah sosok yang juga harus Aku hormati dalam keadaan apa pun. Nyaris kuikrarkan dalam hati, untuk tidak ingin menikah karena kenyataan ini begitu pahit. Untuk apa menikah jika harus ada pihak yang menyakiti dan tersakiti. Namun, nalarku kembali bekerja. Bukankah salah satu hal yang bisa membuat orang tua bahagia, adalah melihat anak-anaknya tumbuh dewasa, menemukan jodohnya yang baik di mata manusia dan Tuhan? Bukankah esensi menikah juga adalah ibadah? Maka meski berat untuk menerimanya, akan kucoba memaafkan Ayah, tanpa harus beliau meminta maaf padaku. Aku tahu beliau sudah berubah. Aku hanya harus mencoba lebih melapangkan hati untuk menerima kenyataan ini. Demi Ibu tercinta. Aku sayang Ibu.

Created by: Nila Amalia
Tang-Sel, 28 November 2012.
Untuk semua Ibu di dunia :)
read more »

Selasa, 27 November 2012

Me vs Lipstik

Salam, kali ini ada satu hal (yang mungkin bisa dibilang salah satu rahasia dalam hidupku) yang ingin kubagi dengan dunia maya. Ya, itu pun kalau ada yang dengan sengaja membacanya, atau tanpa sengaja terjebak masuk ke "ruang berekspresiku" di dunia maya. Sebenarnya juga bukan rahasia besar, cuma sedikit sebab musabab kenapa aku rada risih dan merasa tekanan batin saat "terpaksa" bersentuhan dengan si lipstik. Padahal, normalnya para cewek, bahkan balita yang mulai meniru perilaku orang dewasa pun, dengan riangnya bermain lipstik dan tanpa ragu mewarnai wajahnya (hehe biasanya kan pakenya melewati garis bibir, jadi kusebut mewarnai wajah).

Sebelum kuceritakan inti sebabnya, marilah kita masuk terlebih dahulu pada sekelumit kisah dan pengalamanku bersama benda berwarna-warni mirip krayon, yang biasa kupakai saat mewarnai gambar di masa TK dan SD dulu. Omong-omong TK, jadi ingat ketika untuk pertama kalinya (dan mungkin akan menjadi terakhir kali dalam hidup) aku berpartisipasi tampil di depan umum untuk menari. Ya, tepatnya adalah saat hari perpisahan atau kelulusan anak TK.

Entah dulu menari apa namanya, tapi yang kuingat kostumnya berupa baju muslimah lengkap dengan kerudung bergo khas bocah. Sebut saja tarian anak muslim (maksa dikit dah ya). Sebagaimana umumnya kebiasaan orang Indonesia saat seseorang tampil di depan umum, apalagi untuk menari, anak TK pun didandani menor seperti orang dewasa. Menor di sini maksudku adalah, sapuan bedak padat yang lapisannya lumayan tebal, dan bibir yang diwarnai merah ngejreng nan mencolok. Aduh, malas juga mengingatnya, dan nyaris saat itu batal ikut menari karena tiba-tiba mual hampir muntah. Stop mikir yang aneh-aneh (ini masih cerita tentang anak usia 5 tahun).

Kejadiannya bermula saat ibu dari salah satu temanku, yang bertugas menjadi penata rias kami, mulai mewarnai bibirku. Ketika lipstik mulai menempel di bibir, seketika tercium aroma khas lipstik (yang menurutku aneh bin memuakkan). Oook, ook!! Kurang lebih begitu gambaran suara orang mual, dengan bibir membentuk huruf "O" aneh, mata mulai berair, dan nyaris akan terjadi banjir "isi perut". Sebut saja tante P (penata rias), mulai keheranan melihat ekspresiku, dan berusaha menyakinkanku kalau lipstik enggak bakal bisa bikin bocah kecil mati mendadak (lebay deh gue). Pokoknya tetap keukeuh buat mewarnai bibirku biar warnanya sama mencolok dengan bibir teman-temanku.

Terpaksa ditahan-tahan muntahnya, dengan rasa kaku di bibir karena berusaha supaya lidah tidak bersentuhan dengan "krayon" di bibir. Akhirnya selesai menari dan ganti baju pun, sesegera mungkin lipstik itu kuhapus dengan bagian atas dari kaos warna kuning yang kupakai saat itu. Berbeda dengan teman-temanku, yang dengan santainya ber-make-up ria sambil makan dan minum snack yang disediakan. Sejak pengalaman itu, entah sengaja atau tidak sengaja mulai SD, SMP, dan SMA, semua kegiatan berbau seni dan karnaval dengan kostum unik pun selalu kuhindari dengan satu sebab, ogah dipakein lipstik!! Kostum favorit saat Tujuh Belasan atau Kartini-an? Of course, seragam sekolah dong ^_*.

Selanjutnya antara kelas 3 atau 4 SD, saat di jemputan beberapa teman mengadakan pembicaraan tentang efek pemakaian lipstik pada warna alami bibir. Gubrak!! Bahasanya formal banget ya, padahal sih anak SD angkatan 90-an belum sampai pada kosakata tinggi begitu. Cuma intinya ngerumpi tentang lipstik gitu deh. Saat itu aku hanya jadi pendengar tanpa ikutan bicara, tapi pembicaraan kali itu cukup membuatku sedikit tertohok. Kurang lebih inilah kutipan kata-kata teman se-jemputan-ku yang kalau dipikir-pikir sekarang, itu orang masih kecil keren juga udah update masalah begituan.

"Tahu ga sih, katanya bibir orang bisa jadi kelihatan item kalo sering pakai lipstik. Soalnya warna asli bibir kan merah muda, terus kalau biasa pake lipstik, dan sekalinya enggak pake lipstik, warna alaminya hilang. Jadi malah kayak keliatan item atau abu-abu gitu."

Degh!! Merasa tersindir juga sih, soalnya waktu SD dan mulai bertemu banyak orang, sempat kepikiran juga, kenapa orang-orang punya bibir warnanya merah muda, tapi kok bibirku agak kehitaman. Dan seketika pun aku berpikir mungkin karena memang warna kulitku yang cenderung lebih gelap dari orang lain. Tapi mendengar pernyataan itu, semakin tertohok, dan hanya bisa bilang "ooh.." dalam hati. Tetap stay cool di depan teman-teman, pura-pura enggak menaruh minat dengan obrolan mereka. Kalau penjelasan ilmiahnya, yang saat dewasa baru kuketahui mengenai sebab bibir menghitam akibat lipstik, ya karena ada beberapa produsen nakal yang menggunakan bahan berbahaya di lipstik, misalnya sejenis logam yang akhirnya membuat bibir menghitam, bahkan konon katanya bisa memicu kanker juga.

Kejadian itu belum lengkap tanpa kenyataan yang belakangan kuketahui (masih SD juga) saat melihat album merah (sampulnya emang merah bukan biru kayak punya Teh Melly Goeslow) zaman dulu. Saat mataku mengarah pada sebuah foto bayi montok, memakai baju merah dengan topi putih, dan tampaknya sedang tidur. Tapi bukan itu yang jadi masalah, lihat bibirnya, merah menyala ngejreng bin menor. Huwaaaa!!! Ternyata sejak belum genap setahun pun bibirku sudah bersentuhan dengan benda yang di kemudian hari nyaris menjadi musuhku. Jangan-jangan gara-gara lipstik dengan bahan berbahaya pula yang menyebabkan warna bibirku mirip seperti seorang perokok aktif. Sampai sekarang bahkan aku tidak tahu dan tidak berusaha menanyakan siapa pelakunya, toh mungkin hanya sekedar bentuk kasih sayang atau gemes sama sesosok bayi yang masih lucu, jadi didandani dengan harapan menjadi semakin lucu (but I don't think she was funny, I can't believe it's me *_*).

Beberapa kali sekitar masa-masa SD sampai SMP, ditawari untuk menjadi "bocah kecil" yang didandani di acara pernikahan saudara. Dan dengan bibir merengut serta gelengan kepala kuat menjawab tawaran tersebut, hanya karena satu alasan yang bisa kusimpan sendiri. Lagi-lagi ogah dipakein lipstik, mual dan pengen muntah tiap menghirup aromanya. Bahkan bukan hanya aromanya, secara visual pun Aku lumayan anti jika alat makan atau minum milik Mama (yang sebenarnya sih biasa kami makan-minum dengan alat yang sama) ada noda lipstiknya. Memilih untuk menolak, atau diganti dengan yang baru alias masih bersih. Eneg, rasanya seperti disuruh makan krayon. Bahkan sejak kecil pun di lubuk hati terdalam, tercetus niat untuk tidak ingin seperti Mama, dalam hal berdandan (pakai lipstik). Ingin jadi orang dewasa yang tidak memulas bibirnya dengan warna-warni ngejreng.

Setelah sekian lama tidak bermasalah (karena tidak bertemu keadaan yang mengharuskan berlipstik selama sekolah di pesantren) dengan si "krayon bibir", kembali ketakutan itu muncul sesaat menjelang kelulusan dari pondok pesantren. Sekedar info, ternyata saat itu disepakati bahwa santriwati yang akan lulus, pada hari kelulusan akan didandani oleh seorang make up artist. Sejak itu baru tahu bahwa bahasa Inggris untuk penata rias wajah, ya make up artist. Ketakutan didandani dengan lipstik yang akan membuat mual pun semakin jadi menjelang hari H. Namun, tidak ada seorang pun teman yang kuberitahu masalahku ini, khawatir kalau mereka tahu akan membuatku semakin nervous.

Maka, untuk mengantisipasi mereka tahu masalahku (kalau ternyata mualnya muncul lagi), alhasil kupiilih untuk didandani dengan giliran terakhir. Alhamdulillah, ternyata kudapati bahwa tidak semua jenis lipstik membuatku mual. Terutama Sang make up artist menggunakan jenis lipstik cair yang tidak memiliki aroma "aneh" seperti yang kutemui saat TK atau milik Mamaku. Aman, bebas mual tapi keringat mengucur deras karena tidak terbiasa dengan bedak tebal di seluruh bagian kulit wajah. Lagi-lagi tidak seperti teman lainnya yang membiarkan make up bertahan di wajah, aku dengan segera menghapus riasan dari wajah dengan cara asal (maklum belum tahu bagaimana cara yang benar dalam membersihkan make up).

Kukira setelah kelulusan itu, traumaku pada aroma lipstik sudah lenyap. Sampai suatu ketika saat akan pergi bersama keluarga, Mama memintaku untuk memakai lipstik tipis-tipis. Sekedar membuang efek pucat, katanya. Melihat gerak-gerikku yang seperti siap menolak, maka permintaan itu pun diganti dengan "Ya udah pakai lip gloss punya Mama aja, biar enggak kering bibirnya." Karena lip gloss tidak berwarna, maka kuturuti perintah Mama. Hasilnya, karena memang Mama terbiasa memakai lip gloss setelah bibirnya di-lipstik-i, maka aroma lipstiknya otomatis ada di lip gloss tersebut. Terulang lah kejadian waktu TK, mual nyaris muntah, dan segera kuhapus sapuan lip gloss dari bibir. Mama pun hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menggerutu keheranan pada putrinya yang rada aneh ini.

Untuk sekedar menghindari dan berusaha menuruti perintah Mama, dengan cara lain dalam hal dandan seminimal mungkin, maka kuputuskan untuk membeli lipstik khusus punya sendiri. Pilihanku masih jatuh pada merek Lip Ic* Sheer Colour. Untuk jaga-jaga kalau kepergok Mama disuruh pakai lipstik, ya bilang udah pakai. Tetap pilih yang tidak mencolok warnanya. Mencoba yang tanpa aroma atau pun jenis dengan aroma buah, efeknya sama, masih mual pada awalnya. Apalagi kalau lidah menyentuh bagian bibir. Ternyata traumanya masih lumayan membekas. Dan sampai saat ini pun produk itu hanya kupakai saat benar-benar harus pergi keluar rumah (hanya saat ingat, sering lupanya sih), dan tentu saja dengan sapuan super duper tipis untuk meminimalisir mualnya muncul. Sampai kapan nih musuhan terus sama lipstik? Buat diri sendiri sih enggak masalah, toh memang aslinya tidak suka dandan. Tapi jika suatu saat ada di kondisi yang mengharuskan memakai lipstik dalam jangka waktu lama dan rutin?

Inti tulisan ini adalah (padahal sebelum inti, pendahuluannya banyak banget ya pemirsa ^_*) sebab kenapa aku sampai bertekad sebisa mungkin tidak berhubungan dengan lipstik. Suatu ketika (lupa umur berapa) yang jelas sebelum sekolah TK. Waktu itu di rumah cuma ditinggal sama Mbak (Asisten Rumah Tangga), sedangkan Mama entah lagi pergi kemana (lupa). Mungkin awalnya maksudnya baik ya, bercanda sambil melampiaskan kreativitas si Mbak padaku. Bocah yang mungkin menurut dia lucu saat itu, apalagi kalau dijadiin modelnya. Entah bagaimana tahu-tahu di tangan si Mbak ada seonggok benda mungil. Iya, itu lipstik, dan mungkin maksudnya mau praktek dandanin orang dengan diriku sebagai bocah percobaan. Kalau tidak salah ingat, aku saat itu agak berontak karena tidak mau, dan si Mbak yang niatnya bercanda tetap menyodorkan lipstik ke arah bibirku.

Di situlah tragedi (setidaknya menurutku) dimulai, dalam keadaan badan dan kepala bergerak berusaha menolak, tetap saja Balita tidak bisa menang melawan kekuatan satu tangan  milik orang dewasa. You know what?? Lipstik itu akhirnya tepat mendarat di depan bibir. Tidak, bahkan lebih tepatnya masuk ke dalam mulut. Hoeek!!

Menuliskannya pun masih terbayang betapa eneg-nya kala itu. Seperti dipaksa makan krayon atau lilin mainan yang bisa dibentuk jadi apa saja. Akhirnya, muntahlah bocah kecil itu, dengan seluruh isi perut yang baru saja masuk beberapa saat lalu saat makan siang, keluar bak air terjun. Sumpah, banyak banget muntahnya (tuh kan sampai ingat soalnya traumatik sekali). Setelah itu aku tidak ingat lagi apa yang terjadi selanjutnya, pun aku tidak ingat apakah si Mbak kena omel Mama atau bahkan kejadian itu tidak pernah diketahui Mama karena si Mbak berhasil menutup rapat kejadian tersebut.

Sejak itu meski tanpa pernyataan resmi pun, telah terjadi suatu permusuhan antara Aku dan lipstik. Entah sampai kapan trauma itu hilang tanpa bekas? Kita lihat saja nanti sampai kapan "Me versus Lipstick" ini bertahan. Aku pun tidak tahu ketika menuliskan rahasia ini, apakah bisa menjadi sebuah terapi untuk menghapus trauma, atau malah akan membuatku semakin terus menumbuhkan ingatan akan trauma itu. Yang jelas, setidaknya sedikit membuatku lega, karena kisah aneh nan unik (atau mungkin biasa saja bagi orang lain) dapat kuceritakan pada dunia. Meski hanya di dunia maya.

Sampai jumpa di postingan berikutnya :).

read more »

Rabu, 21 November 2012

He Had Came Back (Just a Dream)

 
Dia kembali lagi, meski hanya lewat sebuah mimpi. Mimpi yang kemungkinan besar hanyalah sebuah bunga tidur, bukan pertanda atau pesan misterius yang ingin disampaikannya padaku. Namun, sekejap pertemuan semu itu telah membuka kembali ingatan dan rangkaian kisah yang hanya bisa kupendam sendiri. Klasik memang, sebuah kisah cinta sepihak, cinta sendiri, cinta terpendam, yang kemungkinan jika si dia mengetahui isi hatiku pun, kemungkinan besar menjadi cinta tak berbalas. Ya, mungkin Aku merindukannya, meski dengan susah payah kuberusaha untuk melupakan rasa ini (entah kata apa yang tepat untuk mengungkapkan apa yang kurasa) padanya.
**********
Sebuah mimpi yang mengingatkanku akan film yang pertama kali kutonton di bioskop, atas ajakan beberapa sahabat baruku di bangku kuliah. Mungkin semua remaja dan para manusia di golongan dewasa muda (pada saat film tersebut dirilis) hampir semua mengetahui film yang kumaksud. Cintapuccino. Sebuah film yang diangkat dari sebuah novel yang konon katanya cukup laris, baik sebelum atau setelah kisahnya dibuat film.
Memilih film tersebut untuk ditonton pun bukanlah karena faktor kesengajaan. Hanya saja saat itu kami merasa bosan dengan rutinitas dan tumpukan tugas kuliah, dan sedang ingin jalan-jalan di mall. Saat ada waktu lebih lama sebelum malam menjelang, maka kami berempat pun sepakat untuk menonton sebuah film di bioskop yang ada di lantai 3 dari sebuah mall di bilangan Cinere itu. Apalagi saat itu hanya Aku yang belum pernah sekalipun nonton film di bioskop (maklum anak rumahan dan lebih suka nongkrong di toko buku kalau ke mall). Maka dengan cepat kusetujui ajakan mereka, walau belum jelas film apa yang akan kami tonton nantinya.
Saat itu ada 3 pilihan film, Cintapuccino yang cenderung drama romantis, ada film horor Indonesia, dan satu lagi film action Hollywood. Kami memutuskan voting, berhubung ini pertama kalinya aku ke bioskop maka kuputuskan menunggu jawaban mereka masing-masing. Satu temanku memilih film action, satu orang lainnya memilih horor, dan yang satunya lagi memilih Cintapuccino. Akhirnya ke-enam mata mereka mengarah padaku, sebagai (mau tidak mau) penentu keputusan. Kalau dipikir-pikir nonton horor takut jadi parno, nonton action paling takut kalau ada adegan tembak-tembakan atau berdarah-darah-an. Jadi kupilih menonton film Cintapuccino sebagai film yang akan kami tonton sore itu.
Intinya film itu berkisah tentang seorang cewek yang selama 10 tahun memendam cintanya kepada seorang cowok di masa sekolahnya. Tapi karena si cewek telah bersikap realistis, dia pun bisa membuka hati untuk menjalin cinta, bahkan nyaris menikah dengan pria baik yang sangat mencintainya. Namun, suatu ketika beberapa saat menjelang hari bahagianya, si cowok dari masa sekolah yang telah beberapa tahun pergi tanpa ada kabar dan kontak, malah tiba-tiba datang. Parahnya mengungkapkan kalau dia tertanyata punya rasa yang sama juga ke si cewek selama bertahun-tahun. Dilema sudah pasti, antara senang karena cinta yang dikira hanya sekedar khayalan dan tak berbalas, ternyata berbalas. Tapi juga kesal, kenapa waktunya terlambat, saat si cewek sudah tunangan, dan nyaris nikah? Kenapa enggak dari dulu sih?
Setelah mengalami dilema berkepanjangan, pada akhirnya sang tunangan cewek tersebut pun memilih mengalah demi kebahagiaan si cewek yang belum bisa lepas dari bayangan cinta pertamanya. So sweet di satu sisi, tapi so ngenes juga kalau kata penonton yang memihak pada cowok tunangannya, yang rela ngelepas si cewek begitu aja, meski hari pernikahan udah di depan mata. Setidaknya temanku berpendapat demikian, kasihan sama tunangan si cewek, yang super duper baik hati, walau hatinya pasti bagai tersayat-sayat silet.
Film tersebut juga mengingatkanku pada sekilas kisahku, yang hanya mampu memendam rasa pada seseorang. Saat menonton film itu, waktu yang telah kuhabiskan untuk memendam rasa ini, sekitar 4 atau 5 tahun. Dan kupikirkan, mungkinkah aku juga akan menghabiskan waktu 10 tahun untuk terus menyimpan bayangannya? Kuharap tidak terjadi padaku. Sama sekali tidak adil untuk beberapa pihak jika hal itu terjadi di dunia nyata.
Namun, saat ini nyaris 10 tahun, dan Aku belum benar-benar bisa melupakan, menghilangkan perasaanku padanya. Meski pernah muncul beberapa sosok lain yang nyaris dan mungkin lebih layak pada beberapa hal, untuk sekedar kusukai lebih dari dia. Tapi Aku belum bisa. Padahal sekitar 1 tahun lebih Aku tidak pernah bertatap muka dengannya. Sesekali wajah itu kutemui dalam mimpi. Dan terakhir semalam, meski tidak jelas apa yang diperbincangkan, tapi aku merasa sangat nyata bertemu dengannya. Bahkan semalam rasanya seperti kembali ke masa dulu, dengan beberapa orang teman dengan candaannya seolah mendukung kami yang mereka tahu saling memiliki perasaan satu sama lain.
**********
Meski berat menyadarinya, Aku tahu itu hanya mimpi, yang mungkin tidak akan terjadi sedetik pun di dunia nyata. Dan sungguh jika rasa ini baik untukku, biarkan itu tetap ada. Namun, jika ini akan membuat orang-orang yang menyayangiku kecewa, maka tutup hati ini untuknya, Tuhan. Hanya pada-Mu lah dapat kucurahkan isi hatiku, karena Engkau lah yang Maha Pemberi Rasa. Terima kasih Engkau telah mempertemukanku dengannya. Kutitipkan kembali rasa ini pada-Mu, karena Engkau yang akan memutuskan apakah Aku dapat bertemu lagi atau tidak, dengan dirinya.
read more »

Jumat, 09 November 2012

Ketika "Dia" Tidak Memandang Usia

 Innaalillahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Sesungguhnya kita semua adalah milik-Nya, dan kepada-Nya lah kita semua akan kembali. Bicara mengenai kehidupan, tentu tidak lepas dari kata kematian. Lebih tepatnya adalah suatu proses dimana kita akan meninggalkan dunia, dan memasuki alam yang lebih kekal, memasuki alam kubur, dan suatu saat akan dibangkitkan kembali menuju akhirat dengan tujuan antara surga atau neraka.

Bicara mengenai usia, kadang kita lupa dan menganggap bahwa ajal hanya menjemput mereka yang telah berusia lanjut atau sekedar mencapai usia dewasa. Namun, pada kenyataannya, dan memang telah ditetapkan oleh Sang Maha Penentu Ajal, bahwa ajal adalah salah satu misteri yang tidak dapat diprediksi oleh manusia. Teringat belasan tahun lalu saat almarhumah adik sepupuku meninggalkan kami, beberapa waktu menjelang masuk Taman Kanak-kanak (TK). Dek, kamu pasti sudah bahagia ya disana, dan telah menyediakan tempat khusus di surga untuk kedua orang tuamu kelak.

Kemudian beberapa hari ini dikejutkan oleh kecelakaan maut, yang menewaskan dua orang mahasiswi semester 3 FK UNDIP. Kemudian Rabu kemarin dikejutkan lagi dengan kabar duka, bahwa teman adikku, yang juga merupakan adik almamaterku meninggal dunia di usia yang juga masih begitu muda, baru merasakan beberapa bulan menjadi mahasiswa. Ketiganya baru berusia 18 - 19 tahun, namun Allah lebih menyayangi mereka dengan memanggilnya lebih dulu daripada orang-orang di sekelilingnya. Semoga ketiganya mendapat tempat terindah di sisi-Nya, serta keluarga dan teman-teman yang ditinggalkan diberikan ketabahan untuk tetap melanjutkan kehidupan. Aamiin.

Satu persamaan di antara ketiganya, yaitu sama-sama seorang blogger, yang menulis hal-hal positif serta menginspirasi pembacanya untuk melakukan hal positif juga. Tentu mereka juga memiliki impian dan target jangka panjang yang ingin dicapai dalam hidup. Namun, Allah tetap memiliki hak mutlak untuk berkehendak, dan membuat impian itu harus terhenti. Namun, bukan benar-benar terhenti, tapi hanya pelakunya saja yang berbeda. Jika saudara, kerabat, kawan, atau sahabat kita kembali pada Allah lebih dahulu, maka kita sebagai manusia yang masih diberi kesempatan lebih lama untuk hidup lah yang meneruskan impian mereka. Meski impian tidak sama, namun semangatnya mesti tetap kita hidupkan dalam diri kita. Jadikan mereka sebagai pengingat, dan tetap ikhlaskan kepergiannya. Meski ketiganya tidak kukenal secara personal, tapi impian dan harapan yang mereka torehkan dalam blog pribadi masing-masing, membuatku termotivasi untuk meneruskan semangat mereka dalam bidang tulis menulis. Terima kasih telah menyadarkanku akan semangat hidup meski usiaku tak lagi muda belia. Hanya untaian doa yang dapat kukirimkan, Allahummagfirlahum wa'afihim wa'fuanhum. Aamiin.
read more »