Sedikit-sedikit bertanya apa, siapa, kenapa, kok bisa? Dan orang dewasa di sekitarnya akan memutar otak dengan keras supaya bisa menjelaskan dengan tepat (Sesuai usia anak) dan memuaskan rasa ingin tahunya. Begitulah kira-kira gambaran kondisi anak-anak (dimulai saat bisa bicara) zaman sekarang yang cenderung lebih kritis dan terbuka dalam menyampaikan pendapat. Jika ada yang bertanya mungkinkah ada anak-anak yang memiliki level rasa penasaran sangat rendah? Maka penulis akan mengakui menjadi salah satu anak tersebut di masa lalu.
Kisah aneh ini tentang penasaran seorang anak yang dipendam dalam waktu lama, dan mendapatkan jawaban dengan sendirinya setelah bertahun-tahun kemudian. Jadi begini, sejak mulai bisa membaca wajar kan kalau seorang anak paling tertarik dengan deretan huruf yang membentuk sepatah dua patah kata pendek? Salah satu benda yang sering kulihat di rumah adalah koleksi kaset milik orang tua. Jangan heran selain lagu anak-anak (zaman dulu masih banyak lagu anak-anak yang sedang hits), beberapa lagu orang dewasa yang dinyanyikan oleh Ebiet G. Ade dan Nike Ardilla cukup akrab di telingaku saat itu. Nah, kebiasaan Ayah adalah menuliskan kaset koleksinya dengan tulisan Abu Nila. Masih belum menemukan keanehan? Mari kita lanjutkan cerita ini di paragraf berikutnya.
Jadi sejak SD itu dalam hati sedikit bingung kenapa di kaset yang bukan milikku malah tertulis namaku. Lagi-lagi karena si anak itu memiliki level rasa penasaran yang rendah, jadilah ia mengambil kesimpulan sendiri. Apa kesimpulannya? Tulisan Abu Nila itu merujuk pada penggabungan nama Ayah dan namaku. Maksudnya? Memang itu merupakan salah satu kata dari nama Ayahku. Padahal saudara-saudara ternyata kesimpulan bertahun-tahunku itu benar-benar salah alias sotoy banget.
Kira-kira enam tahun kemudian sekolah di pesantren, yang pelajaran utama dan paling awal diajarkan adalah bahasa Arab. Ternyata kata Abu itu berasal dari bahasa Arab, yang artinya bapak, ayah, papa, papi, atau sebutan lainnya untuk pasangan kata ibu. Oh, itu to maksudnya jadi kata Abu Nila di kaset koleksi Ayah dulu itu maksudnya milik bapaknya Nila. Kenapa hanya namaku yang dipakai bukan nama kedua adikku? Mungkin saat membelinya dulu memang baru diriku yang lahir ke dunia ini. Jawaban yang baru kudapatkan setelah bertahun-tahun ini, juga diperkuat dengan kebiasaan para ustad (sebutan guru di pesantren) yang baru memiliki anak dan mendapat panggilan Abu...... (Nama anaknya) dari beberapa rekan ustad lainnya. Sampai saat ini pun cerita ini tidak pernah kubagi dengan siapa pun ^_*.
Kisah lainnya yang juga tak kalah memalukan adalah ketika diri ini sejak SD menganggap bahwa setiap orang yang menikah maka sudah pasti tidak lama kemudian perutnya membesar dan segera memiliki adik bayi. Namun, keganjilannya adalah ketika diri berpikir itu semua terjadi tanpa adanya proses apapun dan tidak pernah sekalipun bertanya mengenai sebab musababnya ada adik bayi lahir (Anak-anak sekarang mungkin sudah bertanya tentang dari mana datangnya adik bayi, yang membuat orang tuanya mungkin kebingungan menjelaskannya). Hal tersebut masih tetap kuyakini sampai SMP (Seiring kemajuan zaman anak SMP saat ini mungkin sudah mendapatkan edukasi seks yang dulu dianggap sebagai hal tabu). Apalagi zaman dulu belum banyak kejadian pernikahan dini akibat kecelakaan, dan juga mayoritas kerabat yang baru menikah memang langsung memiliki anak, jadi menurutku secara otomatis Allah akan memberikan adik bayi hanya kepada orang yang sudah menikah.
Kenyataan menunjukkanku bahwa anggapanku tidak sepenuhnya benar. Ketika mulai melihat fenomena di masyarakat, ternyata ada orang yang bertahun-tahun menikah tidak punya anak, dan ada pula yang belum menikah (masih sangat muda) tapi perutnya bisa membesar dan kemudian punya bayi. Selain itu juga diperkuat dengan pelajaran Biologi yang menunjukkan perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Maka di penghujung SMP (khususnya setelah akil baligh) baru menyadari ternyata memang ada "sesuatu" baik berupa proses atau apa pun itu namanya (yang meski saat itu belum mengerti jelas) yang membuat adanya janin bisa tumbuh di rahim dan kemudian lahir menjadi seorang manusia baru bernama bayi.
Itulah kira-kira gambaran anak-anak masa lalu yang mungkin berbeda jauh dari kondisi saat ini. Misalnya sekarang anak TK pun nyaris sudah bisa dengan lugasnya menyatakan siapa artis idolanya, siapa teman yang disukainya (beberapa terang-terangan menyebut itu pacar), bahkan bisa menjadi komentator untuk orang yang umurnya lebih tua. Jika belum mempunyai anak, mungkin saudara sepupu atau keponakan kita lah yang memiliki tingkah unik seperti itu, yang menjadi hiburan tersendiri bagi kita sekaligus juga kadang sampai kehabisan kata-kata untuk menanggapi celetukan mereka.
Misalnya beberapa waktu lalu, saat di rumah ada seorang sepupu yang baru berusia sekitar 4,5 tahun dan kami saat itu menonton acara TV. Tahu kan salah satu boyband yang anggotanya terdiri dari 4 ABG cowok yang saat ini menjadi idola hampir semua anak-anak perempuan terutama yang masih SD. Ya, Coboy Junior. Dengan wajah sumringah si sepupu ini pun berkata, "Eh, ada itu... (diam sebentar karena agak lupa siapa nama salah satu personilnya), siapa itu yang ganteng tu namanya?" Glek, jelas kaget campur pengen ketawa mendengar balita bisa ngomong begitu. Kulihat TV dan asal saja menyebut nama Iqbal (berdasarkan fans-nya yang sepertinya lebih banyak yang mengidolakan cowok imut yang satu itu). "Iya, bener Iqbal." Sepupu kecilku pun membenarkan jawabanku. Bahkan menyebutnya sebagai pacar, hehe kalau ini baru kupahami maksudnya beberapa hari ini setelah terkahir kali dia main ke rumah. Ternyata yang dimaksud oleh balita ini, sebagai pacar adalah seseorang yang dianggap idola, disukai atau disenangi untuk menjadi teman/sahabat. Karena menyusul pernyataannya, kalau dia punya 3 pacar, yaitu: Iqbal Coboy Junior dan Sherina (maksudnya idolanya), dan nama salah satu teman di TK (teman perempuan) alasannya karena suka bermain bersama.
Di kesempatan lainnya sepupuku ini malah bisa mengomentari bahwa Aku lebih cantik jika tidak menggunakan kacamata. Aduh, seumur-umur saja diri ini tidak pernah memikirkan hal itu, wajar saja memakai kaca mata sejak kelas 1 SMP, dan saat itu belum puber dan mikirin penampilan, jadi sampai saat ini merasa kalau tidak pakai kaca mata justru tidak menjadi diri sendiri. Si kecil pun menyarankanku untuk memakai lensa kontak, yang menurutnya seperti saudara sepupunya yang lain. Wah, kepikiran beli lensa kontak saja enggak, apalagi memakainya di mataku. Daripada tidak bisa merawatnya lebih baik pakai kaca mata saja. Begitu pula jika melihatku memakai pakaian yang baru dia lihat, pasti dikomentari paling tidak kalau yang bagus pasti akan dipujinya.
Kekritisan dan keterbukaan yang dimiliki anak-anak zaman sekarang inilah, yang sebenarnya baik untuk masa depan mereka. Mungkin kelak 10 atau 20 tahun lagi kita tidak akan lagi mendengar kisah orang yang menjalani kehidupannya dengan keterpaksaan, mengalami kisah cinta terpendam yang bertahun-tahun tak terungkap dan hanya menyisakan sebuah penyesalan, dan tidak ada lagi orang-orang yang dianggap penjilat karena tidak berani mengungkap kebenaran meski itu pahit. Jadi kalau kelak ada yang bingung dengan berbagai perkataan atau tingkah laku anak-anak yang kritis namun membuat pusing, jangan dianggap negatif. Sejatinya mereka sedang belajar untuk meraih kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.