Daisypath - Personal pictureDaisypath Anniversary tickers

Rabu, 29 Mei 2013

Apa Kata Orang? PREEETTTTTTT...

Hidup itu untuk apa dan siapa? Mengapa mereka memusingkan kata orang, mengkhawatirkan pandangan orang, dan malu jika saja jalan hidup anggota keluarganya berbeda dari orang lain?

Apakah hidup itu untuk terlihat 'wow' di mata sesama manusia? Apakah manusia yang dikatakan berkecukupan secara materi, harus selalu sekolah tinggi dan memiliki deretan gelar sebagai penambah panjang nama lengkapnya?

Padahal jelas-jelas mereka tahu bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Aku pernah mendiskusikan hal ini dengan seseorang. Ya, tentang berbagai jenis kecerdasan yang dimiliki setiap orang. Kami sepakat bahwa kita tidak bisa memaksa seseorang yang lebih minat dan bakat dalam olahraga, untuk mendapat nilai akademis sehebat si jenius berhitung atau menghafal.

Tapi, kini kurasa itu semua tidak berarti. Saat orang-orang selalu menitikberatkan kesuksesan pada gelar akademis, dan status pekerjaan di sebuah lembaga atau kantor milik orang lain. Ya, harus keluar rumah dari pagi hingga petang menjelang. Seolah bekerja sebagai pegawai kantoran itu adalah hal terhebat dalam hidup. Kata 'bekerja' dan memiliki penghasilan, selalu diidentikkan dengan gaji, ya digaji oleh orang lain setiap bulan dengan jumlah tetap.

Padahal masih banyak hal yang bisa membuat seseorang bermanfaat. Tidak hanya sekedar menjadi pekerja yang masuk kantor pagi dan pulang di sore hari, lalu mendapat gaji di akhir bulan. Menulis (tanpa berangkat ke kantor) pun sebuah pekerjaan, walaupun belum semua orang menghargainya, dan kadang memandang sebelah mata.

Saat ada yang bertanya apa aktivitas seorang blogger pun, belum tentu semua blogger akan menyebutkan aktivitas nge-blog ini sebagai jawabannya. Termasuk saya, karena kadang diri kita tahu bahwa mereka yang bertanya, belum menerima status blogger sebagai salah satu profesi yang bermanfaat dan suatu saat dapat menghasilkan.

Lagi-lagi itu semua karena masalah 'apa kata orang?', 'nanti bagaimana kalau orang-orang tanya apa gelarmu?', 'kok enggak kerja di kantor?', 'menulis? kapan kaya-nya?', dan serentetan kalimat pertanyaan atau pernyataan yang seolah membuat kita harus sama seperti orang lain. Preeettttt..... Apa iya mereka yang usil bertanya atau menghakimi kita, selalu ada saat kita susah? Kebanyakan mereka hanya merapat saat kita sedang di atas, atau saat mereka merasa ada hal menguntungkan jika menjadi orang terdekat kita. Selebihnya, kadang cuma jadi manusia super kepo yang bangga kalau jadi penyebar berita ke orang lain, alias biang gosip.

Tidak bisakah mereka tidak menilai dari gelar akademis? Masih banyak profesi yang tidak selalu bergelar akademis tapi bisa bermanfaat, dan yang terpenting adalah seseorang tetap menjadi dirinya sendiri. Ya, ya, ya, sudah terlanjur memang dan sulit untuk diubah pandangan seperti itu. karena sejak SD sudah diarahkan bahwa yang terpenting adalah mata pelajaran terkait ilmu pasti. Sedangkan seni, olahraga, dan keterampilan lainnya, terkesan dinomorduakan. 

Padahal jelas-jelas orang-orang pintar yang duduk di pemerintahan itu, yang katanya sekolah sampai mendapat gelar master, doktor atau profesor, tahu kalau ada sekitar 7 jenis kecerdasan yang dimiliki seorang anak. Mengapa tidak menyusun kurikulum yang dapat menonjolkan potensi anak di bidangnya masing-masing. Tanpa memaksakan mereka harus bisa ilmu pasti, walau sebenarnya mereka berpotensi menjadi musisi terhebat sepanjang sejarah, tidak harus membuat anak stres dengan rumus fisika jika sebenarnya dia berbakat menjadi ahli memasak termuda di dunia, tidak harus membuat anak bingung dengan susunan kalimat yang terdiri dari subjek, prediket, dan objek, padahal dia adalah calon pemain sepak bola handal dari Indonesia.

Jangan heran jika masih ada yang kebingungan saat menentukan jurusan apa yang sesuai, saat masuk perguruan tinggi. Karena sejak dini mereka belum diperkenankan untuk menemukan apa bakat dan minat sebenarnya. Jangan heran jika banyak yang merasa bingung di usia dewasa, masih belum menemukan jati dirinya. Masih merasa hidupnya diatur, karena jenuh setiap kali mencoba mengemukakan pendapat atau melakukan hal yang disukai, terbentur dengan pendapat orang lain yang menjatuhkan. Menganggap apa yang dilakukannya itu adalah hal sia-sia, dan tidak memiliki masa depan. Hfffh.... Masa depan? Apakah masa depan harus memenuhi standar yang layak di mata mereka (sesama manusia loh)?

Padahal katanya hidupmu adalah kamu sendiri yang menentukan. Tapi sejatinya, selama kita masih memiliki kerabat dan keluarga, selama tidak hidup sebatang kara, maka harapan dan mimpi itu tidak benar-benar bisa bebas. Masih terbentur dengan kata 'asalkan...', 'tapi...', 'seharusnya...', dan kata lainnya yang menjadi pembatas antara area bebas dan tidak bebas.

Terlebih jika kita ada di posisi sebagai anak pertama atau anak tunggal. Beban itu pun semakin bertambah manakala mereka menyebutkan sepatutnya diri ini menjadi sempurna. Untuk contoh yang lebih muda lah, untuk peningkat harga diri keluarga di mata orang lain lah, atau hal terselubung sebagai bahan pamer? Memang itu semua adalah motivasi yang dapat menjadikan kita maju dan lebih baik. Tapi, adakalanya itu semua membuat muak dan jenuh, apalagi untuk mereka yang sudah terlalu lama menjadi pribadi perfeksionis demi mewujudkan harapan mereka. Demi tidak mengecewakan mereka. Dan bukan tidak mungkin sampai pada titik jenuh, sampai akhirnya bukan membanggakan malah mengecewakan.

Untuk masalah keramahtamahan, memang orang Indonesia bisa dibilang juara. Tapi ramah kadang jadi masalah saat berkembang menjadi sikap kepo dan menghakimi mana yang patut dan tidak patut. Mana yang membanggakan dan tidak membanggakan.

Saat mereka menjadikan ukuran pandangan orang lain sebagai jalan hidup yang harus dijalani, apakah kita dapat benar-benar hidup sebagai manusia? Makhluk yang katanya memiliki derajat tertinggi di antara semua makhluk Tuhan. Padahal diri ini tak ubahnya seperti mayat hidup, saat jiwanya terasa sudah mati. Saat passion itu hanya ada dalam angan, dan saat tidak ada lagi yang mampu dilakukan selain berusaha menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Bukan menjadi apa yang jiwa kita inginkan.

Kalau ada masalah dibicarakan dong! Mereka berkata seperti itu. Tapi masalahnya adalah, kita sudah tahu bahwa jika diungkapkan, maka mereka jelas akan menyalahkan kita. Masih terus membujuk supaya kita mengikuti harap mereka, dengan segudang petuah yang jelas-jelas tidak terbantahkan. Jadi, buat apa lagi dibicarakan? Mereka bilang itu yang terbaik, ikuti saja daripada ngotot tapi hanya menimbulkan pertengkaran.

Lelah, muak, dan jenuh hanya bisa dirasakan sendiri. Kadang selalu ingin memejamkan  mata dan tidak bertemu lagi dengan mentari. Tidak dapat membuka mata lagi untuk selamanya. Tapi Tuhan punya kehendak lain, ternyata lagi dan lagi hidup itu belum habis masa aktifnya. Dan aku tetap harus bangkit dan melakukannya, walau harus menjadi orang lain. Yang terpenting berusaha menyenangkan mereka sambil menantikan habisnya jatah hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar