Dear Diary... Tiba-tiba saja teringat dua kata tersebut. Dua kata yang mengingatkan akan kebiasaan seseorang menulis di buku harian. Dua kata yang mengingatkanku saat masih SD, ketika orang tua masih mengawali membangun usaha keluarga. Saat dimana Aku meminta sebuah buku tulis bergambar, dengan kertas warna-warninya (beberapa di antaranya memiliki aroma harum) seperti yang dimiliki teman-teman sekolahku. Namun tidak diizinkan karena harganya yang memang lebih mahal dibandingkan buku tulis biasa. "Kalau beli makanan boleh, tapi buku tulis kan masih bisa pakai yang ada di rumah," begitu kira-kira penolakan halus Mama saat kupinta sebuah buku tulis manis bergambar kartun.
Sekitar tahun 1998, salah satu tren di kalangan anak SD saat itu adalah buku tulis manis yang biasa disebut "Diary." Terutama di kalangan anak perempuan di sekolahku, mayoritas mereka memilikinya. Buku tulis khusus ini ada yang berukuran kecil, sedang, dan besar. Biasanya digunakan untuk mencatat aktivitas harian atau sekedar alamat dan nomor telepon rumah teman-teman. Namun, tidak sedikit juga yang menggunakannya untuk menuliskan curahan hati, kalau ini sifatnya rahasia. Makanya beberapa jenis "Diary" ada yang dilengkapi gembok dan kuncinya juga, berarti plus mahalnya.
Kembali ke masalah curhat di buku tulis (tetap buku tulis biasa yang digunakan untuk mencatat pelajaran), kebiasaan ini mulai berjalan konsisten saat Aku bersekolah di sebuah pondok pesantren. Waktu dan tempat yang mendukung untuk memulai kebiasaan ini. Terutama masa-masa awal "mondok", masa-masa masih cengeng kangen rumah tapi malu buat nangis di depan orang lain. Bagi santriwati (sebutan untuk murid perempuan di pesantren) baru, khususnya yang masih kelas 1 Mts (setingkat SMP), menangis hanya karena tidak betah atau rindu orang tua adalah hal yang sering dijumpai. Apalagi kalau masuk pesantrennya hasil paksaan orang tua, atau tidak dipaksa keras tapi orang tuanya enggak mau ngurusin daftar di sekolah non pesantren (Nila banget ini mah), ya sudahlah nurut aja.
Tapi dulu Aku merasa malu kalau harus berbagi cerita dan menangis di depan teman-teman, jadi kadang nangisnya diam-diam kalau orang-orang sudah terlelap, atau dikamar mandi. Maka lebih baik semua uneg-uneg yang terpendam, dituangkan dalam tulisan saja. Bahkan kalau sedang bosan atau mengantuk di kelas, pasti bagian belakang buku tulis kena sasaran coretan. Coretan bermakna atau lebih seringnya sekedar benang kusut atau rumput tak bergoyang :)
Sampai saat ini masih ada sekitar 5 buku tulis "khusus" yang menyimpan kisahku selama kurang lebih 6 tahun bersekolah di pesantren. Buku yang kalau dibaca lagi mengundang tawa geli, membuat mata berkaca-kaca, pipi merona, emosi sedikit naik, atau pun terbesit rasa sesal akan kisah yang ada di dalamnya. Tapi apa pun kisahnya, semuanya telah menjadi guru berharga dalam hidupku. Bahkan beberapa di antaranya telah mengispirasiku untuk menuliskan cerita, yang tentunya ditambah bumbu-bumbu khayalan supaya menjadi tidak biasa.
Tiba-tiba kerinduan itu muncul, rindu menuliskan sepatah dua patah kata menjelang tidur. Rindu kembali menuliskan mimpiku semalam, rindu menuliskan perasaan terpendam yang hanya Allah - lah Sang Maha Mengetahui. Suatu saat akan kumulai lagi membagi kisahku padamu, diary-ku. Suatu kisah, pengalaman, pesan, harapan, serta mungkin peninggalan berharga saat raga sudah ditinggalkan oleh jiwanya.
Kutipan yang sering Kudengar (entah siapa penutur pertamanya)
"Harimau mati meninggalkan belang."
"Gajah mati meninggalkan gading."
"Penulis mati meninggalkan karya (tulisan)."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar