Daisypath - Personal pictureDaisypath Anniversary tickers

Minggu, 05 Agustus 2012

MEI KELABU

21 Mei 2010. ”Jangan!” Refleks Aku berteriak saat Mbak Sari mengambil sekantong darah yang baru saja tiba dari PMI. ”Kenapa La? Saya buru-buru ada korban kecelakaan yang butuh darah dengan golongan O, tapi hanya ada satu ini.” ”Enggak apa-apa Mbak, Saya takut darah itu belum di-screening, takut darahnya membahayakan pasien.” ”Tenang aja La, darah itu sudah di-screening di PMI.” ”Maaf Mbak, Saya kira di-screening-nya di rumah sakit ini.” ”Enggak apa-apa La, kan sekarang Kamu jadi tahu. Saya tinggal dulu ya.”  
Kulanjutkan pekerjaanku mendata pasien yang mendapatkan transfusi darah di Rumah Sakit KELUARGA SEHAT. Ini hari pertamaku magang, jadi belum terbiasa. Aku juga masih sedikit trauma tentang penularan virus penyebab penyakit AIDS melalui transfusi darah. Ingatanku mundur ke masa empat tahun lalu.
SMU ANAK NEGERI. Kubaca papan besar di depan sebuah sekolah di Ciputat. ”Fit, masuk yuk. Kita cari kantor OSIS-nya.” Aku dan Fitri ingin menyerahkan karya tulis ilmiah kami dalam lomba yang diadakan oleh SMU ANAK NEGERI. ”La, kok sepi ya? Eh lihat deh kayaknya ane kenal orang itu.” Fitri menunjuk seseorang berseragam batik sekolah kami. Anak laki-laki itu pun menghampiri kami. ”Hai Fitri, mau ngapain? Eh, ada Lala juga, hai.” Ternyata dia Ardi, anak IPS-2. Setelah kubalas sapaannya, Fitri menjelaskan maksud kedatangan kami ke sini. ”Kebetulan, Ane juga mau ketemu sama anak ekskul pencak silat, bareng yuk.” Tinggal di pesantren yang mewajibkan bahasa Arab dan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi harian, membuat kami mengganti kosakata ”elu-gue” menjadi ”ane-ente.”
Setelah semua urusan kami selesai, kami pulang bersama-sama. ”Ardi, makasih ya udah bantuin Kita.” Aku pun turut mengangguk mengiyakan pernyataan Fitri. ”Sama-sama, Ane juga jadi ada temen ngobrol. La, dari tadi diem aja, sakit?” Setengah terkejut aku menanggapi pertanyaan Ardi, ”Enggak, tadi di bis agak sedikit mual.” Aku berbohong menutupi kegugupanku, Fitri menahan senyum. Fitri memang tahu bahwa diam-diam aku menyukai Ardi sejak kelas satu SMU ketika kami sama-sama ikut les bahasa Inggris selama satu semester.
Gimana kalau makan dulu sebelum pulang ke asrama? Mau enggak?” Sebenarnya sih lapar, tapi makan sama dia takut salting. Sebelum aku menolak, Fitri sudah mengiyakan ajakannya. ”Oke, lagian Ane udah lama enggak makan bakso. Sekarang baru jam dua siang, masih tiga jam lagi kan?” Seolah tahu keenggananku, Fitri membujukku dan aku pun setuju. Sekolah dan tinggal di pesantren membuat kami tidak semudah anak-anak SMU lain dalam bepergian. Kami berangkat jam sembilan pagi dan hanya diizinkan keluar sampai jam lima sore, itupun mendapat izin karena hari libur sekolah, yaitu hari Jum’at. ”Yuk jalan kaki aja, Ane tahu tempat makan bakso yang enak.” Ardi jalan di depanku dan Fitri, berperan sebagai penunjuk jalan.
Di perjalanan, aku menatap Fitri dengan mata melotot, alis terangkat dan bibir yang dimajukan beberapa senti sebagai tanda aku marah padanya. Fitri tertawa dan berbisik padaku supaya jangan grogi. Tawa Fitri membuat Ardi menghentikan langkah dan menengok ke belakang, ”Kenapa Fit’, ’La?” ”Enggak ada apa-apa, Di. Masih jauh nggak?” ”Oh, di samping warnet itu tempatnya.” Ardi menunjuk warnet di sebelah kiri kami.
Sambil menunggu bakso yang telah dipesan, kami pun melepas lelah dengan obrolan ringan. ”Di kelas IPA sepi  banget ya kalo lagi belajar?” Aku dan Fitri memang sekelas di IPA-1. ”Enggak juga kok, rame-rame aja apalagi anak ceweknya. Emang kenapa sih nanya gitu?”, Fitri menyangkal pernyataan Ardi. ”Enggak ada apa-apa, tapi kalo dilihat-lihat, anak-anak IPA tampangnya serius. Enggak asik diajak becanda.” ”Jangan anggap anak IPA kayak gitu dong ’Di. Tampang serius bukan berarti enggak enak diajak becanda. Buktinya kita tetep sering becanda, ya nggak ’La?” ”Bener banget tuh, makanya jangan lihat orang dari luarnya aja” Aku membenarkan ucapan Fitri. ”Iya,iya sorry kalau Ane salah. Baksonya dah di depan mata nih, ayo makan!”
Aku duduk di hadapan Ardi, sedangkan Fitri di sebelah kananku. Alhasil, selama makan aku hanya mampu menunduk tanpa berani menatap wajah Ardi. Selesai makan, saat Ardi mengeluarkan dompet, ada foto seorang gadis jatuh ke meja. Dengan cuek dia memperlihatkan foto itu padaku dan Fitri. ”Cantik kan?” Aku dan Fitri menggangguk dan menjawab bersamaan ”Cantik, siapa dia?” ”Ini pacar Ane, anak SMU Anak Negeri. Dia masih kelas satu.”
Aku hanya menanggapi dengan ”Oo..” singkat dan berusaha bersikap cuek. Fitri pun segera mengajukan pertanyaan ”Jadi, tadi Ente bukan ketemu sama temen tapi ketemu dia?” “Enggak, tadi beneran temen, Ane nganter undangan tanding persahabatan buat pencak silat. Ane ketemu cuma sebentar waktu doi pulang sekolah.” Ardi menjelaskan maksud kedatangannya ke SMU Anak Negeri.
Usai membayar bakso, arloji di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 14:50 WIB. Kami memutuskan shalat ashar terlebih dahulu di masjid dekat halte. Kami menunggu bis yang menuju sekolah kami di daerah Bogor. Bis yang kami tunggu memang sedikit jumlahnya jadi harus ekstra sabar. Sebenarnya bisa naik mobil umum yang banyak jumlahnya, tapi harus tiga kali ganti mobil dan berjalan agak jauh. Dari kejauhan tampak bis yang kami tunggu, kami segera menaiki bis itu saat bis berhenti perlahan. Bis memang selalu penuh saat sore hari, Alhamdulillah masih ada dua bangku kosong untukku dan Fitri walau kami tidak sebangku. Aku duduk dekat jendela dibangku pertama dari belakang dan Fitri di dekat jendela di bangku panjang belakang. Sedangkan Ardi dan beberapa orang pria lainnya berdiri di ruang kosong pemisah bangku-bangku.
Jalan raya belum begitu macet tapi butuh waktu sekitar dua jam untuk menuju sekolah kami. Di depan sebuah pasar, seorang ibu disampingku turun dan Ardi pun duduk menggantikan ibu itu. Jantungku berdegup semakin kencang dan rasa kantukku yang mulai muncul, tiba-tiba hilang saat dia bertanya ”Boleh duduk di sini?” ”Eh, boleh lah. Duduk aja Ente pasti cape berdiri.” Agak gugup saat mempersilahkan dia duduk disampingku.
Ardi memang tipe cowok yang agak cerewet. Satu hal yang baru kuketahui. Selama perjalanan, dia mengajakku bicara tentang berbagai hal. Mulai dari cita-cita sampai pendapat kami berdua dalam menghadapi berbagai persoalan. Aku tahu dia memang mudah bergaul dengan siapa saja, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk bisa beradaptasi dengan orang lain. Ditambah lagi faktor sekolah di dalam lingkungan pesantren sejak SMP membuatku terkesan sedikit kaku pada teman laki-laki.
Obrolanku dengan Ardi di bis lebih banyak tentang cita-cita. Ardi berkata bahwa dia ingin sekali menjadi seorang polisi dan apabila itu tidak tercapai dia akan memilih dunia bisnis. Sedangkan aku ingin menjadi seorang psikolog atau ahli gizi. Selebihnya obrolan kami hanya sekedar gurauan disela-sela pembicaraan tentang cita-cita. Tak terasa dua jam berlalu dan gerbang sekolah kami sudah tampak.
Di depan sekolah, Aku dan Fitri turun terlebih dahulu dari Ardi. Ardi sengaja turun sedikit jauh dari sekolah supaya satpam sekolah tak curiga pada kami. Aku pun meminta Fitri untuk merahasiakan pertemuan kami dengan Ardi. Ada beberapa teman perempuanku yang memang mengetahui perasaanku pada Ardi, tapi aku ingin hanya Fitri yang tahu karena dialah sahabatku sejak SMP di pesantren ini. Setelah kejadian itu hari-hariku kembali seperti biasa.
Sesekali aku berpapasan dengan Ardi di depan kelas. Dia tidak menyapaku, senyum saja tidak. Kupikir setelah perbincangan di bis itu dia dapat mengaggapku teman yang disapanya saat bertemu. Dia seperti pura-pura tidak mengenalku. Mana mungkin aku menyapanya duluan, aku tidak berani. Tidak seperti sikapnya pada teman-teman perempuan yang lain. Aneh, seperti bukan Ardi yang selama ini kutahu sifatnya yang  ramah pada semua orang.
Tapi kenapa aku mempermasalahkan hal itu? Aku bukan siapa-siapa baginya. Aku tidak boleh terlalu memikirkannya agar nilai-nilai akademisku tidak turun. Hari-hariku pun berjalan seperti biasanya. Lala yang selalu mengutamakan pelajaran meski tidak bisa dikategorikan pintar. Setelah itu juga Fitri tidak pernah menyinggung tentang Ardi padaku, segan barangkali.
Persiapan menjelang UN (Ujian Nasional) membuatku lupa akan sikap Ardi padaku beberapa waktu lalu. Pikiranku fokus pada ujian yang standarnya kelulusannya 4,50. Standar yang masih sulit dijangkau pelajar di indonesia. Aku pun tidak menyadari kira-kira dua minggu belakangan ini tidak tampak Ardi di sekolah. Aku memang tidak sekelas dengannya tapi biasanya dia selalu terlihat sedang memperhatikan adik-adik kelas bimbingannya berlatih silat sembari mengerjakan soal-soal latihan UN, di bawah pohon pinggir lapangan setiap Jum’at sore. Jum’at memang hari libur jadi digunakan untuk ekskul. Mungkin dia ingin fokus pada ujian dan meninggalkan aktivitas ekskul.
Tak terasa lusa adalah hari pertama UN. Ujian sekolah sebelumnya sudah dilaksanakan minggu lalu. Seluruh murid kelas tiga sore ini akan bersilaturrahim kepada para guru yang tinggal di lingkungan sekitar asrama. Kami akan meminta maaf atas segala kesalahan kami serta meminta didoakan agar ujian kami lancar dan lulus dengan hasil yang memuaskan. Selain pada guru kami juga meminta maaf kepada seluruh adik kelas dan mohon didoakan supaya sukses. Sebenarnya minta maaf bisa kapan saja namun dengan meminta maaf sebelum ujian, perasaan kami akan lebih tenang.
UN telah tiba. Setelah upacara selama 20 menit dan dibacakannya tata tertib ujian, siswa-siswi kelas tiga segera memasuki ruang ujian yang telah ditentukan . Sesaat sebelum masuk ruang ujian, aku melihat ambulan parkir di depan kantor Tata Usaha (TU). Mungkin untuk persiapan jika ada yang sakit saat ujian. Diawali dengan doa maka ujian pun dimulai.
Dua hari berikutnya ujian berlangsung lancar seperti kemarin. Ambulan yang kemarin kulihat lagi-lagi parkir di depan kantor TU. Namun syukurlah aku belum mendengar ada yang sakit. Ujian terakhir yaitu matematika untuk IPA dan ekonomi untuk IPS. Selesainya ujian diwarnai tangis haru murid perempuan. Kami berpelukan mengingat kami akan berpisah. Suasana seperti itu terhenti sesaat ketika Pak Rahmat, kepala sekolah kami mewakili segenap dewan guru menyampaikan nasehat dan doa untuk kami semua supaya menjadi orang yang sukses dan bisa mensukseskan bangsa juga agama. Selesai upacara ambulan yang biasa diparkir depan TU menuju gerbang keluar.
Ujian usai, tiga hari lagi akan diadakan perpisahan. Kami semua sibuk mempersiapkan acara itu. Jumlah murid kelas tiga yaitu 70 yang terdiri dari 44 siswa dan 26 siswi. Pada acara itu, orangtua ataupun wali murid kelas tiga akan diundang. Hasil UN memang belum diumumkan, namun dalam perpisahan ini, kami akan dinyatakan lulus atau tidaknya dari segi akhlak dan segala kegiatan yang kami ikuti sebagai sebagai syarat kelulusan dari pesantren.
Hari ini hari perpisahanku dengan teman-teman dan sahabat yang selama 3 tahun bahkan ada yang selama 6 tahun bersama. Saat perpisahan itu, aku melihat Ardi tampak dibangku barisan kedua. Dia seperti orang sakit. Badannya terlihat lebih kurus dan tampak berkeringat padahal ruangan ini ber-AC. Kalau tidak salah saat gladi resik kemarin dia tidak ada, aku tidak melihat saja barangkali. 
Acara perpisahan ini dimulai pukul 09.00 WIB. Rangkaian acara berlangsung dengan khidmat dan sesuai harapan. Hingga tiba penampilan kami menyanyikan lagu untuk para guru. Guru-guru kami tak kuasa menahan tangis saat Riza dan Mutia membacakan puisi sebagai ungkapan rasa terimakasih kami pada mereka. Setelah itu kami bersalaman dengan para guru dan wali murid yang dibanjiri dengan air mata. Terlebih saat berpelukan dengan teman-teman, saling mendoakan dan berharap dapat bertemu kembali. Acara selesai pukul 11.00 WIB
Saat menuju kamar untuk mengemasi barang, Veri menghentikan langkahku. ”La, ada titipan buat Ente.” Veri memberikan sepucuk surat kepadaku, sebelum sempat bertanya dari siapa surat itu, Veri menjelaskan bahwa dia buru-buru, ”Sorry La, ane udah ditunggu ortu. Pokoknya itu titipan buat Ente. Duluan ya, Assalamu’alaikum.” ”Wa’alaikum salam.” Saat ingin membuka surat tersebut, tiba-tiba terdengar suara Ibu. ”Lala, ayo pulang. Bapak sudah menunggu di mobil.” Perkataan Ibu mengurungkan niatku membuka surat itu. ”Iya Bu, sebentar ya Lala ambil barang-barang yang masih ada di kamar.”
Barang-barangku selama tinggal di asrama sudah kumasukkan semua ke bagasi kijang sewaan Bapak. Hari ini khusus menjemputku dan membawa barang-barangku ke rumah Bapak menyisihkan sebagian tabungannya untuk menyewa mobil. Supaya tidak repot katanya. Setelah pamit pada guru-guru juga teman-teman yang belum pulang, aku pun pulang ke rumah dengan rasa lelah setelah acara perpisahan dan mengemasi barang-barang. Di gerbang keluar, aku melihat ambulan yang kulihat tempo hari baru tiba dan segera menuju asrama putra.
Sesampainya di rumah segera kubereskan buku-buku dan pakaianku setelah shalat dzuhur dan makan siang. Karena barang-barangku yang banyak, tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.50 WIB saat aku selesai  membereskan semuanya. Dengan terburu-buru aku mandi lalu shalat ashar. Karena aku kurang istirahat, maka setelah shalat isya nanti Ibu memerintahkanku untuk segera tidur.
Menjelang tidur, aku teringat pada surat yang diberikan oleh Veri tadi siang. Kuambil surat itu dari tas ransel di atas meja belajar. Kubuka amplop surat itu dan kubaca perlahan tulisan yang sekilas terlihat agak berantakan. Tertulis tanggal di sudut kanan atas kertas adalah kemarin. Satu hari sebelum acara perpisahan.

20 Mei 2006
Untuk Nur Fadilla (Lala).....                                                      
Assalamu’alikum La, apa kabar ?
Mungkin waktu baca surat ini Lala udah ada di rumah. Mudah-mudahan cita-citamu jadi psikolog atau ahli gizi bisa tercapai dan selalu sukses didunia juga di akhirat nanti. Yang penting, moga lulus UN dulu, betul nggak ?.Maaf kalau selama ini nggak pernah negur Lala tiap ketemu. Itu sejak ane divonis menderita AIDS dua hari setelah kita ketemu di SMU Anak Negeri. Ane takut, biasanya orang akan ngejauhin penderita penyakit ini. Anak-anak cowok di kelas tahunya ane sakit demam berdarah. Lihat ambulan waktu lagi UN? Itu kendaraan yang dipake buat antar jemput dari rumah sakit ke sekolah buat ujian. Satu-satunya temen yang tahu keadaan yang sebenarnya cuma Veri. Makanya surat ini dititipkan  ke Veri.
Alasan lain enggak pernah nyapa karena sebenarnya ane suka sama ente sejak kelas satu SMA (waktu les bahasa inggris). Ane suka ente karena semangat ngejalanin aktivitas apapun. Sikap seorang Lala yang terkesan tertutup membuat ane nggak berani bilang langsung apalagi dalam keadaan yang seperti ini. Foto cewek yang ane tunjukkin sama Lala dan Fitri itu sebenernya cuma adik tiriku. Maaf bohong, waktu itu cuma mau tahu reaksi Lala kalau ane bilang dia pacar ane. Ternyata waktu itu sepertinya Lala cuek-cuek aja, berarti enggak ada sesuatu yang spesial dari seorang Ardi di mata Lala, betul enggak?
Awalnya bingung juga kenapa bisa kena AIDS. Setelah riwayat kesehataan diperiksa, dokter bilang kemungkinan karena transfusi darah yang mengandung virus HIV. Ane kena lemparan besi saat ada tawuran di jalan raya dekat rumah waktu masih SD. Luka di kepala  yang cukup dalam jadi penyebab kehilangan banyak darah, sedangkan persediaan darah yang terbatas dan keadaan darurat membuat akhirnya seperti ini.
Maaf kalau susah baca tulisan ini, tangan ane udah mulai kehilangan kemampuan bergerak. Besok malam atau malam saat Lala baca surat ini, ane memutuskan untuk disuntik mati karena udah nggak ada yang membiayai pengobatan yang mungkin akan sia-sia. Maaf atas pernyataan yang mungkin menyakitimu.
Salam maaf untukmu dan untuk semua teman-teman
Muhammad Ardianza

Pandanganku kabur dan air mengalir dari kedua mataku. Handphoneku berbunyi tanda sebuah pesan masuk, dari Fitri. ”Aslkum. Innalillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Tmn Qta M. Ardianza meninggal dunia pkl 18.30 WIB di RS PMI sesaat sblm disuntik mati.” Aku tidak dapat membendung air mataku namun aku lega setidaknya dia memang pergi karena sudah waktunya, bukan karena disuntik mati. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu.

 
Sumber video: http://www.youtube.com/watch?v=hh4KKDbBT2s


Karya : Nila Amalia Husna
Dibuat tahun 2008 dan dikirim ke sebuah media tapi masih sangat jauh dari kriteria layak untuk dimuat. Kemudian diedit kembali 02 Juli 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar