Perempuan, sulung, dan sudah berkepala dua (hiii serem), maksudnya berusia 20 tahun lebih apalagi nyaris 1/4 abad. Glek, serasa ada hujan es menimpa disusul dengan sebilah pedang besi menancap di jantung. Tatkala Sang Bunda menyampaikan kekhawatirannya, dengan sebuah pengharapan besar supaya Sang anak tidak menyesal di kemudian hari jika menikah di usia yang telat. Seperti halnya orang tua manapun di dunia yang mengharapkan kebahagiaan untuk anak-anaknya, setiap anak pun punya harapan ingin selalu membahagiakan orang tuanya. Apalagi dengan kenyataan bahwa sebesar apa pun kasih sayang atau sebanyak apa pun materi yang mampu diberikan anak pada orang tua, tak akan mampu membalas semua yang telah dikorbankan orang tua pada anaknya.
Namun, kadang kenyataan tidak sejalan sesuai harapan. Terkadang tidak semua yang orang tua harapkan akan sejalan dengan kenyataan atau pun sekedar harapan anak. Terutama salah satu hal yang kerap menjadi konflik, atau hanya sekedar uneg-uneg hati terpendam kalau ada yang menyinggung tentang jodoh. Huft, mungkin acara keluarga, nikahan, atau hari raya adalah moment dimana manusia-manusia dewasa muda mulai diteror oleh sebuah pertanyaan atau segerombolan pertanyaan (antara benar-benar bertanya atau sengaja menyindir meski sudah tahu kenyataannya), "Mana pacarnya?", "Mana calonnya?", "Kapan nikah?". Meski berusaha bisa menjawab dengan tersenyum, "Segera, doain aja ya, atau mau nyariin?". Gubrak. Asli deh meski kebanyakan mereka yang ditodong pertanyaan itu memasang wajah ramah (atau terpaksa ramah karena yang nanya lebih sepuh?), di lubuk hati terdalam pasti ada setitik rasa BT. Sambil berharap bisa secepat mungkin menghilang dari kerumunan itu, apalagi kalau di antara anggota keluarganya yang berani nikah muda, berusia di bawah orang yang ditanyain.
Emang sih katanya menikah itu ibadah, menjauhkan maksiat, dan terutama kata orang tua dulu, semakin muda usia perempuan saat menikah, maka ada lebih banyak keuntungan daripada menikah di atas 25 tahun. Tapi, bukankah semua itu ada yang mengatur, Tuhan. Memang manusia disuruh usaha, tapi usaha buat mereka yang juga sudah benar-benar siap secara mental khususnya untuk masa depan. Lah, kenyataan yang ada meski di zaman modern pun, orang tua semakin risau saat anak terutama perempuan berusia 20 tahunan masih cuek bebek dan belum mau memikirkan tentang pernikahan, dan mulailah nyomblang-nyomblangin alias menjodoh-jodohkan anaknya dengan kerabat dari kerabat temannya. Atau dengan teman dari teman dari kerabatnya (halah,, ngelantur).
Fenomena ini mengingatkan akan kisah Siti Nurbaya, yang diharuskan mau menerima perjodohan dengan pria tua namun berharta benda melimpah, dengan harapan orang tuanya yaitu anaknya bahagia karena memilih juragan kaya daripada pemuda sederhana yang sebetulnya telah berhasil mendapatkan hati seorang Siti Nurbaya. Tentu saja sekarang ini perjodohan tidak hanya berdasarkan alasan materi seperti kasus Siti Nurbaya, namun lebih dari itu. Karena agama, ilmu, latar belakang pendidikan, dan segala hal yang memang tidak berkutat di status sosial atau harta duniawi saja. Meski banyak yang tanpa perlawanan menerima perjodohan macam ini, ada pula yang berkeras ingin mencari sendiri terlebih dahulu. Atau ada sebagian lainnya yang tidak melawan namun dalam hati tetap berharap tidak jadi dengan seseorang yang dipilihkan orang tuanya, hanya demi satu alasan. Berusaha tidak mengecewakan orang tua, meski hati belum bisa menerima perjodohan.
Banyak mereka yang bahagia karena dijodohkan (kata orang-orang), tapi bukan tidak mungkin banyak juga yang hanya berpura-pura bahagia demi melihat orang tuanya bahagia. Melihat bagaimana orang tuanya bergitu antusias pada si cowok yang sama sekali belum dikenalnya, tentu tidak akan membuat sang anak tega secara tegas menolak hal itu. Apalagi jika kenyataannya sang anak memang tidak memiliki hubungan terikat dengan laki-laki yang biasanya disebut pacar, kekasih, atau apa lah itu namanya. Namun, ketika hati sudah terikat pada satu nama, meski hanya cinta diam-diam pada orang yang jauh dari harapan orangtua, seketika itu pula sulit berkata jujur. Dilema antara galau berkepanjangan atau harus membuat orang tua sedih karena sang anak yang hanya bisa memendam rasa selama bertahun-tahun.
Haruskah seseorang menikah? O iya katanya itu ibadah. Tapi kenapa banyak mereka yang mengkhianati sebuah janji yang mereka buat sendiri? Ada yang selingkuh, poligami tanpa sepengetahuan istri pertama, atau bahkan dengan mudahnya bercerai hanya karena alasan sudah tidak ada kecocokan lagi? (alasan simpel para artis kalau kabar perceraiannya muncul di infotainment) Mungkin begitulah daur hidup manusia. Menjadi janin di rahim, melewati masa bayi, anak-anak, remaja, menyelesaikan pendidikan, seolah stigma orang-orang yang benar-benar bekerja ya harus masuk 5 hari seminggu dari jam 8 sampai jam 5 sore, kemudian menikah, punya anak melanjutkan pewaris gen keluarga, lalu membesarkan anak dan kemudian baru tenanglah untuk meninggalkan dunia.
Padahal umur, ajal, itu misteri Tuhan. Maka, tidak harus ketika orang-orang seusia diri kita sudah pada punya anak, lantas diri ini menjadi minder karena belum bertemu soulmate. Ketika orang-orang seusia diri kita sudah punya mobil dan rumah pribadi, janganlah kita selalu memandang diri rendah dan mereka yang tinggi, paling sukses dan bahagia. Kita dapat melakukan hal-hal lain yang tidak bisa mereka lakukan. Karena sukses dan bahagia tidak diukur dari pandangan masyarakat. Kita yang tahu diri sendiri apa yang diinginkan, dicapai dan dikerjakan untuk mengisi hari-hari berkurangnya masa hidup. Passion, sebuah kata yang sering terdengar namun masih jarang menemukan mereka yang benar-benar hidup dengan passion-nya.
Karena hidup hanya sekali, maka hiduplah yang berarti. Bagi diri sendiri dan mencoba berarti bagi mereka yang menyayangi kita. Mencoba jujur meski harus menyisakan sedikit luka, memang berat. But, keep trying to tell the truth of our heart. I'll try, you'll try, and we'll try to do the best.