Daisypath - Personal pictureDaisypath Anniversary tickers

Senin, 03 Desember 2012

Opini Pada Kisah Bupati dan Santriwati

Beberapa waktu ini ada salah satu berita yang cukup sering ditayangkan oleh berbagai liputan program "news" dan "infotainment". Sebenarnya bukan hak dan tidak perlu Saya ikut-ikutan mikirin masalah orang lain, masalah sendiri saja sudah cukup menguras pikiran dan berat badan (loh, sempet-sempetnya curcol??). Ini gara-gara tanpa sengaja menonton acara talkshow di TVON*, padahal biasanya malas juga nonton orang-orang berdebat di acara tersebut. Namun, kali ini ada yang menarik terutama karena permasalahan yang diangkat terkait wanita (khususnya yang katanya telah didzalimi atas nama pernikahan). Tambah unik bin ajaib lagi, karena tokoh utama yang diundang adalah seorang bupati yang katanya sedang memiliki permasalahan rumit akibat pernikahan siri yang hanya berlangsung selama kurang dari seminggu.

Nekat. Itulah kata yang menurut Saya tepat untuk beliau karena berani membawa diri ke acara televisi, dan duduk bersama para pakar yang jelas-jelas tidak akan membenarkan/membela perbuatan sang Bupati (bahasa kasarnya sih disidang kali ya??). Kebetulan dua orang pakar yang dihadirkan yaitu seorang bapak profesor yang dulu pernah menjadi rektor UIN jakarta, dan seorang psikolog wanita yang biasa diundang di TV ketika membicarakan masalah terkait wanita dan pernikahan. Biasanya Saya malas menonton suatu acara jika menonton di pertengahan acara, namun ekspresi gemes para "penyidang" inilah yang membuat Saya tidak mengganti channel TV.

Ketika bapak Profesor sedang menerangkan bahwa apa yang dilakukan bupati itu, tidak sesuai dengan hukum agama dan hukum negara, bupati itu masih saja berkelit mencoba membela diri. Dengan ekspresi Sang Psikolog yang mendengarkan dengan mimik wajah gemas atau kesal (setidaknya menurut Saya karena beberapa kali sempat melihat beliau diundang untuk kasus berbeda pun masih tampak ekspresi ramahnya). Ketika bergantian psikolog ditanya oleh pembawa acara pun, dia kembali menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang mungkin ganjil dalam permasalah bupati ini. Kembali lagi bupati itu berusaha membela diri, lagi dan lagi saat ada beberapa penelepon yang berkomentar. Tetap berusaha membela diri, dengan argumen yang menurut Saya berbelit-belit dan diulang-ulang sama seperti dari awal acara.

Memang siapapun pasti tersudut saat ada di posisi bupati itu. Sudah jelas ada hal yang salah (setidaknya di mata banyak pihak), tapi dengan kenekatan tingkat tinggi berani hadir TV. Kalau memang tidak merasa bersalah, cukuplah urus masalah tersebut di belakang layar terlebih dahulu, atau minimal hanya berkomentar di acara yang off air dan sekedar wawancara singkat. Sudah tahu bahwa media di negara ini masih menjunjung tinggi masalah rating, maka tidakkah dia memikirkan hadir tidaknya dia di TV tidak berpengaruh banyak pada penyelesaian masalahnya, malah yang ada bisa semakin terpojok dan terlihat makin bersalah. Ini Saya amati ketika sepertinya kameramen sengaja menyorot mimik wajah dan bahasa tubuh bupati itu. Dengan jari-jari tangan yang terlihat gelisah, mata lebih sering mengarah ke bawah atau tidak ke arah dua pembicara lain saat menanggapi kasusnya itu.

Satu hal aneh menurut Saya adalah ketika dia merasa kecewa pada seorang gadis muda yang direkomendasikan oleh salah satu Kyai. Dan ternyata memang baru 2 hari kenal/bertemu si gadis, dan kemudian mengakui kalau itu modal kepercayaan pada Kyai, dan menerima langsung untuk menikahi gadis yang belum genap 20 tahun itu. Lantas, setelah ada hal yang dirasa tidak sesuai prinsipnya dengan mudah dicerai, karena merasa tidak sesuai yang diharapkan. Aduh, kesel juga Saya mendengar jawaban ini. Bukannya dia orang yang sudah pernah menikah? Mestinya tahu dong, kalau mau mengenal calon istri/suami itu tetap harus ada pengenalan antar kedua belah pihak terkait apa pun itu (sama seperti yang dibilang Ibu Psikolog di acara tersebut). Lagian juga menurut Saya , dia tidak bisa begitu secara tidak langsung menyalahkan Kyai, kan memang benar gadis itu santriwati (sepengetahuan kyai comblangnya). Mengenai hal-hal pribadi lainnya, terutama masalah prinsip hidup, ya semestinya saat ta'aruf ya ditanya langsung lah sama si calon. Bukan serta merta mempercayakan pada orang lain, emangnya beli kucing dalam karung apa?

Maaf, kalau opini Saya di atas membuat ada pihak yang tersinggung. Cuma setahu Saya, memang benar pada kenyataannya ada para Kyai yang dipercaya sebagai "comblang" karena ilmu agamanya tidak diragukan lagi. Namun, proses seperti itu pun tetap melibatkan kedua calon pasangan untuk berusaha mengenal terlebih dahulu sebelum memutuskan berlanjut ke tahap khitbah atau tidak. Istilahnya ta'aruf, dan setahu Saya ada beberapa Kyai yang mempertemukan kedua belah pihak dalam satu waktu, serta bisa mengajukan pertanyaan langsung untuk saling mengenal. Tentunya di hadapan Kyai/Bu Nyai/orang tua/kerabat yang masih muhrimnya supaya tidak berdua saja. Kalau tidak salah juga malah boleh untuk melihat aurat wanita sang calon (misal rambut kepala), dengan istilahnya nazhar, yaitu untuk melihat apakah yakin sesuai keinginan atau tidak.

Ada pula yang lebih ketat, yaitu segala pertanyaan untuk saling mengenal bisa ditulis dan diberikan pada kyai yang bersangkutan, kemudian semacam surat itu akan jawab tanpa adanya pertemuan kedua belah pihak. Lah, kalau kasus ini katanya sempat bertemu, harusnya dia juga aktif bertanya jadi kalau ada yang tidak sesuai, ya langsung saja dihentikan. Malah di zaman moderen kayak sekarang pun, tanpa tatap muka atau telepon pun, bisa menjalani ta'aruf lewat sms, facebook, twitter, chatting, dll. Semakin canggih dan semakin mudah dibandingkan zaman dulu kan? Jadi jangan salahkan orang lain kalau memang ternyata proses mengenalnya cuma berdasarkan kepercayaan sama Sang Comblang.

Upss, berasa pengalaman banget dah berani nulis begini. Belum berpengalaman kok, nikah aja belum. Cuma sedikit banyak tahu fenomena ini karena kebetulan orang tua masih memiliki hubungan silaturrahim dengan para gurunya yang disebut Kyai dan Bu Nyai. Jadi sedikit-sedikit tahu mengenai info ini. Selain itu Saya punya beberapa kawan yang aktivis ROHIS atau LDK, yang malah proses comblang-menyomblang-nya itu sangat ketat, tanpa ada tatap muka sebelum benar-benar yakin pada level selanjutnya. Cuma lihat biodata dan foto kalau tidak salah, dan istilah buat bapak atau ibu comblangnya kalau tidak salah murabbi (hehe maaf ya kalau salah info, karena belum pernah gabung akibat minder sama diri sendiri yang merasa belum pantas sejajar dengan para akhwat itu).

Sang Profesor pun juga tampak gemas, sampai berbicara jujur bahwa beliau malas dan tidak tertarik ketika diundang untuk membicarakan masalah pribadi orang lain (hayoloh, secara ga langsung menyadarkan pihak stasiun TV yang agaknya kurang bijak menayangkan acara dengan tema tersebut). Tapi karena ini menyangkut seorang pemimpin/pejabat daerah, ya akhirnya beliau menyanggupi. Kira-kira seperti itulah ucapan jujur Pak Profesor beberapa saat sebelum closing.

Dan akhirnya sampailah pada akhir acara ketika pembawa acara menanyakan apa yang seharusnya dilakukan oleh bupati itu sekarang (ditujukan pada Pak Profesor dan Ibu Psikolog). Kurang lebih kutipan inti jawabannya.

Profesor: Ya, mau bagaimana lagi. Kan pernikahan yang dilakukan saat itu tidak sesuai dengan hukum agama dan hukum negara (terutama masalah izin istri pertama, dan status bupati yang seharusnya tidak boleh berpoligami, apalagi nikahnya siri). (Mungkin maksudnya, ya tidak bisa ngapain-ngapain untuk bela diri, yang ada ya mempertanggung jawabkan perbuatannya).

Psikolog: Saya tidak berhak ikut campur atau apa, tapi kalau boleh mennyarankan sebaiknya masalahnya dibicarakan lagi secara baik-baik dengan mantan istri, supaya bisa segera selesai, entah minta maaf atau apa pun itu. (secara tidak langsung ya, mengingatkan kalau memang pernah janji-janji dan belum ditepati, ya ditepati saja sembari minta maaf, siapa tahu akan bisa selesai dengan damai).

Terakhir ketika bupati itu diminta menyampaikan pernyataan terakhir di ujung acara (hehe lumayan panjang lebar karena teks berjalan yang menampilkan nama kru-nya udah sampai habis tapi belum selesai ngomongnya). Enggak nangkep ngomong apa aja karena udah malas ngikutinnya, pokoknya kalau tidak salah kembali menegaskan kalau sepertinya masalah itu adalah bentuk adanya politisasi oleh pihak-pihak "tertentu", karena ngakunya masalah sudah selesai lama tapi kenapa baru dimasalahkan lagi sekarang. Tekan tombol off dari remote TV. Sekian. Semoga tidak ada lagi kasus serupa yang akan menyakiti pihak manapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar