Jangan ditanya menang atau tidak, kalau menang tentu tidak akan Saya posting sekarang. Namun karena temanya masih lumayan hangat untuk dibahas di Bulan Desember, maka penulis hanya ingin berbagi dengan siapa pun yang mau dibagi informasi ini. Penulis juga menggunakan beberapa sumber referensi (tercantum di dalam paragrafnya), jadi ini hanya rangkuman kecil yang penulis satukan dari berbagai data, fakta, atau pun pandangan para ahli. Semoga bermanfaat, maaf jika ada hal-hal kurang tepat dalam penyampaian informasi ini. Selamat membaca ^_^.
DUKUNGAN
UNTUK ODHA
”Anda positif terinfeksi HIV.”
Seakan disambar petir saat Toto (bukan nama sebenarnya) divonis terinfeksi HIV.
Flu yang sering menjangkitinya selama ini ternyata akibat HIV yang menyerang
sistem kekebalan tubuh. Walaupun ia masih tampak dan merasa sehat karena belum
memasuki tahap AIDS, namun sudah terbayang rasa sakit yang tidak hanya
dirasakan fisik, namun juga sakit secara sosial dan psikologi. Apa anggapan
masyarakat dan keluarga? Karena di masyarakat penyakit ini identik dengan
hal-hal negatif seperti seks bebas/seks menyimpang, penggunaan narkoba
dan kematian. Terlebih bagi mereka
yang tidak mendapat informasi yang benar tentang HIV/AIDS.
Berbagai pencegahan dari
penyakit HIV/AIDS mungkin sudah sering disosialisasikan walaupun mungkin sasarannya
belum sesuai yang diharapkan. Namun, jika penyakit sudah terjangkit HIV/AIDS
seberapa banyak yang tahu akan penanganannya? Masalah ini dapat berdampak
negatif pada kehidupan penderitanya. Tidak hanya masalah kesehatan fisiknya,
tapi secara psikis akan mempengaruhi kehidupan.
Masih ada masyarakat yang
memperlakukan para ODHA dengan perlakuan yang tidak menyenangka. Mendiskriminasi,
menjauhi seakan-akan HIV dapat menular hanya dengan bertemu dengan ODHA.
Padahal masih banyak hal yang dapat dilakukan oleh seorang ODHA. Terlebih bila
lingkungan sosial memberi dukungan suportif tanpa memandang mereka rendah.
Pengobatan dan perawatan dalam
menangani masalah HIV AIDS diantaranya adalah konseling dan tes mandiri,
dukungan bagi pencegahan penularan HIV, konseling tindak lanjut, saran-saran
mengenai makanan dan gizi, pengobatan IMS, pengelolaan efek nutrisi, pencegahan
dan perawatan infeksi oportunistik (IOS), dan pemberian obat-obatan
antiretroviral.
Unsur-unsur perawatan lain
dapat membantu mempertahankan kualitas hidup tinggi saat ARV tidak tersedia.
Unsur-unsur ini meliputi nutrisi yang memadai, konseling, pencegahan dan pengobatan
infeksi oportunistik, dan menjaga kesehatan pada umumnya. (http://pojokpenjas.blogspot.com/2008/08/perawatan-hiv-aids.html)
Pengobatan atau dengan kata
lain mempertahankan kondisi seseorang yang telah terjangkit HIV AIDS selain
dengan obat Antiretroviral (ARV) juga didukung kondisi psikologis penderitanya.
Dengan kondisi psikologis yang terkendali maka setidaknya ODHA memiliki
semangat hidup tinggi dan jauh dari depresi. Sebaliknya kondisi mental dan jiwa
yang terganggu karena depresi dan putus asa akan memperburuk keadaan. Kondisi
fisik akan semakin lemah, berbagai infeksi akan samakin mudah menyerang tubuh.
Selain obat ARV, asupan gizi
ODHA harus mendapat perhatian khusus. Pada orang yang sehat dan normal pun jika
memiliki gangguan gizi akan berkibat buruk. Terlebih bagi ODHA. Dalam keadaan
yang terpuruk ataupun depresi karena menderita penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, kemungkinan besar akan mengurangi asupan makanan. Nafsu makan
menurun, ataupun jika seorang ODHA hidup seorang diri dan tidak mempunyai
penghasilan yang menjadikan daya beli rendah sudah pasti mempengaruhi asupan
gizi yang dikonsumsi.
Kebutuhan kalori ODHA berkisar sekitar 2000-3000 Kkcal/hari dan protein
1,5-2 gram/kgBB/hari. Untuk mencukupi kebutuhan kalori dan protein sehari
diberikan dengan memberikan makanan lengkap 3 kali ditambah makanan selingan 3
kali sehari.Kebutuhan kalori yang berasal dari lemak dianjurkan sebesar 10-15%
dari total kalori sehari. Kebutuhan zat gizi makro tersebut di atas harus
dipenuhi untuk mencegah penurunan berat badan yang drastis. Pemantauan status
gizi dan makanan bagi penderita ODHA sendiri juga mutlak diperlukan untuk
mengetahui efek dari infeksi HIV dan kesehatan ODHA. (http://www.eurekaindonesia.org/gizi-yang-baik-untuk-orang-dengan-hivaids-odha/)
Terdapat Strategi Nasional 2007-2010 (STRANAS
2007-2010) menjabarkan paradigma baru dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS
di Indonesia dari upaya yang terfragmentasi menjadi upaya yang komprehensif dan
terintegrasi diselenggarakan dengan harmonis oleh semua pemangku kepentingan
(stakeholder). Akserelasi upaya perawatan, pengobatan dan dukungan pada orang
yang hidup dengan HIV dan AIDS (ODHA) dijalankan bersamaan dengan akselerasi
upaya pencegahan baik dilingkungan sub-populasi berperilaku risiko tinggi maupu
dilingkungan sub-populasi berperilaku risiko rendah dan masyarakat umum. (http://www.undp.or.id/programme/propoor/The%20National%20HIV%20&%20AIDS%20Strategy%202007-2010%20(Indonesia).pdf)
Berdasarkan strategi yang
telah ada, pelaksanaannya tidak hanya dilakukan oleh satu bidang. Namun semua
sektor (lintas sektor) harus dilibatkanuntuk tercapainya tujuan bersama. Tanpa
adanya kerjasama yang baik, maka akan sangat sulit dan mendekati mustahil dalam
pencapaian penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.
Saat ini mulai banyak LSM yang
peduli terhadap permasalahan ini. Banyak yang kemudian menyediakan forum dan
layanan konsultasi bagi para ODHA. Kemunculan lembaga non-pemerintah seperti
ini sangat membantu. Terlebih dalam kondisi krisis ekonomi global, kondisi
stres ODHA dan keluarganya dapat meningkat. Karena kondisi ekonomi juga dapat
membuat seseorang berpikir ulang untuk tetap merawat sendiri keluarganya yang
telah berstatus ODHA.
Seharusnya kehadiran lembaga
seperti itu dapat merubah stigma masyarakat. Terutama keluarga ODHA untuk tetap
menerima keadaan seorang ODHA. Sebab bagaimanapun juga dukungan keluarga adalah
yang terpenting walaupun ODHA tersebut mengikuti komunitas yang dibimbing oleh
suatu lembaga. Namun, memang tidak mudah menerima anggota keluarga yang ODHA
jika stigma masyarakat masih tetap buruk. Masih banyak yang mementingkan ”apa
kata orang nanti?” dibandingkan mengikuti kata hatinya.
Bagaimana jika yang terinfeksi
HIV adalah seorang anak? Anak dibawah umur yang masih sangat membutuhkan kasih
sayang. Anak yang tentunya masih ingin bermain dengan teman-temannya. Jika
mereka sudah dikucilkan sejak kecil, tentunya sangat sulit mempertahankan
kesehatan. Secara psikologis mereka merasa minder dan malu untuk
bersosialisasi. Terlebih jika keluarga tidak mau merawat, tidak ada yang akan
menjamin kebutuhan obat-obatan dan gizinya. Mungkin diantara sekian banyak anak
jalanan adalah pengidap HIV/AIDS.
Bayangkan jika sejak bayi
sudah terinfeksi HIV, maka secara medis kecil kemungkinan akan bertahan hingga
usia remaja. Ini akan menyebabkan meningkatnya ”lost generation”
di negara Indonesia. Beberapa kasus gizi buruk pada balita ternyata diakibatkan
HIV yang ditularkan dari orang tua balita. Berawal dari status gizi yang buruk
dan adanya infeksi HIV, balita akan semakin rentan dan dapat meningkatkan angka
kematian anak.
Jika seorang ibu positif
terinfeksi HIV, sebenarnya masih terdapat cara pencegahan penularan ke
janin/bayi. Diantaranya adalah melahirkan dengan proses operasi caesar. Hal ini
disebabkan banyak kejadian penularan terjadi saat proses persalinan normal. Pencegahan
kedua adalah pemeriksaan kehamilan secara rutin (Antenatal Care/ANC) untuk
berkonsultasi kepada dokter. HIV tidak menular melalui ASI, namun selama proses
menyusui, biasanya terjadi mastitis (peradangan pada payudara). Peradangan dan
luka inilah yang dikhawatirkan menularkan HIV ke bayi. Maka sebaiknya tidak
menyusui untuk mencegah penularan ke bayi.
ODHA tidak sepatutnya
mendapatkan diskriminasi. Masih banyak hal positif yang dapat mereka lakukan. Terutama
jika masih pada tahap HIV dan aktif mengkonsumsi ARV. Pada tahap ini penderita
masih tampak sehat karena gejalanya belum tampak. Sehingga mereka masih bisa
mencari nafkah untuk keluarga. Namun, di banyak lapangan pekerjaan tidak
memperkerjakan seorang ODHA. Ketakutan tertular adalah alasan yang kerap
dilontarkan. Ini dikarenakan keterbatasan informasi yang tepat dan benar
masyarakat. Masalah ini menjadi gambaran betapa tidak mudah mensosialisasikan informasi
kesehatan.
Harga ARV yang mahal, menyebabkan ODHA dari
kalangan menengah ke bawah tidak mendapatkan ARV. Kondisi ekonomi yang buruk
memperparah keadaan ODHA. Padahal jumlah ODHA terus meningkat dari tahun ke
tahun. Ini juga akan menurunkan angka harapan hidup orang Indonesia. Dengan
kata lain kondisi kesehatan di Indonesia menjadi buruk. Dari aspek ekonomi akan
butuh dana lebih untuk mengatasi semua permasalahan kesehatan.
Pepatah ”nasi sudah jadi bubur” bukankah
sebaiknya ”bubur” itu dimakan daripada dibuang? Begitu pula jika sudah menjadi
ODHA, maka terima mereka dan arahkan untuk dapat melakukan hal positif
dibandingkan jika kita mendiskriminasi mereka yang akan menimbulkan masalah
baru? Bukan tidak mungkin jika para ODHA yang merasa sakit hati karena
diskriminasi yang mereka rasakan berperilaku yang menyebabkan peningkatan
penularan HIV/AIDS. Seperti mencari teman ataupun kekasih dengan tujuan
menjerumuskan agar menjadi sesama ODHA. Hal ini harus dicegah dengan cara
memperlakukan mereka sebaik mungkin.
”Sebaik-baik manusia adalah
yang bermanfaat bagi sesama.” Salah satunya caranya adalah membantu para ODHA
disekitar kita dengan minimal mendukung mereka. Jika dapat membantu mengarahkan
untuk melakukan hal-hal positif akan lebih baik. Seperti menciptakan lapangan
pekerjaan atau minimal membantu mengajak masyarakat untuk ikut memberi
dukungan. Dengan begitu semangat hidup ODHA akan meningkat yang baik untuk kondisi
kesehatan. Paling tidak meringankan rasa sakit dan mempertahankan hidup mereka.
Komunitas sesama ODHA akan
sangat membantu. ODHA tidak merasa sendiri dan mudah berkonsultasi dengan
konselor ataupun sesama ODHA yang mungkin memilki pengalaman lebih. Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dapat membantu pembentukan komunitas serta membimbing
kegiatan komunitas ini. Dari komunitas ODHA inilah berbagai informasi diberikan
untuk memotivasi dan bersama bangkit dari keterpurukan dan putus asa yang
mereka rasakan.
Tentu tidak bisa hanya
mengandalkan komunitas ODHA. Dukungan keluarga sangat diperlukan. Maka akan
lebih baik para ODHA tetap tinggal bersama keluarga, tidak seperti kebanyakan
yang dimasukkan ke tempat rehabilitasi khusus ODHA. Ini semakin menguatkan adanya
diskriminasi oleh keluarga sendiri. Tetapi tidak dapat dipungkiri, HIV/AIDS
masih dianggap aib oleh keluarga ODHA. Pendekatan dan penyampaian informasi
kepada keluarga/orang yang tinggal dengan ODHA harus lebih ditingkatkan.
Agama dapat menjadi media pengobatan,
perawatan dan dukungan. Mendekatkan diri ODHA kepada tuhan adalah cara yang
terbaik. Hanya kepada Tuhan-lah seseorang memohon kesabaran dan kekuatan dalam
menghadapi segala permasalahan. Siraman rohani dapat dimasukkan ke dalam agenda
kegiatan komunitas ODHA. Dengan jiwa yang tenang, maka kondisi kesehatan akan
dapat dipertahankan. Keluarga akan semakin sabar dan diharapkan mau dan mampu
menerima anggota keluarganya yang ODHA.
ODHA juga manusia yang punya
hak yang patut kita hargai. Maka sayangi ODHA, dukung mereka dan mari berperan
dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS!
31 Mei 2009
Nila Amalia Husna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar