Tanpa disengaja, playlist winamp sudah sampai di lagunya Taylor Swift yang berjudul Miss Invisible. Jadi merasa tertohok. Bukan apa-apa, kayaknya pernah dan memang sedikit mengakui bahwa nyaris menjadi manusia yang antara ada dan tiada di lingkungan bernama sekolah. Bukan karena sering bolos atau kabur di saat jam pelajaran, tetapi mungkin saking pasifnya di kelas atau di lingkungan asrama pas zaman mondok.
Mungkin kalau suatu saat ada reuni sama teman-teman dari lingkungan SD, hampir dipastikan Aku menjadi orang yang dapat rekor dilupakan wajahnya sama mereka. Apalagi dulu waktu SD belum pakai kacamata dan kerudung, jadi akan semakin mudah dilupakan. Alasan lainnya, waktu SD itu satu angkatan ada delapan kelas yang masing-masing kelasnya terdiri dari 36 murid (ini minimal loh). Banyak banget kan? Tapi banyaknya jumlah murid tidak akan serta merta membuat teman dan guru melupakan wajah atau namaku kalau memang diriku dulu adalah murid yang cukup eksis. Ya, tapi itu tidak membuatku menyesal. Memang kenyataannya demikian, dan cukup jadi sebuah cerita yang bisa dikenang.
Gara-gara saking pasifnya diriku di lingkungan sekolah, maka ini juga yang menjadi alasan utama Mama untuk menitipkanku di sebuah pondok pesantren. Beliau ingin supaya anaknya ini lebih bisa bersosialisasi dengan orang lain, bahasa gaulnya mungkin lebih eksis dan "tampak" benar-benar ada. Ada kemajuan meski sedikit, karena mau tidak mau 24 jam tinggal di suatu tempat asing dan bertemu orang banyak. Tapi, sekeras apapun kita berusaha berubah, tetap akan lebih tampak diri kita yang sebenarnya. Dan kenyataannya Aku masih seseorang yang pasif. Nyaris tidak pernah bersuara di kelas, jarang bisa menimpali obrolan teman-teman dengan asik. Setidaknya itulah respon yang pernah kutangkap, ketika sesekali kucoba menimpali gurauan mereka dengan candaan juga. Hasilnya sering menjadi hambar, garing nan jayus. Oke, dunia belum runtuh. Mungkin memang kita tidak perlu memaksakan diri untuk selalu bisa terlihat menyatu dengan lingkungan sosial. Walaupun tidak dipungkiri, masa remaja membuat seolah diri merasa tidak berguna, ketika tidak mendapat penerimaan secara nyata dari lingkungan teman sebaya.
Sesekali sensitif, melankolis, atau terlalu mendramatisir masalah. Wajar. Tetapi bukan tidak pernah juga diriku merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka. Hanya saja, lagi-lagi ternyata memang kita tidak perlu memaksa diri berubah, hanya perlu lebih mengerti tentang mereka, dan mencoba menerima keadaan jika sudah berusaha melakukan yang terbaik. Ke-invisible-an yang telah mendarah daging di tubuh ini, pada awalnya sempat membuatku takut ketika harus menjadi salah seorang pengurus kamar atau OPDM (OSIS kalau di sekolah umum). Benar-benar harus turun ke "lapangan", membimbing adik-adik kelas untuk bersama-sama menegakkan disiplin dalam berbagai hal. Ada ketakutan tidak mampu bicara dengan lantang di depan mereka, ketakutan tidak didengarkan, dan lebih takut tidak mampu menjalankan amanah. Tapi jika dijalani dengan kenekatan dan berusaha melakukan yang terbaik, semuanya bisa berakhir indah (meski di tengah-tengah kadang memang muncul beberapa masalah yang cukup membuat terpuruk sesaat).
Lagi-lagi masalah tentang nyaris menjadi "gaib"nya diriku selama sekitar enam tahun sekolah di pesantren. Di malam gladi resik acara perpisahan, Aku dan beberapa teman bertemu dengan kakak kelas (laki-laki) kami yang sudah menjadi seorang alumni. Memang beliau termasuk banyak mengenal adik kelas yang perempuan, karena keaktifannya membimbing kegiatan ekskul. Dan ketika beliau melihatku, maka dengan yakinnya menebak bahwa Aku adalah seorang murid baru, atau paling tidak hanya 3 tahun mondok. Jelas saja kusangkal, karena kenyataannya Aku sudah 6 tahun mondok, bahkan masuk sejak hari pertama penerimaan resmi murid baru tahun 2000 (saking terpaksanya mondok, jadi masih sangat ingat). Kemudian kakak kelas itu masih saja tidak percaya, dan mengatakan kalau tidak pernah sekalipun melihat wajahku sebagai murid lama di sini (wah, benar-benar kenal sama semua warga pesantren kali ya kakak kelas ini). Sampai akhirnya setelah 3 orang temanku membantu menyakinkannya, baru beliau berhenti mendebatku, yang akhirnya minta tolong padaku untuk memanggilkan temannya yang sudah jadi ustadzah (wah, kalau mau minta tolong kenapa harus debat dulu ya?). Di perjalanan menuju kamar ustadzah, aku berpikir sebegitu invisible-nya kah diri ini sejak dulu? Embeeeerrrrrrr........:)
Tapi tidak kusangkal akan hal itu, dan memang sifat selalu menjadi orang yang "antara ada dan tiada" sudah sulit dihilangkan 100% dari diriku. Makanya Aku mulai menulis, biarlah yang visible hanya tulisan-tulisanku yang kadang aneh tidak berkonsep. Di blog ini pula kunikmati menjadi seorang Miss Invisible. Orangnya tidak terlihat, meski ada sesuatu hal yang meyakinkan dunia bahwa Aku masih ada. Hey, here I am, behind my blog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar