Beberapa waktu lalu Saya sempat menyaksikan acara Just Alvin, yang menghadirkan bintang tamu Bapak B.J. Habibie, Bunga Citra Lestari, dan Reza Rahardian. Sudah jelas bahwa akan membahas sejarah kehidupan seorang Habibie & Ainun yang dijadikan sebuah film. Satu fakta yang tak bisa disangkal adalah, film tersebut ada karena sebelumnya Pak Habibie mau berbagi kisah hidupnya dalam sebuah buku. Ditulis langsung oleh beliau, beberapa saat setelah kepergian (Almh.) Ibu Ainun.
Sudah banyak yang membahas bagaimana perjalanan cinta dari keduanya, kali ini Saya lebih tertarik kepada sebuah proses yang dilalui Pak Habibie untuk tetap tegar menjalani hidup tanpa sosok Ibu Ainun. Di acara Just Alvin, Pak Habibie menuturkan bahwa ada empat kemungkinan/pilihan yang akan dijalani beliau di masa-masa yang sulit saat itu. Penulis pernah mendengar bahwa ada perbedaan ketika seorang suami ditinggal oleh istri, dengan seorang istri yang ditinggal oleh suaminya terlebih dahulu. Mayoritas wanita lebih tegar dan kuat (terutama saat memikirkan anak-anak yang menjadi tangggung jawabnya) ketika ditinggal pasangannya, ketimbang seorang pria yang ditinggal meninggal oleh istrinya terlebih dulu.
Kalau diingat beberapa tahun lalu Nenek dari pihak Ayah, meninggal dunia. Tidak lama kemudian, Kakek pun menyusul beliau. Memang masalah ajal kalau sudah waktunya, pasti akan datang tanpa memandang waktu dan keadaan. Tapi sedikit banyak kondisi psikologis yang lemah akan mempengaruhi fisik, apalagi jika terkait kehilangan sosok orang terdekat. Kembali lagi kepada kisah Pak Habibie, yang saat itu diberikan empat pilihan (mungkin dari tim medis/psikolog/psikiater): (1) tinggal dan dirawat di rumah sakit jiwa, (2) tinggal di rumah tetapi mendatangkan tim medis untuk merawat kesehatan mental & fisik beliau, (3) beliau harus curhat dengan tim khusus, dan (4) menulis. Beliau pun memilih opsi terakhir, yaitu menulis. Dan akhirnya pilihan tersebut menjadi pilihan yang sangat tepat, bahkan bisa menghasilkan sebuah buku. Begitu pula film yang membuat heboh semua kalangan ini, tidak akan ada tanpa adanya buku Habibie & Ainun, yang langsung ditulis oleh tokoh utamanya sendiri.
Di acara lain pun, Saya sempat mendengar Pak Habibie bercerita saat menulis tentang kisahnya bersama Ibu Ainun, sampai menangis (kayaknya ada di filmnya juga). Tapi beliau tetap terus mencoba menuliskannya (tidak berhenti karena kesedihan mengingat masa lalu), karena itu merupakan salah satu terapi untuk tetap membuatnya kuat sampai saat ini. Buktinya meski sempat merasa sangat kehilangan (yang luar biasa), beliau sampai detik ini masih tetap tegar, walau di saat menceritakan kisahnya berulang-ulang di berbagai media. Begitulah kekuatan menulis, mengeluarkan isi hati di atas sebuah kertas, bercerita kepada dunia, dan kelak akan memberikan inspirasi kepada orang lain.
Penulis juga pernah mengalami beberapa hal yang cukup menyesakkan hati, namun tidak mampu untuk mengeluarkannya di depan orang lain. Saat itu lah penulis memilih untuk menorehkan apa saja yang terlintas di pikiran, ke atas sebuah kertas. Menulis tanpa beraturan, menulis dengan seluruh emosi yang dirasakan, dan segera setelah selesai menulis, dibaca lagi sambil direnungkan. Jika yang tertulis adalah hal positif, penulis akan menyimpannya untuk dijadikan pelajaran di kemudian hari. Tapi jika saat itu yang tertulis lebih cenderung pada hal negatif, umpatan, atau amarah dan pikiran nekat, penulis akan segera merobeknya sampai si kertas tidak bisa dirobek lagi. Berharap hal negatif di dalam diri segera ikut hancur bersama hancurnya kertas. Dan merasa lebih baik sesudahnya, siap menjalani hari baru.
Memang kita bukanlah orang terkenal, yang apa pun tulisannya bisa dianggap layak untuk dibaca masyarakat. Tapi setidaknya menuliskan isi hati kita bisa membantu diri menyembuhkan luka di hati. Mengobati kegelisahan dan kegalauan yang berkepanjangan karena sesuatu hal. Kalau punya keahlian melukis, bisa juga dialihkan ke dalam aktivitas melukis atau membuat komik.
Merasa sayang jika tulisan kita hanya jadi konsumsi pribadi tapi belum merasa layak diterbitkan oleh media massa? Publish saja di jejaring sosial atau blog pribadi. Tidak masalah jika belum ada yang membacanya, karena suatu saat pasti akan ada yang membutuhkan hasil pemikiranmu dalam kehidupannya. Siapa tahu nanti (belasan atau puluhan tahun ke depan) tulisan di blog kita dibaca oleh anak cucu kelak.
Kebetulan beberapa hari lalu ke Gramedia, dan melihat buku barunya Asmirandah (congratulation...). Masih banyak lagi para selebriti yang menuliskan kisah hidupnya dalam sebuah buku, setelah mereka terkenal. Kalau kita belum jadi orang terkenal, dan ingin memiliki buku sendiri dengan nama kita tertulis di covernya, usahanya harus lebih keras lagi ya.
Masih ingin merasakan sensasi rasa itu, saat melihat buku karyaku ada di toko buku. Bagi yang punya mimpi sama dengan penulis, yuk sama-sama kita bilang ..... Aamiin ^_^.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar