Kuhisap lagi lintingan ketiga dari rokok favoritku, kuresapi baik-baik rasanya dan menghembuskan asapnya perlahan. Tepat di balkon sempit dari lantai lima sebuah rumah susun yang kusewa bersama tiga teman seperjuanganku di kota ini. Bersama-sama mencari selembar dua lembar uang untuk tetap bertahan hidup, tentu dengan caranya masing-masing. Seperti mereka yang belum pulang meski jam dinding telah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Ya, kebetulan hari ini ketiganya memang sedang mendapat shift malam di tempat kerjanya masing-masing. Dewi yang bekerja sebagai seorang cleaning service di sebuah rumah sakit pemerintah, Susi seorang pegawai restoran cepat saji yang buka 24 jam, juga si Aini teman satu sekolahku saat SD, yang menjadi seorang operator loket jalan tol.
Saat inilah Aku bebas mengepulkan asap rokok sepuasku tanpa ada yang merasa terganggu dan berkomentar macam-macam. Maklum belum genap enam bulan sejak Aku mengenal dan jatuh cinta pada sebuah benda bernama rokok. Sejak itu pula ketiga temanku secara bergantian selalu mengingatkanku akan kebiasaan baruku yang buruk itu. Terutama Dewi yang memang banyak menghabiskan waktu dengan para dokter, bidan, perawat atau apa lah itu sebutan untuk mereka yang bekerja di rumah sakit, sehingga pengetahuannya tentang kesehatan memang paling banyak di antara kami berempat.
Dalam seminggu Aku hanya datang ke kantorku selama 3 hari kerja, selebihnya bekerja di lapangan atau di rumah. Mengumpulkan berita dan kemudian mengetiknya dan selanjutnya ke kantor untuk menyerahkan hasil liputan atau artikel yang kutulis. Aku bekerja untuk sebuah majalah khusus yang memberitakan segala hal tentang kehidupan para selebritis. Tiga bulan lalu, semua rutinitasku itu berhenti. Tepatnya dipaksa berhenti karena majalah kami dan segala pemberitaan di berbagai media tentang kehidupan pribadi para selebriti (khususnya di TV) telah dilarang oleh sebuah lembaga keagamaan. Hal tersebut dikarenakan pemberitaan mengenai masalah pribadi orang lain, dianggap berdosa dan haram. Hasilnya terjadilah pemutusan hubungan kerja besar-besaran oleh para pelaku industri di bidang tersebut. Aku menjadi salah satu korbannya.
Sudah kucoba untuk mencari pekerjaan di beberapa perusahaan yang berada di bidang jurnalistik lainnya. Tetapi nihil, jumlah pelamar yang banyak (Jelas saja diakibatkan oleh terjadinya PHK besar-besaran), dan tingkat pendidikanku yang tidak bisa mengalahkan mereka membuatku semakin sulit untuk memenangkan persaingan tersebut. Memang Aku hanya lulusan SMA yang kebetulan beruntung bisa menjadi salah satu jurnalis di tempat bekerjaku sebelumnya. Itu pun tidak kuawali dengan langsung diterima sebagai jurnalis, melainkan awalnya Aku diterima sebagai pesuruh, tukang bersih-bersih, dan melakukan segala hal layaknya pembantu di sana.
Tetapi karena Aku cukup lama mengamati cara kerja para karyawan di sana, pada akhirnya Aku mencoba menulis. Saat pimpinan redaksi memberikan topik terbaru untuk edisi mendatang yang ditempel di papan pengumuman, maka Aku pun ikut mengerjakannya meski ditulis manual dengan tangan di atas lembaran kertas tak terpakai dari ruang fotocopy. Tentu saja tidak kuberikan pada Bapak Pimred, melainkan sekedar disimpan sendiri di pantry, ruangan yang seolah menjadi ruang kerja pribadiku. Suatu ketika kertas-kertas coretanku itu dibaca oleh Mbak Noni, sekretaris pimpinan redaksi, dan memberikannya pada Pak Bos tanpa sepengetahuanku. Dan akhirnya Pak Bos pun memberiku kesempatan untuk naik pangkat menjadi anak magang sebagai jurnalis, dan setahun kemudian resmilah diriku diangkat menjadi jurnalis tetap di sana. Tapi kini semua itu hancur begitu saja dalam sekejap.
Dua bulan lalu Aku masih bisa ikut serta membayar biaya hidupku yang selama ini memang selalu dihitung setiap bulannya dibagi empat orang sama rata. Tapi bulan lalu dan bulan ini, Aku tidak mampu memenuhi tanggung jawabku tersebut. Ketiga temanku memaklumi keadaanku, dan berusaha terus menyemangatiku untuk tetap berusaha bangkit. Tapi Aku malu, merasa hanya menjadi beban mereka, bagaimana jika bulan depan pun Aku masih belum bisa ikut menanggung beban hidup kami, beban diriku sendiri saja belum bisa kutuntaskan. Belum lagi jika kuingat kehancuran keluargaku, bapak dan ibu yang akhirnya berpisah 10 tahun lalu, karena seorang wanita yang lebih pantas menjadi kakakku, tapi mendadak menjadi ibu tiriku. Ibu yang kemudian sakit-sakitan dan akhirnya meninggalkanku untuk selamanya. Aku yang saat itu baru berusia 17 tahun sangat merasa terpukul, dan tentu saja tidak bisa menahan amarah untuk berdamai tinggal di rumah Bapak. Maka kuputuskan kabur, menuju ibukota yang katanya memberikan sejuta harapan, saat itu bersama-sama dengan Aini yang tentu saja dia pergi atas restu keluarganya. Sejak saat itu kuputuskan hubungan dengan Bapak, kupikir dia pasti lebih bahagia tanpa adanya Aku di kehidupannya.
Sudah beberapa hari ini pikiran itu muncul dikepalaku. Menyerah, mati, pergi, dan mengakhiri ini semua. Ya, bunuh diri. Dan malam ini, saat Aku benar-benar sedang sendiri lagi-lagi pikiran itu muncul dan terasa semakin jelas keberadaannya. Sampai hadirlah dua sosok aneh, satu berwajah cerah dengan pakaian putih bersih, dan satunya lagi berwajah hitam legam dengan menggunakan pakaian berwarna merah api. Tapi kenapa keduanya memiliki wajah sangat mirip denganku? Ah, kurasa diri ini mulai berhalusinasi karena mengantuk atau memang Aku sudah tertidur dan ini hanya mimpi? Tapi sedetik kemudian Aku mulai yakin bahwa ini bukan sekedar mimpi saat keduanya mulai mengeluarkan suara dan mengajakku bicara.
(Makhluk berbaju putih): Salam, Saya adalah Jin Putih yang diutus oleh malaikat untuk mengunjungimu. Maaf karena kami menggunakan wajahmu, karena tidak ada seorang manusia pun yang kuat untuk melihat wujud asli kami.
(Makhluk berbaju merah api): Hai manusia yang sedang dirundung kemalangan, Aku adalah Jin Hitam yang diutus oleh bos setan untuk membantumu mengambil keputusan.
(Aku): Oh, Aku tidak perlu kalian semua. Toh sebentar lagi Aku akan mati dan meninggalkan dunia ini.
(Jin Putih/JePe): Dari mana kamu tahu kalau kamu akan mati, hanya Tuhan yang mengetahui waktu seseorang untuk menemui ajalnya.
(Jin Hitam/JeHa): Hahaha, menarik sekali. Tapi kedatanganku justru bisa membantumu untuk melancarkan hal tersebut (menyeringai lebar seolah mulutnya robek).
(Aku): Aku memang tidak tahu JePe, tapi Aku akan mencoba melakukannya. Tentunya tanpa bantuan siapapun, jadi sebaiknya kalian semua pergi.
(JePe): Wahai manusia, sesungguhnya masih banyak manusia lain yang memiliki masalah lebih berat darimu. Masih banyak mereka yang menginginkan kehidupan yang panjang tapi tidak bisa meraihnya karena ajalnya telah datang. Mengapa kamu berputus asa dan ingin menyerah, padahal Saya lihat tubuh dan jiwa belum mengalami kerusakan. Sebaiknya segera bertaubat dan segera bangkit berusaha menjalani hidup ini sebaik-baiknya.
(JeHa): Alah, enggak usah dibujuk-bujuk begitu. Biarkan saja dia melakukan keinginannya itu, memangnya kamu mendapat keuntungan kalau manusia di depan kita ini tidak jadi bunuh diri? Hei manusia, omong-omong sudah tahu akan bunuh diri dengan cara apa?
(Aku): Apa sih kalian ini, mengganggu perenunganku saja. Kalau ingin ribut sebaiknya jangan di sini. Jelas saja Aku sedang memikirkan hal tersebut.
(JePe): Baiklah, sembari kamu memikirkan caranya tidak ada salahnya jika kamu juga memikirkan untuk merubah keinginan bodohmu itu. Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah, asal tahu saja seketika setelah mati kamu akan menjalani siksa kubur, dan saat hari pembangkitan kelak kamu akan menjalani siksaan lagi di neraka. Pikirkan baik-baik sebelum kamu menyesal untuk selamanya.
(JeHa): Sudah jangan dengarkan perkataan si JePe. Tahukah kamu tanpa bunuh diri pun setiap manusia akan mengalami siksaan karena tidak ada manusia yang tak berdosa, maka sebelum dosanya habis dia akan terus mendapat siksaan setelah mati. Jadi sama saja, justru jika kamu mengakhiri hidupmu sekarang, akan membebaskanmu dari penderitaanmu di dunia. Bagaimana?
Aku hanya terdiam, sambil sesekali melirik ke arah dua makhluk aneh itu. JePe sibuk merapalkan entah doa atau apa dengan tangan tidak henti menggerakkan benda mirip tasbih. Sedangkan si JeHa sibuk komat-kamit seperti membaca mantra dan sesekali tampak menyemburkan sesuatu dari mulutnya, layaknya seorang dukun yang ingin menyantet seseorang. Aku memikirkan cara apa yang paling cepat membuatku mati, dengan kemungkinan gagal paling kecil. Lompat dari balkon, sepertinya bukan cara yang tepat karena masih kurang tinggi. Kalau masih hidup, bukankah malah akan membebani ketiga temanku yang mungkin harus menanggung biaya pengobatanku nanti. Iris urat nadi, nanti akan mengotori rumah yang sudah sempit ini, dengan darah. Itu juga kalau Aku tepat mengarahkan benda tajam di pembuluh darah yang tepat, kalau salah meski sudah kesakitan dan kehilangan banyak darah tetap saja Aku masih mungkin terselamatkan. Minum cairan pembersih porselen? Kemarin sudah kucoba, tapi rasanya begitu aneh di mulut, asam dan memuakkan. Jelas saja sebelum masuk kerongkongan, cairan itu refleks kumuntahkan dan percobaan pertama kali bunuh diriku gagal total.
Sampai kuputuskan mencekik leherku sendiri. Bukan kematian yang kudapat malah sensasi rasa aneh yang muncul. Bayangkan kepalaku terasa seperti sebuah balon yang dipompa oleh gas. Rasanya memang sakit di leher, itu masih bisa kutahan. Tapi rasanya bagian kepala dan wajah seolah mekar serasa hampir meletus tapi tidak mampu kuteruskan. Kucoba sekali lagi, dua kali lagi. Hanya bertahan sedikit lebih lama dari percobaan pertama kali, dan tetap saja tanganku refleks melepaskan jeratan di leher yang sudah mulai memerah. Tampaknya memang Aku belum mahir untuk bunuh diri, atau memang benar kata si JePe, selama ajalku belum datang maka sekeras apa pun usahaku, ini tidak akan berhasil.
Baiklah kuputuskan untuk kembali bangkit dan segera setelah ini akan kuambil air wudhu serta bersimpuh memohon ampun kepada-Nya. Setidaknya jika nanti tidak ada pekerjaan apa pun yang dapat kukerjakan, bukankah masih bisa kutuliskan kisah ini dalam sebuah cerpen atau novel. Siapa tahu ada yang akan mengapresiasikannya dengan menerbitkan karyaku. Bukankah tema ini cocok di zaman seperti ini, yang katanya jumlah pelaku bunuh diri semakin meningkat? Bahkan diriku pun nyaris menjadi salah satu pelakunya. Seketika JeHa pun kesal dan tanpa pamit segera menghilang dari hadapanku, sedangkan JePe tersenyum dan kemudian segera berpamitan padaku dengan lambaian tangan dan ucapan salamnya,
"Alhamdulillah, tugas Saya selesai. Selamat karena kamu telah mengambil keputusan yang tepat, dan selamat menjalani kehidupanmu dengan baik sebelum Izrail menjemputmu pada waktu yang tepat. Assalamu'alaikum."
Seketika JePe juga menghilang sebelum Aku sempat menjawab salamnya dan mengucapkan terima kasih padanya. Tiba-tiba kulihat secercah cahaya menyilaukan mataku. Kudapati diriku sudah terbaring di kasurku, dengan tiga temanku duduk di sekeliling ranjang, dan tersenyum saat melihatku membuka mata.
"Nina, kamu enggak apa-apa kan? Tadi kita kaget banget karena ngelihat kamu tidur di balkon. Kirain kamu pingsan, badan kamu juga demam. Tapi syukurlah panas tubuhnya sudah turun setelah dikompres."
Aini sibuk berbicara dengan wajah khawatirnya, diikuti dengan anggukan kepala Dewi dan Susi membenarkan pernyataan Aini. Aku pun hanya bisa mengangguk dan sedikit tersenyum untuk memastikan pada mereka bahwa diriku baik-baik saja. Kurasa mereka pasti masih merasa lelah setelah bekerja semalaman, dan masih harus menungguiku sadar tanpa istirahat sejenak. Jadi kuputuskan untuk tidak menceritakan apa yang kualami semalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar