Daisypath - Personal pictureDaisypath Anniversary tickers

Minggu, 13 Januari 2013

(Nyaris) Menjadi Mediator Penular Virus

DAAI TV menyiarkan suatu acara yang membahas tentang penyakit cacar, yang mengingatkanku bahwa dulu si virus yang lumayan terkenal ini pernah menginap di tubuhku. Tepatnya cacar air, yang nyaris saja membuatku sebagai manusia penyebar virus cacar di pesantren. Lagi-lagi di pesantren, maklum kurang sekitar 6 tahun masa sekolah dihabiskan di sana jadi banyak sekali kisah yang terjadi. Bahkan kupikir jika disusun menjadi sebuah novel, mungkin akan tetap ada kejadian yang harus dilewati supaya ketebalan naskahnya sesuai dengan permintaan penerbit (aduh, ngayal aja) Siapa tahu suatu saat kesampean bisa menuliskan kisah memoar atau fiksi tentang suka, duka, dan konyolnya kehidupan santriwati dari sudut pandang yang tidak biasa.

Waktu itu masih kelas 2 Aliyah/SMA, dan memang beberapa hari sebelumnya sedang merasa sangat bosan dan ingin pulang (mungkin bawaan kekebalan tubuh yang menurun). Akhirnya dengan kenekatan tingkat tinggi, mendatangi kantor pengasuhan (kantor guru yang bertanggung jawab atas segala hal yang berhubungan dengan asrama terutama masalah perizinan) dan mencoba meminta izin pulang meski tidak ada keperluan apa-apa. Entah karena memang tidak bakat berbohong, atau pengaruh kekebalan tubuh yang menurun, membuat ustadzah sepertinya tahu bahwa Aku tidak benar-benar punya keperluan mendesak yang mengharuskan pulang ke rumah. Maka setelah semenit dua menit berusaha memohon, dan mendapat respon yang kurang menyenangkan, maka kuputuskan kembali ke kamar dengan rasa kesal yang siap meledak kapan pun.

Tapi akhirnya cuma bisa meluapkan kekesalan di atas sebuah kertas. Kira-kira begini isi coretannya (beneran coretan seperti cakar ayam tak berbentuk). Sekali lagi ini sungguh isi hati saat emosi sudah hampir meledak, jadi jangan ditiru untuk diungkapkan di depan orang banyak, kecuali lagi akting buat pementasan teater. Sekali lagi ini hanya diungkapkan di atas sebuah kertas, tanpa ada siapa pun yang tersakiti karena mendengarnya. Tapi kemudian kusadari ada seekor kucing yang dari jauh seolah mengamatiku dengan tatapan laparnya.Glek!!!

Kenapa sih yang lain kayaknya gampang banget kalau minta izin? Giliran gue, udah jarang izin keluar, pulang juga jarang, susaaaah banget dapet izin. Padahal gue ga pernah kabur atau melanggar pelanggaran berat,.Apa iya semakin bandel santri bakal semakin gampang izin soalnya ustad/zah takut kalau ga dikasih izin itu anak tetap berani kabur, yang mau ga mau nambah satu masalah lagi yang bikin pusing kepala para ustad/zah. Buset dah, kalau gitu kenapa dari dulu gue ga jadi anak bandel aja ya? Kalau sekarang baru mulai bandel sih telat, udah jadi pengurus dan kurang 2 tahun lagi juga lulus. Sabar aja deh demi ortu. *dalam sekejap kertas berisi coretan kemarahan ini, berubah menjadi puluhan bagian kecil, dan segera meluncur ke tong sampah depan asrama.

Masih ingat tatapan lapar si kucing, atau mungkin tatapan ketakutan melihat manusia sedang ber-emosi tinggi duduk di depan pintu kamar asrama saat hujan sedang mengguyur Bogor sore hari? Ternyata setelah kuamati si kucing memang sedang kelaparan plus kedinginan. Sempat meringkuk sebentar, kemudian bangun menuju tong sampah, yang tadi sudah kutambahkan isinya dengan kertas luapan emosiku. Dengan susah payah seekor kucing kecil memasukkan kepalanya, di mulut tong sampah yang tingginya sekitar 1 meter. Berusaha mencari seonggok tulang ayam, atau makanan jenis apa pun itu yang bisa mengobati rasa laparnya. Sungguh kucing saja mau berusaha keras untuk mendapatkan apa yang dibutuhkannya, walaupun risikonya dia bisa terkena tampias air hujan yang turun dari genting. Dan saat itu pula si kucig telah memberikanku sebuah inspirasi untuk menulis semacam artikel. Memang tidak pernah sampai dipublikasikan, tapi masih tersimpan di salah satu buku harian lamaku. Setidaknya saat itu, selain kemarahanku mulai mereda Aku bisa latihan menuliskan isi pikiranku ke dalam bentuk tulisan. Jadi lupakan masalah ustadzah yang tidak memberi izin pulang, dan terima kasih pada si kucing telah menjadi sumber inspirasiku. Terima kasih Allah, waktu itu Kau tidak membiarkanku melakukan hal-hal nekat.

Kemudian beberapa hari kemudian, Aku merasa ada yang aneh dengan badanku. Agak sedikit demam, dan lebih lemas dari hari biasanya. Tambah terkejut lagi sewaktu menyadari ada dua gelembung putih berisi air, di bagian perut dan belakang telinga. Sempat bingung sendiri, sampai akhirnya gelembung yang ada di belakang telinga pecah sendiri. Jadi ingat kalau adik bungsuku dulu pernah terkena cacar air waktu masih balita, dan kurang lebih gelembungnya mirip seperti itu. Hanya saja mungkin karena masih terlalu kecil, jadi jumlah gelembungnya sangat banyak di sebagian besar anggota tubuhnya. Maka setelah menceritakan hal ini ke salah seorang teman, dia segera menemaniku pergi ke klinik pesantren untuk periksa ke dokter umum yang jaga sore itu.

Setelah kuceritakan dan kutunjukkan gelembung berisi cairan tadi, dokternya dengan cepat memberi kesimpulan bahwa bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Sama sekali tidak mengungkit ini adalah cacar, dan hanya memberikan beberapa butir vitamin. Sebenarnya merasa tidak puas, masalahnya sempat ada beberapa teman yang mengatakan tidak cocok berobat dengan dokter itu (tapi sekarang kabar yang Saya dengar tenaga medis di klinik pesantren kami sudah benar-benar kompeten). Bukan masalah isu seperti itu, tapi yang Saya rasakan ini aneh bukan sekedar kurang vitamin atau penyakit kulit biasa. Masih merasa gemetar dan badan mulai menghangat, wajah memerah dan gelap (kalau gelap memang sudah sejak dulu kulitnya gelap). Karena khawatir jika ini benar-benar penyakit cacar yang bisa dengan mudah menulari teman-teman di asrama, akhirnya Aku ditemani kedua orang teman segera pulang ke rumah hari itu juga. Kali ini jelas mendapat izin, dan kebetulan bukan jadwalnya ustadzah yang waktu itu menolak permohonan izinku. Setelah melewati perasaan yang campur aduk di dalam angkot, akhirnya kami sampai di rumah, dan kedua temanku segera kembali ke pesantren. Terima kasih teman-teman.

Malamnya, Mama segera membawaku periksa ke rumah sakit. Setelah menjalani pemeriksaan, di mana dokter itu mengamati gelembung yang keduanya sudah pecah, serta mengeluarkan sensasi hangat itu, dengan bantuan cahaya lampu. Benar saja, dokter yang kali ini mengatakan bahwa gelembung air yang muncul di tubuhku adalah gejala awal dari cacar air. Akhirnya selain diberikan obat-obatan luar dan dalam, dokter juga memberikan surat keterangan dokter, supaya Aku bisa istirahat di rumah selama beberapa hari sebelum kembali ke pesantren.

Ternyata cacar air yang kualami ini tidak separah adikku dulu. Mungkin karena Aku mengalaminya saat kekebalan tubuh sudah mulai menguat, tidak seperti kekebalan tubuh anak balita. Jadi memang tidak terlalu banyak gelembung cacar air yang muncul selama beberapa hari istirahat di rumah. Selain itu juga dikarenakan pemberian obat sudah dilakukan di masa-masa awal perkembangan virus, jadi si virus juga mungkin belum begitu kuat menahan gempuran obat. Ada satu hal yang baru kuketahui tentang cacar air. kata orang-orang dulu, selama sakit cacar tidak boleh mandi. Tapi dokter yang memeriksaku mengatakan, malah harus mandi untuk menjaga kebersihan tubuh, cuma air yang dipakai mandi harus diberi sejenis obat khusus. Obat khusus itu berbentuk bubuk berwarna ungu agak berkilauan, sehingga kalau dicampur ke dalam air, warna air berubah menjadi ungu kebiruan. Jadi ingat blao yang kadang dipakai beberapa teman untuk mencuci pakaian. Ingat teman-teman, jadi ketakutan kalau-kalau saat ini atau nanti jika kukembali ke pesantren, menulari teman-teman menjadi penderita cacar. Semoga tidak terjadi, lagi pula sebagian besar mereka bilang kalau sudah terkena cacar saat masih kecil. Konon katanya cacar hanya bisa menjangkiti manusia sekali seumur hidup, benarkah demikian?

Beberapa hari sudah lewat, dan tubuh sudah merasa lebih fit. Hanya bekas-bekas gelembung cacarnya yang belum semuanya hilang dari tubuh. Saat kembali ke pesantren juga masih harus mandi dengan air berwarna ungu. Syukurlah tidak ada satu orang pun teman-teman yang tertular cacar dariku. Mereka sehat wal'afiat, hanya ada satu kejutan untukku. Kemarin ada pemeriksaan lemari dari pengasuhan. Lemariku yang memang sedang rusak kuncinya, otomatis juga menjadi sasaran pemeriksaan. Isinya jangan ditanya lagi, super berantakan. Awalnya santai karena tidak merasa menyembunyikan barang terlarang, tetapi setelah memeriksa lebih teliti ada yang disita. Ya, sebuah kaset nasyid. Please deh, bukankah setiap sore juga selalu diputar kaset nasyid dari pengeras suara? Berarti itu bukan sesuatu yang terlarang kan? Lagipula kaset itu baru kubeli saat ada bazar yang diadakan di dalam pesantren. Jelas-jelas dijual di dalam lingkungan pesantren, berarti siapa saja boleh membeli dan menyimpannya, termasuk seorang santri. Padahal belum pernah sekalipun di putar, niat membeli selain untuk koleksi pribadi juga bisa digunakan saat ada acara organisasi kelak. Masih ingat kalau itu kaset Justice Voice. Dan akhirnya suatu ketika Aku mendengar lagu nasyid dari kaset itu diputar di pengeras suara. Bukan sok ngakuin, tapi sebelumnya kaset itu belum ada di dalam kotak koleksi kaset milik bersama. Ya sudahlah, setidaknya Aku masih bisa mendengarkan lagunya. Loh, malah bahas kaset, piye to' nduk?

Akhirnya diriku berkenalan juga dengan yang namanya virus cacar air, bahkan si virus sempat menginap di tubuh selama berhari-hari. Akhirnya keinginan untuk pulang ke rumah, kesampean dan lebih dari satu hari malah. Akhirnya juga Aku senang karena tidak menjadi seorang mediator utama penyebar wabah cacar air di pesantren, karena lebih cepat diketahui sebelum terlambat. Dan akhirnya saat ada acara lomba nasyid antar santri, Aku bisa memegang kembali kasetku meski judulnya tetap meminjam kepada pihak pengasuhan, untuk dipakai selama lomba berlangsung ^_^. Akhirnya tulisanku ini selesai. Selamat petang menjelang malam pemirsa!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar