Daisypath - Personal pictureDaisypath Anniversary tickers

Minggu, 10 Februari 2013

Pesawat Terbang, Teh, Orang Asing, dan Kenangan Itu :(.

Kadang kita tidak bertanya bukan karena alasan malu. Tapi memang tidak tahu bahwa sebenarnya ada hal yang perlu kita tanyakan pada orang lain di sekitar kita. Jadi kisah ini terjadi saat Saya masih kelas 4 SD, yang harus buru-buru naik pesawat menuju sebuah daerah di Jawa Tengah karena dikabarkan bahwa Kakek (my Mom's father) sudah tiada. Padahal baru sore kemarin Ayah dan Saya berangkat ke Jakarta (naik bus) karena hari ini merupakan hari pertamaku sebagai murid kelas 4 SD. Memang waktu itu selain berlibur, memang kami sekeluarga berkumpul di sana karena kondisi kesehatan Kakek (Alm.) yang sedang sakit.
 
Dulu belum ada HP, jadi kabar itu baru kami ketahui saat baru masuk ke rumah. Tiba-tiba telepon berbunyi dan sampailah kabar duka tersebut. Maka dengan terburu-buru kami kembali meninggalkan rumah menuju bandara Soekarno-Hatta, dan untungnya masih mendapatkan tiket pesawat Merpati dengan waktu penerbangan yang sudah mepet. Sebetulnya sewaktu masih kecil, katanya Saya sudah pernah diajak naik pesawat terbang, tapi tidak ingat bagaimana rasanya. Dan kali itu sukses menjadi kali pertama Saya benar-benar merasakan terbang (walau hanya sekitar 1 jam), dan dalam kondisi tegang, sedih karena Kakek sudah tiada, dan tidak nyaman karena tidak bisa duduk bersebelahan dengan Ayah. Maklum, kami membeli tiket mendadak. Jadi anak kelas 4 SD yang cukup pendiam itu harus bersebelahan dengan seorang bapak-bapak tidak dikenal. Bahkan cenderung kelihatan orangnya cuek, tidak ramah. Kutebak sepertinya beliau seorang pegawai kantoran, yang sedang ditugaskan ke luar kota untuk urusan kantor.

Tidak ada masalah berarti walau sebangku dengan orang tidak dikenal, sampai ketika pramugari membagikan konsumsi kepada semua penumpang pesawat terbang. Karena hanya terbang satu jam, jadi konsumsinya berupa 2 atau 3 jenis roti, segelas teh, dan pelengkapnya (tisu, tusuk gigi, dan gula dalam kemasan). Waktu itu belum mengerti apa fungsi dari gula yang dikemas dalam bungkusan kecil (malah tidak tahu kalau itu isinya gula pasir). Berhubung sedang tidak nafsu makan, maka kuputuskan untuk minum tehnya saja.

Glek! Tegukan pertama membuatku terkejut. Bukan beracun, tapi karena rasanya sama sekali tidak enak. Pahit. Ingin lapor sama Ayah, jauh duduknya. Ingin tanya pramugari, masih takut juga. Tanya bapak tidak dikenal disampingku, lebih takut lagi. Malah sempat-sempatnya kutenangkan diriku dengan berpikir bahwa teh di pesawat memang seperti itu, pahit.
 
Mungkin karena anak kecil biasa didoktrin untuk tidak bicara dengan orang tidak dikenal, jadi begitu deh. Parno duluan. Akhirnya tidak jadi diteruskan minum tehnya, hanya memasukkan kotak berisi roti ke dalam tas, buat oleh-oleh Mama dan adik-adik (biar ga mubadzir walau tidak dimakan di pesawat kan?). Hehe, sekarang kalau ingat kejadian itu jadi geli sendiri. Sampai kapan pun teh yang waktu itu Saya minum, akan tetap pahit karena belum ditambahkan gula.
 
Sebelum turun dari pesawat kembali bertemu orang asing (baca: bule asli dari luar negeri). Bahkan seorang anak perempuan yang mungkin sebaya denganku sempat menyapaku. Mungkin ber-say hello atau menanyakan namaku alias ngajak kenalan. Tapi karena dulu pelajaran bahasa Inggris baru diajarkan kelas 4 SD, otomatis belum ada sepatah kata bahasa Inggris pun yang kuketahui maknanya. Bukannya membalas sapaan anak bule itu, meski sekedar senyuman, Saya malah kabur segera menuju pintu pesawat. Takut dan bingung karena tidak paham maksud si bule. 
 
Hmm, mungkin di hadapan anak itu dan keluarganya (kalau tidak salah dia bersama seorang adik dan ayah-ibunya), Saya seperti seorang makhluk aneh yang belum pernah tahu dunia luar rumah. Seandainya ketemu si bule setahun lagi saja, mungkin Saya sudah punya teman baru dari luar negeri. Minimal bisa bertanya kabar, nama, dan dari mana asalmu? Bahasa Inggris dasar gitu deh.
 
Sosok Kakek yang saat itu pergi mendahului kami, adalah sosok yang begitu dekat dengan cucu-cucunya. Walau diriku hanya sempat mengenalnya kurang dari 9 tahun. Masih kuingat saat beliau membuatkanku sebuah sapu dan pengki berukuran mini, mungkin mengajarkan bahwa anak perempuan seharusnya rajin dan senantiasa menjaga kebersihan. Mbah Roko, semoga sudah berbahagia di sisi Allah swt. Aamiin. Alfaatihah.
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar