Akhir Mei 2000
42,50
lumayan tidak terlalu jauh dari nilai sempurna sebesar 50,00. Itulah yang
tertulis dalam lembar hasil NEM (Nilai Ebtanas Murni), disertai nama lengkapku.
Indigo Putri Amalia. Senangnya bukan main saat Pak Mahmud wali kelasku,
memberikan sebuah amplop besar berisi segala surat-surat penting yang
menandakan lulus tidaknya seorang murid sekolah dasar. Setelah mengucapkan
selamat padaku yang saat itu ditemani oleh Ibu, Pak Mahmud kemudian bertanya
kemana aku akan melanjutkan sekolah. Saat itu memang aku masih belum tahu
pasti, tapi yang jelas aku ingin melanjutkan ke sebuah SMP negeri yang banyak difavoritkan
oleh teman-teman seangkatan. Sebelum sempat aku menjawab, Ibu sudah mewakilinya
terlebih dahulu.
“Rencananya Indi akan saya sekolahkan di
sebuah pondok pesantren Pak, tapi masih dalam tahap survei ke beberapa tempat.
Jadi setelah ini kami akan berangkat menuju salah satu pondok pesantren di
Bogor. Buat melihat-lihat, karena kata beberapa kerabat kami, di sana
lingkungannya bersih dan juga luas.”
Jelas
saja aku terkejut, karena Ibu belum membicarakan masalah ini denganku. Wah,
tampaknya Ibu ingin membuat kejutan, yang menurutku lebih tepat sebagai sebuah
jebakan. Jebakan? Ya, karena beberapa hari lalu aku sudah membicarakan tentang
keinginanku melanjutkan di SMP negeri atau yang swasta juga tidak apa-apa seandainya
NEM-ku tidak mencukupi standar minimal. Aku juga tidak dapat membantah
perkataan beliau, karena sekarang kami sedang berada di ruang guru.
“Wah, sayang sekali ya Bu, padahal NEM Indi
memungkinkan untuk diterima di SMP negeri. Tapi ya sudah, tidak apa-apa.
Sekolah pada dasarnya di mana saja sama asalkan anaknya bisa mengikuti
pelajaran dengan baik.”
Setelah
Ibu berpamitan, Pak Mahmud memberikan sebuah amplop Hijau berukuran sedang
padaku. Sepertinya sebuah undangan, karena beberapa kali aku sempat melihat
orang tuaku mendapatkannya saat diundang ke acara pernikahan atau khitanan
saudara-saudara kami.
“Indi ini undangan untuk kedua orang tuamu
pada hari pelepasan siswa yang akan dilaksanakan dua minggu lagi. Nanti gladi
resiknya dua hari sebelum hari-H, jadi jangan lupa datang ke sekolah ya. Semoga
kamu bisa sukses di mana pun kamu menuntut ilmu.”
“Iya Pak, terima kasih juga selama ini sudah
mengajarkan banyak hal pada kami semua, sampai akhirnya bisa lulus.”
Kubalas
ucapan wali kelasku itu, sembari bersalaman dan berpamitan pulang, sebenarnya
bukan pulang tapi terpaksa ikut pergi melihat lokasi calon sekolah baruku
nanti.
Di
perjalanan menuju pesantren yang dimaksud Ibuku tadi, aku hanya diam tidak
bersemangat. Awalnya memang agak kesal karena ternyata saat acara pelepasan
siswa nanti, ternyata waktunya bersamaan dengan acara pernikahan salah satu
kerabat Ibu di luar kota. Dan seluruh keluarga akan menghadiri acara tersebut,
menurut Ibu lebih baik kita tidak usah hadir di pelepasan siswa itu, karena itu
hanya sekedar acara formalitas tapi tidak akan mempengaruhi kelulusanku. Jadi
tidak apa-apa tidak ikut.
Bayangkan!
Itu adalah hari terakhir saat aku bisa bertemu teman-teman dan para guru secara
lengkap, tapi aku sendiri tidak bisa berpartisipasi di acara itu. Namun, aku
lebih tidak bersemangat saat tahu kemana arah taksi ini melaju. Sepuluh menit, dua
puluh menit, empat puluh lima menit, dan kurang lebih satu jam sampailah kami
di lapangan parkir sebuah komplek dengan beberapa gedung yang tersebar di berbagai
sudut. kubaca dalam hati tulisan di sebuah papan besar berwarna hijau, “Pondok
Pesantren Al-Muttaqin Bogor.”
Halamannya
memang luas, ditambah lagi banyaknya jumlah pohon besar membuat suasana lebih
sejuk dibandingkan cuaca khas Jakarta. Sekilas dari kejauhan, teras di gedung
kelas dan asrama pun tidak tampak ada sampah, tapi suasananya sangat sepi.
Menurut seorang guru piket yang memandu kami berkeliling wilayah santri putri
ini, sekarang sedang jam pelajaran di kelas. Nanti sekitar setengah jam
menjelang waktu shalat Dzuhur barulah mereka pulang ke asrama untuk
bersiap-siap shalat berjama’ah di masjid, lalu makan siang, dan kembali ke
kelas untuk menerima pelajaran lagi.
Penjelasan
guru itu tidak terlalu kuperhatikan, sebab masih terbawa suasana hati yang
kurang baik. Guru itu pun menawari Ibu, jika kami ingin melihat-lihat keadaan
asrama tempat santriwati (sebutan untuk santri/murid perempuan), sebaiknya
menunggu sekitar 15 menit lagi karena itu adalah jam mereka pulang sekolah.
Akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan ke arah ruang makan, kamar mandi,
tempat menjemur pakaian, juga sempat duduk sebentar di koperasi pesantren meski
saat itu tutup, dikarenakan masih waktu belajar.
Ketika
bel berbunyi, lebih tepat jika kusebut lonceng raksasa. Karena lonceng yang
berada di tengah bagian pemisah antara asrama putra dan putri itu memang
berukuran sangat besar. Mungkin sesuai dengan fungsinya, yaitu supaya seluruh
warga pesantren dapat mendengar suaranya, saat berada di mana pun selama masih di
dalam wilayah pesantren.
Dari
jauh terlihat mungkin ratusan murid perempuan berseragam putih abu-abu dan juga
putih biru, serta tidak ketinggalan sebuah kain penutup rambut di kepala mereka,
berjalan ramai-ramai dari arah gedung kelas menuju gedung asrama, tepatnya
menuju kamar tinggal masing-masing.
Seketika
itu pula sebagai penutup tur singkat siang itu, guru pemandu kami segera
mengantar aku dan Ibu ke salah satu kamar di sebuah lorong asrama yang terdekat
dengan koperasi. Ternyata satu kamar ditempati oleh sekitar sepuluh sampai
empat belas orang, dengan lemari berjumlah sama dengan jumlah orangnya, dan
ranjang tingkat sekitar lima sampai tujuh ranjang. Ibu juga sempat menanyakan
beberapa hal kepada beberapa orang dari santriwati, yang ternyata ada beberapa
orang yang juga berasal dari daerah sekitar tempat tinggal kami di Jakarta. Ada
pula yang berasal dari luar kota dan luar pulau.
Pernyataan
mereka yang menyatakan bahwa sekolah itu sangat menyenangkan, membuat Ibu
semakin yakin untuk menyekolahkanku di sana. Itu terbukti saat Ibu sedikit
menjelaskan bahwa daripada lokasi pesantren lain yang pernah Ibu lihat saat aku
tidak ikut karena masih ujian beberapa bulan lalu, jelas ini jauh lebih bersih
dan sejuk. Ayah yang baru saja pulang dari kantor dan menjemput kami di
pesantren ini, juga mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum padaku,
membenarkan pernyataan Ibu.
Di
mobil dalam perjalanan pulang ke rumah, Ibu dan Ayah terus berusaha membujukku
yang masih tampak cemberut, dengan membandingkan bahwa sekarang pesantren sudah
lebih moderen, berbeda dengan zaman Ayah dan Ibu yang masih sangat
memprihatinkan. Memang keduanya juga pernah menimba ilmu di pesantren. Kalau
dipikir-pikir mau di pesantren mana pun tetap itu bukan kemauanku, jadi
daripada capek-capek pergi ke
pesantren lain yang tetap saja terpaksa, maka kuanggukkan kepalaku dengan
lemah, menyetujui dengan berat hati.
Pertengahan Juni 2000
Kemeriahan
suasana hajatan yang diadakan kerabat dari Ibu, tidak mampu membuatku ceria.
Hal ini karena badan dan pikiranku tidak berada di tempat yang sama. Meski
jelas-jelas tubuh ini ada di dalam sebuah gedung mewah, dengan berbagai jenis
makanan yang bisa dinikmati sepuasnya, tapi pikiranku terbang ke aula di
sekolah. Acara gladi resik pelepasan siswa SD Bintang Kecil angkatan 2000, yang
acaranya akan diadakan besok.
Aku
sengaja tidak memberitahukan ketidakhadiranku pada guru-guru atau Rahmi,
sahabatku sejak kelas 3 SD, karena jika mengabarkan terlebih dahulu pasti aku
akan dibujuk untuk tetap mengikuti acara yang hanya akan dirasakan sekali
setelah enam tahun belajar. Aku akan semakin sedih jika mengingatnya, apalagi
mengingat kenyataan bahwa aku akan segera sekolah dan tinggal di pesantren,
yang jelas tidak sebebas anak-anak SMP lainnya. Memang sejak dulu aku iri saat
melihat kakak-kakak kelas yang sudah duduk di bangku SMP bisa main ke toko buku
di mal sepulang sekolah. Memang toko buku adalah tempat favoritku saat pergi ke
mal.
Belum
lagi saat kuingat bahwa tiga hari lagi harus mengikuti ujian masuk calon santri
baru di pesantren Al-Muttaqin. Walaupun sudah diberitahu bahwa yang diujikan
adalah materi pelajaran umum dan pengetahuan baca tulis Al-qur’an, tidak ada
niat sedikit pun untuk belajar, dengan harapan supaya tidak lolos seleksi dan
batal masuk pesantren.
Doa Orang Tua Memang Top
Aku
merasa tidak begitu antusias saat mengerjakan soal ujian masuk pesantren, dan
ketika diminta membaca Al-qur’an pun sangat jauh dari kategori lancar. Namun,
ketika harapan orang tua begitu besar, bukan hal mustahil untuk dikabulkan oleh
Sang Maha Kuasa. Sekitar pukul empat sore, hasil ujian pun ditempel di papan
pengumuman yang terletak di ruang tamu berukuran hampir sama dengan ruang
kelasku saat SD. Kutelusuri deretan nama di selembar kertas itu, dan kutemukan
namaku. Indigo Putri Amalia, tepat di atas nama seorang teman baru yang kukenal
sebelum waktu ujian dimulai.
Ya,
teman pertamaku di pesantren ini, Adinda Nur Utami. Berbeda denganku yang
terpaksa masuk pesantren, dia memilki kemauan sendiri karena melihat saudara
sepupunya yang mandiri dan pintar berpidato setelah belajar di Gontor, sebuah daerah
di Jawa Timur yang terkenal dengan banyaknya jumlah pesantren.
Hari ini memang
hanya sekitar sepuluh orang yang ikut tes, yang lainnya pun anak laki-laki jadi
kami segan untuk berkenalan. Sebetulnya jumlah peminatnya lumayan banyak,
sekitar 150 orang menurut informasi guru piket di sana, tetapi yang lain sudah
terlebih dahulu ikut ujian di gelombang pertama. Gelombang kedua ini diadakan
untuk memberi kesempatan mereka yang tidak dapat hadir di ujian gelombang
pertama, namun masih ingin sekolah di pesantren ini. Karena jumlah peserta yang
sedikit itulah pengumumannya juga sangat cepat, lain dengan gelombang pertama
yang membutuhkan waktu seminggu untuk mengetahui hasilnya.
Tampak senyum bahagia di wajah kedua orang tuaku, tapi saat itu seolah ada monster yang siap memberontak di ruang rasaku. Tentu saja kutahan agar monster itu tidak benar-benar keluar dalam bentuk teriakan nyata. Tanganku mengepal semakin kencang untuk menahan emosi. Arrrrrrrgggggggggghhhhhh!!! (Bersambung
ya…)
(Bagaimana
kelanjutan hari-hari yang akan dilalui oleh Indi menjelang resmi disebut sebagai seorang santriwati?
Nantikan kelanjutannya di blog yang sama, pada waktu yang belum dapat
ditentukan. Hehe, maklum penulisnya baru mulai belajar menulis cerbung. Sampai
jumpa ^_^.)