Daisypath - Personal pictureDaisypath Anniversary tickers

Sabtu, 20 Juli 2013

CARA CERDAS PILIH JAJANAN SEHAT UNTUK ANANDA (2)

2.
MENGAPA ANAK SUKA JAJAN?

        Setiap aktivitas atau tindakan individu yang dapat diamati, disebut perilaku. Menurut Notoadmojo (2007) dalam Hayati (2009), disebutkan bahwa perilaku dapat dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan) dan faktor lingkungan. Faktor genetik menunjukkan bahwa orang tua atau keluarga sebagai pembentuk konsep awal atau modal untuk perkembangan perilaku di kehidupan selanjutnya (masa depan). Sedangkan lingkungan berperan sebagai tempat perkembangan suatu perilaku, sehingga kedua faktor tersebut akan membentuk suatu proses belajar seseorang sehingga dapat memutuskan berbagai hal dalam kehidupannya.

Kebiasaan mengkonsumsi jajanan akan mempengaruhi kondisi kesehatan, sehingga termasuk dalam suatu perilaku kesehatan. Perilaku kesehatan merupakan berbagai aktifitas yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, dan sangat berhubungan dengan kebutuhan fisik serta mental manusia seperti konsumsi makanan bergizi, olahraga teratur, istirahat cukup, manajemen stres dan aktifitas ibadah (Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999 dalam Hayati (2009).

       Untuk merasakan nikmat sehat, maka keseluruhan perilaku kesehatan di atas harus dilakukan secara bersamaan. Rutin berolahraga dan tidak merokok, tetapi tidak mengkonsumsi buah dan sayur, dapat menyebabkan gangguan pencernaan. Hal tersebut terjadi karena buah dan sayur merupakan jenis pangan sumber serat yang sangat baik untuk sistem pencernaan.

Terdapat beberapa kekurangan dari kebiasaan jajan (Moehji, 2003 dalam Yulianingsih, 2009), di antaranya:

1)   Jajanan biasanya lebih banyak mengadung karbohidrat dibandingkan zat-zat gizi lain yang diperlukan tubuh. Sehingga sering ditemukan kasus kekurangan gizi (protein, vitamin, dan mineral) pada anak-anak.

2)   Apabila anak terlalu banyak mengkonsumsi makanan jajanan, dapat membuatnya kekenyangan. Hal ini dapat menyebabkan anak menolak makanan utama (nasi dengan lauk-pauk dan sayur).

3)   Kebersihan pangan jajanan sangat diragukan. Hal ini semakin mengkhawatirkan bila jajanan dibiarkan terbuka tanpa kemasan.

4)   Anak yang sudah terbiasa jajan, seringkali menangis dan tidak mau makan jika dilarang membeli jajanan tertentu.

5)   Kebiasaan jajan kurang baik jika dilihat dari sudut pandang pendidikan. Terutama apabila anak hanya diberikan uang dan dibiarkan memilih dan membeli sendiri jajanan yang diinginkan.

        Selain hal-hal terkait sisi negatif dari kebiasaan jajan di atas, satu lagi masalah yang ditimbulkan, yaitu sifat boros. Menuruti setiap keinginan anak untuk jajan tanpa kita awasi atau dikendalikan, akan menanamkan budaya konsumtif dan boros pada anak. Sejak usia dini, sebaiknya anak diajarkan untuk berhemat, dan menggunakan uang secara tidak berlebihan. Salah satu caranya adalah dengan meminimalisir kebiasaan jajan anak dengan menyediakan camilan sehat di rumah.

       Setiap manusia tidak akan melakukan sesuatu tanpa didasari alasan tertentu. Begitu pula anak-anak, mereka tidak mungkin meminta, memilih, dan mengkonsumsi berbagai jenis jajanan, kalau tidak adanya faktor-faktor yang memicu anak melakukan hal tersebut. Purwantiningsih (2006) menyatakan faktor-faktor yang berhubungan dengan pemilihan jenis makanan jajanan di sekolah, yaitu: pengetahuan gizi dan kesehatan, kebiasaan sarapan, pemilihan makanan berdasarkan empat hal (rasa, status sosial, kesehatan, dan harga), uang saku, makanan jajanan yang tersedia di kantin sekolah, iklan di televisi, serta faktor pengaruh dari orang tua, teman sekolah, dan wali kelas (guru).

        Beberapa faktor yang mempengaruhi kebiasaan jajan dan sikap pemilihan jajanan pada anak-anak, di antaranya yaitu:

a.        Orang Tua
Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari beberapa universitas di Amerika, menunjukkan bahwa ibu bekerja (lebih banyak beraktivitas di luar rumah) cenderung memiliki anak yang mengalami kegemukan (Child Development Journal, edisi Januari/Februari 2011). Hal tersebut kemungkinan besar dapat disebabkan oleh pengawasan yang kurang dari orang tua, ditambah pengaruh lingkungan yang membuat anak mengkonsumsi segala jenis makanan sesukanya.

Tanpa disadari, kebiasaan jajan pada anak terkadang dikenalkan oleh orang tua. Misalnya pada orang tua yang bekerja atau tidak sempat membuatkan makanan selingan (camilan) untuk anaknya. Alasan kepraktisan membuat orang tua lebih memilih membelikan aneka jajanan seperti makanan kemasan atau pun jenis jajanan yang sering dijual oleh pedagang di sekitar rumah. Rasa dan bentuk pangan jajanan yang dikonsumsi anak sejak kecil akan terus diingat, dan menjadi kebiasaan yang terbawa sampai dewasa.

Penelitian yang dilakukan oleh Supriadi (2006), menunjukkan bahwa para ibu di salah satu desa di Kabupaten Cilacap, lebih memperhatikan warna, bentuk, kemasan makanan, dan harga yang terjangkau, untuk memilih makanan jajanan dalam kemasan. Namun, mereka kurang memperhatikan asal produksi makanan-makanan tersebut. Terkait masalah ini, kita sebaiknya aktif mencari, mempelajari, dan mau menerima informasi tentang makanan yang tepat dikonsumsi anak, serta mempraktekkannya di kehidupan sehari-hari.
 
b.        Jumlah Uang Saku
Jumlah uang saku yang diberikan kepada anak terutama bagi anak yang sudah sekolah, biasanya tergantung pada status ekonomi orang tua (keluarga). Namun saat ini sudah banyak sekolah yang menerapkan sistem katering (sekolah menyediakan makan siang dan camilan untuk siswa), sehingga anak tidak perlu membawa uang ke sekolah meskipun orang tuanya berstatus ekonomi mapan.

Banyak alasan yang membuat orang tua memberikan uang saku/uang jajan kepada anak. Suci (2009) menemukan beberapa alasan orang tua dari siswa SD yang biasa memberikan uang saku kepada anak. Alasan tersebut ditanyakan kepada anak/siswa yang bersangkutan, dengan jawaban: anggapan orang tua supaya anak bisa seperti teman lainnya, anak bisa mentraktir temannya, anak tidak minder, dapat memilih makanan sendiri, dan supaya anak dapat menabung untuk membeli keperluan mendadak.

Jumlah uang saku yang lebih banyak memungkinkan anak dapat membeli berbagai jajanan. Sedangkan uang saku yang lebih sedikit akan membatasi pilihan jenis jajanan. Sebaliknya jika ketersediaan jajanan terbatas, juga akan membatasi kebiasaan jajan anak, meskipun memiliki uang saku dalam jumlah besar.

c.         Pengetahuan Tentang Gizi
Solihin (2005) dalam Yulianingsih (2009) menyatakan bahwa pengetahuan gizi yang dimiliki seorang anak akan mempengaruhi sikapnya dalam memilih makanan. Semakin baik pengetahuan anak tentang gizi (makanan), semakin tepat pula sikap dan perilaku anak dalam memilih dan menentukan jenis jajanan. Pengetahuan tentang gizi dapat diperoleh dari orang tua, anggota keluarga terdekat, pengasuh, atau guru di sekolah. Ketika anak melihat temannya mengalami keracunan atau mengalaminya sendiri setelah mengkonsumsi jajanan tertentu, juga dapat dikatakan sebagai pengetahuan berdasarkan pengalaman yang dialami secara langsung.

Pernyataan di atas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fermia (2008), pada siswa kelas 3 – 6 SD di daerah Depok. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi makanan ringan yang sering pada siswa dengan kategori pengetahuan gizi yang kurang (52%) lebih besar daripada siswa yang memiliki pengetahuan tentang gizi yang baik (48,3%).

Namun, beberapa penelitian lain bisa saja mengungkapkan ketiadaan hubungan antara pengetahuan gizi dengan kebiasaan jajan pada anak. Hal ini bisa terjadi karena faktor lain, seperti pengaruh teman, atau kecenderungan anak yang lebih mementingkan rasa dan penampilan jajanan.

d.        Kebiasaan Sarapan
Sarapan atau makan pagi sangat penting sebagai cadangan energi untuk beraktivitas. Terutama untuk meningkatkan konsentrasi anak dalam belajar dan aktivitas fisik lainnya. Namun tidak semua anak terbiasa sarapan. Apalagi jika kebiasaan meninggalkan sarapan juga dilakukan oleh orang tua. Banyak alasan yang membuat anak terkadang tidak mau sarapan, terutama pada anak usia sekolah. Beberapa di antara alasannya yaitu: jarak sekolah yang cukup jauh sehingga waktu sarapan menjadi terbatas/hampir tidak ada, tidak berselera untuk sarapan, atau terlambat bangun pagi (Khomsan, 2003).

Fermia (2008) juga menemukan bahwa terdapat 66,7% siswa yang sering mengkonsumsi makanan ringan, yang juga terbiasa melewatkan sarapan. Sedangkan siswa yang sering mengkonsumsi makanan ringan dan terbiasa sarapan berjumlah lebih rendah (49,1%) daripada siswa yang tidak sarapan.

Apa saja penyakit atau masalah kesehatan yang dapat muncul jika seseorang melewatkan sarapan? Berikut ini beberapa dampak atau akibat kebiasaan tidak mengawali aktivitas sehari-hari dengan sarapan terlebih dahulu:
·    Diabetes. Ketika bangun tidur, kadar gula darah akan menurun. Maka sarapan merupakan upaya yang dilakukan untuk menormalkan kembali kadar gula darah. Apabila kita melewatkan sarapan, maka kadar gula darah tidak akan naik ke tingkat yang normal, dan ini menjadi salah satu faktor pemicu penyakit Diabetes Mellitus atau biasa disebut dengan kencing manis.

·    Obesitas (kegemukan). Mungkin aneh mendengar fakta bahwa tidak makan pagi akan menyebabkan obesitas. Padahal banyak orang yang rela menahan lapar di pagi hari demi menurunkan berat badan. Tanpa sarapan kita akan merasa sangat lapar di waktu makan siang. Nafsu makan meningkat dan meningkatkan porsi makan melebihi porsi yang normal. Asupan makanan berlebih dapat mengakibatkan cadangan energi menjadi berlebihan. Energi (kalori) berlebih yang tidak digunakan beraktivitas fisik, akan diubah menjadi lemak dan ditimbun di dalam tubuh. Timbunan lemak inilah yang menyebabkan obesitas.

·    Mengalami penurunan/kemunduran fungsi otak. Tidak sarapan akan membuat otak kekurangan nutrisi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Inilah sebabnya mengapa seseorang yang tidak sarapan akan terlihat lemas, lesu, sulit berkonsentrasi, dan tidak bersemangat.

·    Penyakit jantung. Para peneliti dari University of Tasmania melakukan sebuah riset, yang menunjukkan bahwa kebiasaan tidak sarapan (dilakukan dalam jangka waktu lama) dapat meningkatkan risiko mengidap penyakit jantung. Sebanyak 2.184 orang dipantau kesehatannya selama 20 tahun. Hasil pemantauan tersebut membuktikan bahwa sering melewatkan sarapan, dapat memicu peningkatan kadar kolesterol dan penimbunan lemak di sekitar perut. Penumpukan kolesterol dan lemak di dalam tubuh, menjadi faktor utama risiko penyakit jantung. Risikonya pun semakin meningkat apabila kebiasaan tidak sarapan dilakukan sejak masa anak-anak (Dipublikasikan American Journal of Clinical Nutrition, dari http://kosmo.vivanews.com).

e.         Pengaruh Teman Sebaya
Ketika berjalan-jalan di sekitar rumah, anak merengek minta dibelikan jajanan berupa telur dadar ukuran kecil yang dijual di pinggir jalan. Sebagai orang tua yang tidak pernah mengenalkan makanan tersebut, kita terkejut dan tidak percaya bahwa anak menyukai jajanan itu. Namun, tidak aneh jika orang-orang di sekitar anak yang mengenalkan kebiasaan membeli dan mengkonsumsi makanan jajanan.

Teman sebaya di lingkungan rumah (tetangga) atau di sekolah, berperan mempengaruhi keputusan anak ketika memilih jajanan. Terdapat perasaan bahwa anak diterima di lingkungan bermainnya ketika ia mengikuti perilaku teman-temannya. Termasuk kebiasaan jajan, meskipun anak di rumah sudah diajarkan untuk memilih makanan yang bersih dan sehat. Ginting (2007) dalam Dewi (2010) menyatakan bahwa alasan para murid SD terbiasa jajan, di antaranya: karena lapar, diajak oleh teman, ingin mengkonsumsi jajanan, dan hanya iseng.

Kecenderungan anak belajar dan meniru perilaku dari teman sebaya, sesuai dengan fungsi teman sebaya yang diungkapkan oleh Hartup (1992) dalam artikel yang ditulis oleh Didi Tarsidi mengenai perkembangan kompetensi sosial anak (http://file.upi.edu), yaitu:

·      Hubungan teman sebaya sebagai sumber emosi (dapat memberikan rasa senang atau kebahagiaan).
·      Hubungan teman sebaya sebagai sumber kognitif (memberikan pengetahuan dan membantu memecahkan masalah).

·      Hubungan sosial untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan sosial dasar (keterampilan komunikasi, kerja sama, dan bergabung ke dalam suatu kelompok).

·   Hubungan teman sebaya sebagai landasan terjalinnya hubungan-hubungan lain (misal dengan saudara kandung) yang lebih harmonis. Pada anak usia pra-sekolah yang memiliki hubungan baik dengan teman sebaya, memungkinkan hubungan yang baik pula dengan kakak atau adiknya.

f.         Jenis Kelamin
Sebuah penelitian di Cina (Sakamaki et.al, 2005 dalam Fermia P, 2008) mengungkapkan kenyataan bahwa frekuensi konsumsi makanan ringan lebih besar pada anak perempuan (31,1%) dibandingkan konsumsi makanan ringan pada anak laki-laki (11,5%). Namun pada beberapa penelitian lainnya tidak ditemukan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kebiasaan jajan.

g.        Media Massa (Iklan)
Salah satu media yang paling mudah diakses oleh anak adalah televisi. Bahkan terkadang pengasuhan anak dilakukan di depan televisi. Pernahkah kita menyuapi anak sembari menyalakan televisi? Atau menyalakan televisi dan membiarkan anak berlama-lama di depan televisi, untuk menenangkannya ketika rewel?

Berbagai penelitian menunjukkan hubungan antara kebiasaan menonton televisi dengan kasus kegemukan. Kebiasaan menonton televisi ditambah mengkonsumsi makanan ringan (ngemil), akan menumpuk energi dalam tubuh jika aktivitas fisik/olahraga tidak dilakukan secara teratur. Sebaiknya kita mengalihkan perhatian anak dari televisi dengan mengajaknya bermain sambil berolahraga (bermain sepeda,  berenang, bermain bola), atau melibatkan anak membersihkan rumah dan memasak camilan sehat. Untuk anak yang sudah memasuki usia sekolah, kita dapat membimbingnya belajar atau mengerjakan PR dengan suasana yang menyenangkan, sehingga anak tidak ingin menonton televisi.

Iklan yang ditayangkan seringkali mempromosikan makanan atau minuman yang kurang baik bagi kesehatan. terutama jika dikonsumsi dengan jumlah berlebihan. Semakin banyak produk jajanan/makanan ringan yang disaksikan anak dari televisi, akan meningkatkan rasa penasaran terhadap rasa produk yang diiklankan. Suatu penelitian menggambarkan kecenderungan peningkatan konsumsi makanan ringan dengan kebiasaan anak dalam menonton televisi. Pada anak yang menonton televisi selama lebih dari dua jam per hari, mengkonsumsi makanan ringan dalam jumlah yang lebih banyak (57,4%) dibandingkan dengan anak yang menonton televisi kurang dari 2 jam (43,1%).

Apabila anak semakin sering melihat iklan makanan yang ditayangkan di televisi, maka terdapat peningkatan keinginan anak untuk mencoba produk makanan yang diklankan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Raharjo (2008) pada anak-anak yang bersekolah di salah satu SD favorit di Bandar Lampung, terdapat keterkaitan antara pengaruh iklan makanan dengan sikap konsumtif (keinginan membeli dan mencoba) produk yang diiklankan. Sedangkan jenis makanan yang paling disukai anak-anak yaitu berbagai jenis “chiki” (46, 7%), kemudian diikuti oleh jenis bolu (16,6%). 

Melihat jenis jajanan yang paling banyak dikonsumsi oleh anak, sebaiknya kita membuat camilan sehat di rumah. Pilih bahan yang sehat tetapi bentuk makanan seperti tampilan pangan jajanan yang sering dikonsumsi oleh anak. Misalnya anak suka sekali mengkonsumsi aneka keripik dengan rasa gurih karena kandungan MSG yang ada dalam jajanan itu sangat banyak. Maka kita dapat membuat aneka keripik atau gorengan berbahan dasar buah atau sayur. Kemudian sajikan dengan hiasan atau kombinasi warna alami yang menarik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar