2.
MENGAPA
ANAK SUKA JAJAN?
Setiap aktivitas atau
tindakan individu yang dapat diamati, disebut perilaku. Menurut Notoadmojo
(2007) dalam Hayati (2009), disebutkan bahwa perilaku dapat dipengaruhi oleh
faktor genetik (keturunan) dan faktor lingkungan. Faktor genetik menunjukkan
bahwa orang tua atau keluarga sebagai pembentuk konsep awal atau modal untuk
perkembangan perilaku di kehidupan selanjutnya (masa depan). Sedangkan
lingkungan berperan sebagai tempat perkembangan suatu perilaku, sehingga kedua
faktor tersebut akan membentuk suatu proses belajar seseorang sehingga dapat
memutuskan berbagai hal dalam kehidupannya.
Kebiasaan mengkonsumsi jajanan akan
mempengaruhi kondisi kesehatan, sehingga termasuk dalam suatu perilaku
kesehatan. Perilaku kesehatan merupakan berbagai aktifitas yang dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari, dan sangat berhubungan dengan kebutuhan fisik serta
mental manusia seperti konsumsi makanan bergizi, olahraga teratur, istirahat
cukup, manajemen stres dan aktifitas ibadah (Hitchcock, Schubert & Thomas,
1999 dalam Hayati (2009).
Untuk merasakan nikmat
sehat, maka keseluruhan perilaku kesehatan di atas harus dilakukan secara
bersamaan. Rutin berolahraga dan tidak merokok, tetapi tidak mengkonsumsi buah
dan sayur, dapat menyebabkan gangguan pencernaan. Hal tersebut terjadi karena
buah dan sayur merupakan jenis pangan sumber serat yang sangat baik untuk
sistem pencernaan.
Terdapat beberapa
kekurangan dari kebiasaan jajan (Moehji, 2003 dalam Yulianingsih, 2009), di
antaranya:
1) Jajanan
biasanya lebih banyak mengadung karbohidrat dibandingkan zat-zat gizi lain yang
diperlukan tubuh. Sehingga sering ditemukan kasus kekurangan gizi (protein,
vitamin, dan mineral) pada anak-anak.
2) Apabila
anak terlalu banyak mengkonsumsi makanan jajanan, dapat membuatnya kekenyangan.
Hal ini dapat menyebabkan anak menolak makanan utama (nasi dengan lauk-pauk dan
sayur).
3) Kebersihan
pangan jajanan sangat diragukan. Hal ini semakin mengkhawatirkan bila jajanan
dibiarkan terbuka tanpa kemasan.
4) Anak
yang sudah terbiasa jajan, seringkali menangis dan tidak mau makan jika
dilarang membeli jajanan tertentu.
5) Kebiasaan
jajan kurang baik jika dilihat dari sudut pandang pendidikan. Terutama apabila
anak hanya diberikan uang dan dibiarkan memilih dan membeli sendiri jajanan
yang diinginkan.
Selain hal-hal terkait
sisi negatif dari kebiasaan jajan di atas, satu lagi masalah yang ditimbulkan,
yaitu sifat boros. Menuruti setiap keinginan anak untuk jajan tanpa kita awasi atau
dikendalikan, akan menanamkan budaya konsumtif dan boros pada anak. Sejak usia
dini, sebaiknya anak diajarkan untuk berhemat, dan menggunakan uang secara
tidak berlebihan. Salah satu caranya adalah dengan meminimalisir kebiasaan
jajan anak dengan menyediakan camilan sehat di rumah.
Setiap manusia tidak
akan melakukan sesuatu tanpa didasari alasan tertentu. Begitu pula anak-anak,
mereka tidak mungkin meminta, memilih, dan mengkonsumsi berbagai jenis jajanan,
kalau tidak adanya faktor-faktor yang memicu anak melakukan hal tersebut.
Purwantiningsih (2006) menyatakan faktor-faktor yang berhubungan dengan
pemilihan jenis makanan jajanan di sekolah, yaitu: pengetahuan gizi dan
kesehatan, kebiasaan sarapan, pemilihan makanan berdasarkan empat hal (rasa,
status sosial, kesehatan, dan harga), uang saku, makanan jajanan yang tersedia
di kantin sekolah, iklan di televisi, serta faktor pengaruh dari orang tua,
teman sekolah, dan wali kelas (guru).
Beberapa faktor yang
mempengaruhi kebiasaan jajan dan sikap pemilihan jajanan pada anak-anak, di
antaranya yaitu:
a.
Orang
Tua
Penelitian yang
dilakukan oleh para peneliti dari beberapa universitas di Amerika, menunjukkan
bahwa ibu bekerja (lebih banyak beraktivitas di luar rumah) cenderung memiliki
anak yang mengalami kegemukan (Child Development Journal, edisi Januari/Februari 2011). Hal tersebut kemungkinan
besar dapat disebabkan oleh pengawasan yang kurang dari orang tua, ditambah
pengaruh lingkungan yang membuat anak mengkonsumsi segala jenis makanan
sesukanya.
Tanpa disadari,
kebiasaan jajan pada anak terkadang dikenalkan oleh orang tua. Misalnya pada
orang tua yang bekerja atau tidak sempat membuatkan makanan selingan (camilan)
untuk anaknya. Alasan kepraktisan membuat orang tua lebih memilih membelikan
aneka jajanan seperti makanan kemasan atau pun jenis jajanan yang sering dijual
oleh pedagang di sekitar rumah. Rasa dan bentuk pangan jajanan yang dikonsumsi
anak sejak kecil akan terus diingat, dan menjadi kebiasaan yang terbawa sampai
dewasa.
Penelitian yang
dilakukan oleh Supriadi (2006), menunjukkan bahwa para ibu di salah satu desa
di Kabupaten Cilacap, lebih memperhatikan warna, bentuk, kemasan makanan, dan
harga yang terjangkau, untuk memilih makanan jajanan dalam kemasan. Namun,
mereka kurang memperhatikan asal produksi makanan-makanan tersebut. Terkait
masalah ini, kita sebaiknya aktif mencari, mempelajari, dan mau menerima
informasi tentang makanan yang tepat dikonsumsi anak, serta mempraktekkannya di
kehidupan sehari-hari.
b.
Jumlah
Uang Saku
Jumlah uang saku
yang diberikan kepada anak terutama bagi anak yang sudah sekolah, biasanya
tergantung pada status ekonomi orang tua (keluarga). Namun saat ini sudah
banyak sekolah yang menerapkan sistem katering (sekolah menyediakan makan siang
dan camilan untuk siswa), sehingga anak tidak perlu membawa uang ke sekolah meskipun
orang tuanya berstatus ekonomi mapan.
Banyak alasan
yang membuat orang tua memberikan uang saku/uang jajan kepada anak. Suci (2009)
menemukan beberapa alasan orang tua dari siswa SD yang biasa memberikan uang
saku kepada anak. Alasan tersebut ditanyakan kepada anak/siswa yang
bersangkutan, dengan jawaban: anggapan orang tua supaya anak bisa seperti teman
lainnya, anak bisa mentraktir temannya, anak tidak minder, dapat memilih
makanan sendiri, dan supaya anak dapat menabung untuk membeli keperluan
mendadak.
Jumlah uang saku
yang lebih banyak memungkinkan anak dapat membeli berbagai jajanan. Sedangkan
uang saku yang lebih sedikit akan membatasi pilihan jenis jajanan. Sebaliknya
jika ketersediaan jajanan terbatas, juga akan membatasi kebiasaan jajan anak,
meskipun memiliki uang saku dalam jumlah besar.
c.
Pengetahuan
Tentang Gizi
Solihin (2005)
dalam Yulianingsih (2009) menyatakan bahwa pengetahuan gizi yang dimiliki
seorang anak akan mempengaruhi sikapnya dalam memilih makanan. Semakin baik
pengetahuan anak tentang gizi (makanan), semakin tepat pula sikap dan perilaku
anak dalam memilih dan menentukan jenis jajanan. Pengetahuan tentang gizi dapat
diperoleh dari orang tua, anggota keluarga terdekat, pengasuh, atau guru di sekolah.
Ketika anak melihat temannya mengalami keracunan atau mengalaminya sendiri
setelah mengkonsumsi jajanan tertentu, juga dapat dikatakan sebagai pengetahuan
berdasarkan pengalaman yang dialami secara langsung.
Pernyataan di
atas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fermia (2008), pada siswa
kelas 3 – 6 SD di daerah Depok. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa frekuensi
konsumsi makanan ringan yang sering pada siswa dengan kategori pengetahuan gizi
yang kurang (52%) lebih besar daripada siswa yang memiliki pengetahuan tentang
gizi yang baik (48,3%).
Namun, beberapa
penelitian lain bisa saja mengungkapkan ketiadaan hubungan antara pengetahuan
gizi dengan kebiasaan jajan pada anak. Hal ini bisa terjadi karena faktor lain,
seperti pengaruh teman, atau kecenderungan anak yang lebih mementingkan rasa
dan penampilan jajanan.
d.
Kebiasaan
Sarapan
Sarapan atau
makan pagi sangat penting sebagai cadangan energi untuk beraktivitas. Terutama
untuk meningkatkan konsentrasi anak dalam belajar dan aktivitas fisik lainnya.
Namun tidak semua anak terbiasa sarapan. Apalagi jika kebiasaan meninggalkan
sarapan juga dilakukan oleh orang tua. Banyak alasan yang membuat anak
terkadang tidak mau sarapan, terutama pada anak usia sekolah. Beberapa di
antara alasannya yaitu: jarak sekolah yang cukup jauh sehingga waktu sarapan
menjadi terbatas/hampir tidak ada, tidak berselera untuk sarapan, atau
terlambat bangun pagi (Khomsan, 2003).
Fermia (2008)
juga menemukan bahwa terdapat 66,7% siswa yang sering mengkonsumsi makanan
ringan, yang juga terbiasa melewatkan sarapan. Sedangkan siswa yang sering
mengkonsumsi makanan ringan dan terbiasa sarapan berjumlah lebih rendah (49,1%)
daripada siswa yang tidak sarapan.
Apa saja penyakit
atau masalah kesehatan yang dapat muncul jika seseorang melewatkan sarapan?
Berikut ini beberapa dampak atau akibat kebiasaan tidak mengawali aktivitas
sehari-hari dengan sarapan terlebih dahulu:
·
Diabetes. Ketika bangun tidur, kadar
gula darah akan menurun. Maka sarapan merupakan upaya yang dilakukan untuk
menormalkan kembali kadar gula darah. Apabila kita melewatkan sarapan, maka
kadar gula darah tidak akan naik ke tingkat yang normal, dan ini menjadi salah
satu faktor pemicu penyakit Diabetes Mellitus atau biasa disebut dengan
kencing manis.
·
Obesitas (kegemukan). Mungkin aneh
mendengar fakta bahwa tidak makan pagi akan menyebabkan obesitas. Padahal
banyak orang yang rela menahan lapar di pagi hari demi menurunkan berat badan. Tanpa
sarapan kita akan merasa sangat lapar di waktu makan siang. Nafsu makan
meningkat dan meningkatkan porsi makan melebihi porsi yang normal. Asupan
makanan berlebih dapat mengakibatkan cadangan energi menjadi berlebihan. Energi
(kalori) berlebih yang tidak digunakan beraktivitas fisik, akan diubah menjadi
lemak dan ditimbun di dalam tubuh. Timbunan lemak inilah yang menyebabkan
obesitas.
·
Mengalami penurunan/kemunduran fungsi
otak. Tidak sarapan akan membuat otak kekurangan nutrisi yang dibutuhkan untuk
menjalankan fungsinya dengan baik. Inilah sebabnya mengapa seseorang yang tidak
sarapan akan terlihat lemas, lesu, sulit berkonsentrasi, dan tidak bersemangat.
·
Penyakit jantung. Para peneliti dari University of Tasmania melakukan
sebuah riset, yang menunjukkan bahwa kebiasaan tidak sarapan (dilakukan dalam
jangka waktu lama) dapat meningkatkan risiko mengidap penyakit jantung.
Sebanyak 2.184 orang dipantau kesehatannya selama 20 tahun. Hasil pemantauan tersebut
membuktikan bahwa sering melewatkan sarapan, dapat memicu peningkatan kadar
kolesterol dan penimbunan lemak di sekitar perut. Penumpukan kolesterol dan
lemak di dalam tubuh, menjadi faktor utama risiko penyakit jantung. Risikonya
pun semakin meningkat apabila kebiasaan tidak sarapan dilakukan sejak masa
anak-anak (Dipublikasikan American
Journal of Clinical Nutrition, dari http://kosmo.vivanews.com).
e.
Pengaruh
Teman Sebaya
Ketika
berjalan-jalan di sekitar rumah, anak merengek minta dibelikan jajanan berupa telur
dadar ukuran kecil yang dijual di pinggir jalan. Sebagai orang tua yang tidak
pernah mengenalkan makanan tersebut, kita terkejut dan tidak percaya bahwa anak
menyukai jajanan itu. Namun, tidak aneh jika orang-orang di sekitar anak yang mengenalkan
kebiasaan membeli dan mengkonsumsi makanan jajanan.
Teman sebaya di
lingkungan rumah (tetangga) atau di sekolah, berperan mempengaruhi keputusan
anak ketika memilih jajanan. Terdapat perasaan bahwa anak diterima di
lingkungan bermainnya ketika ia mengikuti perilaku teman-temannya. Termasuk
kebiasaan jajan, meskipun anak di rumah sudah diajarkan untuk memilih makanan
yang bersih dan sehat. Ginting (2007) dalam Dewi (2010) menyatakan bahwa alasan
para murid SD terbiasa jajan, di antaranya: karena lapar, diajak oleh teman,
ingin mengkonsumsi jajanan, dan hanya iseng.
Kecenderungan
anak belajar dan meniru perilaku dari teman sebaya, sesuai dengan fungsi teman
sebaya yang diungkapkan oleh Hartup (1992) dalam artikel yang ditulis oleh Didi
Tarsidi mengenai perkembangan kompetensi sosial anak (http://file.upi.edu), yaitu:
·
Hubungan teman sebaya sebagai sumber
emosi (dapat memberikan rasa senang atau kebahagiaan).
·
Hubungan teman sebaya sebagai sumber
kognitif (memberikan pengetahuan dan membantu memecahkan masalah).
·
Hubungan sosial untuk memperoleh dan
meningkatkan keterampilan sosial dasar (keterampilan komunikasi, kerja sama,
dan bergabung ke dalam suatu kelompok).
· Hubungan teman sebaya sebagai landasan
terjalinnya hubungan-hubungan lain (misal dengan saudara kandung) yang lebih
harmonis. Pada anak usia pra-sekolah yang memiliki hubungan baik dengan teman
sebaya, memungkinkan hubungan yang baik pula dengan kakak atau adiknya.
f.
Jenis
Kelamin
Sebuah
penelitian di Cina (Sakamaki et.al, 2005 dalam Fermia P, 2008) mengungkapkan
kenyataan bahwa frekuensi konsumsi makanan ringan lebih besar pada anak
perempuan (31,1%) dibandingkan konsumsi makanan ringan pada anak laki-laki
(11,5%). Namun pada beberapa penelitian lainnya tidak ditemukan adanya hubungan
antara jenis kelamin dengan kebiasaan jajan.
g.
Media
Massa (Iklan)
Salah satu media
yang paling mudah diakses oleh anak adalah televisi. Bahkan terkadang
pengasuhan anak dilakukan di depan televisi. Pernahkah kita menyuapi anak
sembari menyalakan televisi? Atau menyalakan televisi dan membiarkan anak
berlama-lama di depan televisi, untuk menenangkannya ketika rewel?
Berbagai
penelitian menunjukkan hubungan antara kebiasaan menonton televisi dengan kasus
kegemukan. Kebiasaan menonton televisi ditambah mengkonsumsi makanan ringan (ngemil), akan menumpuk energi dalam
tubuh jika aktivitas fisik/olahraga tidak dilakukan secara teratur. Sebaiknya kita
mengalihkan perhatian anak dari televisi dengan mengajaknya bermain sambil
berolahraga (bermain sepeda, berenang,
bermain bola), atau melibatkan anak membersihkan rumah dan memasak camilan
sehat. Untuk anak yang sudah memasuki usia sekolah, kita dapat membimbingnya
belajar atau mengerjakan PR dengan suasana yang menyenangkan, sehingga anak
tidak ingin menonton televisi.
Iklan yang
ditayangkan seringkali mempromosikan makanan atau minuman yang kurang baik bagi
kesehatan. terutama jika dikonsumsi dengan jumlah berlebihan. Semakin banyak
produk jajanan/makanan ringan yang disaksikan anak dari televisi, akan
meningkatkan rasa penasaran terhadap rasa produk yang diiklankan. Suatu
penelitian menggambarkan kecenderungan peningkatan konsumsi makanan ringan
dengan kebiasaan anak dalam menonton televisi. Pada anak yang menonton televisi
selama lebih dari dua jam per hari, mengkonsumsi makanan ringan dalam jumlah yang
lebih banyak (57,4%) dibandingkan dengan anak yang menonton televisi kurang
dari 2 jam (43,1%).
Apabila anak
semakin sering melihat iklan makanan yang ditayangkan di televisi, maka
terdapat peningkatan keinginan anak untuk mencoba produk makanan yang diklankan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Raharjo (2008) pada anak-anak yang
bersekolah di salah satu SD favorit di Bandar Lampung, terdapat keterkaitan
antara pengaruh iklan makanan dengan sikap konsumtif (keinginan membeli dan
mencoba) produk yang diiklankan. Sedangkan jenis makanan yang paling disukai
anak-anak yaitu berbagai jenis “chiki”
(46, 7%), kemudian diikuti oleh jenis bolu (16,6%).
Melihat jenis jajanan yang paling banyak
dikonsumsi oleh anak, sebaiknya kita membuat camilan sehat di rumah. Pilih
bahan yang sehat tetapi bentuk makanan seperti tampilan pangan jajanan yang
sering dikonsumsi oleh anak. Misalnya anak suka sekali mengkonsumsi aneka
keripik dengan rasa gurih karena kandungan MSG yang ada dalam jajanan itu
sangat banyak. Maka kita dapat membuat aneka keripik atau gorengan berbahan
dasar buah atau sayur. Kemudian sajikan dengan hiasan atau kombinasi warna
alami yang menarik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar