Jika anak-anak zaman sekarang dikenal sebagai generasi kritis sejak usia dini, entah zaman dulu yang berbeda atau saya saja yang menjadi segelintir orang yang menjalani masa kecil minim level kritis ya?
Meski bulan Ramadhan disebut sebagai waktunya menahan lapar dan dahaga serta emosi, tapi justru bulan ini juga identik dengan kuliner, apalagi untuk melengkapi waktu berbuka puasa (sabar... masih lama euy Magrib-nya). Namun, kali ini tiba-tiba saya teringat pengalaman masa kecil saat bersantap sahur di rumah Mbah (Nenek dari Ibu) yang memang sangat berdekatan dengan rumah Bude (kakak dari Ibu) dan juga tempat tinggal Om (adik dari Ibu).
Jadi, karena saat itu kami yang tinggal di luar kota ini baru datang untuk merayakan hari raya Idul Fitri di kampung halaman, maka saat sahur semuanya berkumpul di rumah Mbah yang letaknya di antara rumah Bude dan kediaman keluarga Om. Seperti biasa, yang menyiapkan lauk pauk hidangan untuk kami semua ya Bude, mungkin dibantu juga oleh Ibu dan orang dewasa lainnya. Dulu saya masih dianggap terlalu kecil untuk bisa bantuin, jadi tinggal terima beres.
Sebenarnya lauk pauk yang ada cukup bervariasi, tapi karena didominasi ikan-ikanan (masih jadi super picky eater ceritanya) akhirnya saya hanya mengambil nasi putih dengan lauk telur mata sapi yang memang sengaja disiapkan Bude untuk jaga-jaga jika para anak-anak tidak mau makan ikan.
Satu suapan pertama, cukup mengejutkan saya. Tapi tidak berani lapor pada Ibu karena kebetulan kami duduk dengan posisi yang agak berjauhan. Otomatis kalau mau laporan, tidak bisa dengan berbisik, dan nanti terdengar oleh semua orang. Menurut saya, telur itu terlalu banyak dibubuhkan garam (alias keasinan). Tapi demi menjaga perasaan Bude yang sudah susah payah menyiapkan semuanya, akhirnya kuputuskan diam dan segera menuangkan kecap (sebanyak mungkin) di atas nasi dan telur ceplok, dengan harapan rasa asinnya bisa terselamatkan oleh rasa manis kecap.
Ternyata harapan itu tidak sesuai kenyataan. Rasa asin yang bagi saya saat itu teramat sangat, tidak cocok dicampur dengan rasa manis dari kecap yang super banyak di piring saya. Satu suap saya paksa kunyah dengan waktu sangat lama dan mungkin ditambah ekspresi wajah yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sampai akhirnya mungkin Ibu saya sepertinya mengetahui ada keanehan dengan diri saya. Memang sudah biasa kalau saya makan dalam waktu lama karena sejak kecil memang termasuk anak yang susah dibujuk makan. Tapi kali ini bukan hanya sekedar malas makan karena ngantuk, ada yang tidak beres.
Waktu santap sahur itu, memang hanya saya seorang yang mengambil telur mata sapi sebagai lauk. Jelas tidak ada yang tahu bagaimana rasa lauk itu, selain saya. Maka setelah Ibu menegur saya untuk segera menghabiskan makanan karena waktu imsak hampir tiba, akhirnya beliau tahu apa yang membuat saya begitu lama menghabiskan hidangan sahur kali itu. Jelas setelah beliau juga mencicipi telur yang ada di piring saya. Setelahnya saya tidak ingat lagi apa akhirnya makanan itu saya habiskan atau terbuang? Apakah Ibu menyampaikan hal itu pada Bude atau tidak? Yang jelas sensasi menahan rasa asin bercampur manis kecap, sambil menahan supaya tidak memuntahkan makanan dari mulut itu, masih saya ingat. *Mungkin ini sebabnya kalau coba-coba masak hidangan gurih, hasilnya lebih sering dibilang kurang berasa. Lidah saya mungkin terlalu sensitif dengan rasa asin, sehingga bagi saya suatu makanan sudah cukup berasa, tapi tidak bagi orang lain. Daripada kebanyakan garam? Entar hipertensi kan? #NgelesDeh
Ckckckck, memang ya budaya Jawa kadang membuat kita menahan tawa miris. Ingin bersikap sopan malah membiarkan diri sendiri menderita hanya karena sebuah kata, sungkan (jangan tersinggung buat yang tidak merasa, tapi kebanyakan begitu sih). Kaki diinjak orang lain di angkot, malah diam saja atau minimal menegur dengan minta maaf duluan (harusnya yang minta maaf kan yang menginjak). Merasa lapar atau haus sangat saat bertamu, malah bilang "enggak usah repot-repot, tadi baru makan" (ya, kalau empunya rumah memang tahu si tamu cuma basa-basi, kalau empunya rumah super cuek, bisa jadi beneran kagak diambilin makanan/minuman tuh ^_*).
Hari gini jangan kan anak SD, anak TK pun sudah bisa dengan kritisnya mengomentari rasa makanan (tidak peduli siapa yang masak sekalipun ibunya sendiri), gaya berpakaian, sampai cerita sinetron. Jadi ingat salah satu pepatah yang pernah diajarkan guru saya di pesantren, "Qulil haqqa walau kaana murran". Katakanlah suatu kebenaran meskipun pahit (tidak nyaman didengar), kira-kira demikian arti pepatah arab tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar