6.
UPAYA
MENYEHATKAN GENERASI PENERUS BANGSA
Anak adalah titipan
Tuhan, yang harus kita jaga, rawat, didik, dan menjadi salah satu amanah yang
akan dipertanggungjawabkan pada Tuhan. Selain itu, anak juga merupakan aset
bangsa yang tak ternilai harganya demi memajukan sebuah negara, dan dunia pada
umumnya. Namun, itu semua sulit tercapai dan hampir mustahil jika generasi
penerus bangsa ini tidak memiliki suatu harta berharga yaitu kesehatan.
Kesehatan merupakan
salah satu hak yang seharusnya didapatkan oleh anak-anak Indonesia. Hal itu sesuai
dengan Undang-Undang RI nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Bab IX
Bagian Kedua Pasal 45 Ayat 1 – 3 yang berbunyi:
“(1) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan
merawat anak sejak dalam kandungan.
(2)
Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pemerintah wajib memenuhinya.
(3)
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pelaksanaannya dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Jelas sudah bahwa
negara pun mengatur kewajiban orang tua untuk merawat, mendidik, dan menjaga
kesehatan anak. Salah satu caranya adalah mengarahkan anak untuk memiliki pola
hidup yang sehat dan dibekali pengetahuan tentang kesehatan. Jadi kesibukan
bukanlah alasan untuk mengesampingkan kesehatan anak.
Permasalahan kesehatan
yang kerap terjadi pada anak-anak, adalah masalah gizi. Masalah gizi biasa
disebut dengan malnutrisi. Malnutrisi adalah suatu keadaan di mana terjadi
gangguan gizi, yang dapat disebabkan oleh kurangnya asupan zat gizi (kurang
gizi) atau kelebihan asupan zat gizi (kelebihan gizi). Sampai saat ini Indonesia
masih mengalami kedua jenis malnutrisi tersebut, sehingga sering disebut juga
dengan masalah gizi ganda.
Gizi kurang (undernutrition) adalah keadaan rendahnya
asupan zat gizi tertentu, dalam jangka waktu yang cukup lama. Kekurangan gizi
biasanya disebabkan berbagai masalah kemiskinan, seperti: persediaan pangan
yang kurang, kualitas lingkungan (kebersihan) kurang baik, pengetahuan gizi
yang kurang, dan lokasi daerah yang termasuk wilayah miskin gizi (misalnya
dataran tinggi yang miski akan iodium). Kekurangan gizi di antaranya: Kurang
Energi Protein (KEP), Anemia Gizi Besi/AGB (disebabkan oleh kurangnya asupan
zat besi), Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI), dan Kurang Vitamin A
(KVA).
Sedangkan kelebihan
gizi (overnutrition) pada umumnya
disebabkan kondisi ekonomi yang mengalami kemajuan, serta pengetahuan tentang
gizi dan kesehatan yang baik. Kemajuan status ekonomi masyarakat dapat
menyebabkan perubahan pola makan, dari pola makan tinggi karbohidrat, tinggi
serat, dan rendah lemak, menjadi pola makan yang rendah serat dan tinggi lemak.
Pola makan ini terjadi sejalan dengan perkembangan restoran makanan cepat saji
(fast food), yang dianggap modern. Meski terkesan modern, kebiasaan
mengkonsumsi makanan yang kaya lemak dapat menimbulkan obesitas (kegemukan) dan
meningkatkan risiko terjadinya penyakit degeneratif (Penyakit Jantung Koroner
(PJK), Diabetes Mellitus, Stroke, dan Kanker).
Dahulu kasus malnutrisi
identik dengan status sosial tertentu. Overnutrition
pada kalangan menengah ke atas, dan undernutrition
pada kalangan menengah ke bawah. Namun, saat ini tidak ada perbedaan status
sosial. Kelebihan gizi dan kekurangan gizi dapat dialami oleh semua kalangan.
Hal ini disebabkan berbagai faktor, di antaranya: gangguan metabolik,
pengetahuan gizi, penentuan prioritas kebutuhan hidup, atau akibat gaya hidup
dan aktivitas fisik.
Contohnya pada
masyarakat berpendapatan rendah bisa saja memiliki anak berbobot tubuh jauh di
atas normal, yang sering disebut sebagai obesitas. Keluarga dari kalangan
menengah ke bawah biasanya menggunakan hampir seluruh uang yang didapatnya
untuk mencukupi kebutuhan pangan. Biasanya sebagai orang tua akan mendahulukan
asupan gizi anak, jadi apabila anak memiliki nafsu makan yang besar dan tidak
dibatasi, akan menjadi obesitas. Namun ada pula penderita obesitas yang makan
sedikit/jumlah normal, tetapi berat badan dan massa lemaknya terus bertambah
tak bisa terkendali. Hal ini terjadi akibat gangguan metabolik yang menyebabkan
tubuh terus menerus menimbun lemak, tanpa melakukan pemecahan lemak.
Pada masyarakat
berpenghasilan tinggi, yang biasa disebut sebagai orang kaya, juga terdapat
kasus kurang gizi pada bayi,balita, dan anak-anak. Sebabnya bisa karena orang
tua yang tidak menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk menyediakan
pangan yang bergizi seimbang, pengetahuan gizi yang kurang, cara pemasakan dan
pemberian makan yang salah, atau akibat pengaruh budaya atau mitos-mitos yang
secara turun temurun diwariskan dalam keluarga.
Masyarakat
berpenghasilan tinggi biasanya akan lebih tertarik membeli barang-barang yang
termasuk kebutuhan sekunder atau tersier. Sedangkan untuk makanan cenderung
mementingkan rasa, padahal rasa yang lezat belum tentu menjamin ketercukupan
asupan gizi yang dibutuhkan.
Pernahkah kita melihat
ada seorang Ibu berdandan dengan riasan wajah tebal dan memakai banyak
perhiasan, namun anak tidak diberikan makanan bergizi seimbang? Atau sang Ayah
yang menyisihkan uang untuk membeli rokok, tetapi merasa sayang untuk membeli
susu untuk anak? Hal-hal seperti ini sepatutnya dihindari, karena selain anak
dapat mengalami kekurangan gizi, juga dapat menghancurkan masa depan buah hati.
Selain itu anak akan selalu meniru perilaku orang-orang di sekitarnya, terutama
orang tua. Apabila sejak kecil terbiasa melihat orang tua merokok, bukan tidak
mungkin suatu saat anak akan menjadi seorang perokok. Sudah terbukti bahwa ada
anak-anak yang usianya belum mencapai 3 tahun, tapi sudah merokok karena orang
tuanya terbiasa merokok di depan anak.
Cara pemberian makan
yang kurang tepat, misalnya saat seorang Ibu menyuapi anak balitanya. Karena
makanan yang diberikan bertekstur agak keras, maka Ibu mengunyahkannya terlebih
dahulu supaya lembut kemudian baru diberikan kepada anak. Cara ini selain
kurang higienis, juga merugikan bagi anak karena zat gizi yang terdapat dalam
makanan tersebut sudah berkurang saat dilumatkan di mulut Ibu. Lebih baik jika
memilihkan makanan yang sudah lunak atau diproses menjadi makanan lunak atau
cair.
Berkaitan dengan
budaya, sebagian masyarakat di Indonesia beranggapan bahwa Ayah sebagai kepala
keluarga dan pencari nafkah. Maka untuk menghormatinya, semua anggota keluarga
harus makan setelah Ayah makan. Untuk lauknya pun ada yang membagikan yang
besar atau yang terenak untuk Ayah, dan sisanya untuk anak dan Ibu. Seharusnya
yang menjadi prioritas adalah kebutuhan gizi setiap anggota keluarga. Anak
sangat membutuhkan zat gizi yang cukup untuk melewati masa pertumbuhan dan
perkembangannya dengan baik.
Kita tidak ingin buah
hati tersayang mengalami masalah gizi tersebut bukan? Maka terapkanlah pola
hidup sehat, dengan membiasakan mengatur pola makan yang baik. Seperti apakah
pola makan yang baik dan tepat? Pola makan yang tepat dengan berpedoman pada
Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS).
PUGS merupakan
penjabaran dari pedoman 4 sehat 5 sempurna, yang berisi pesan-pesan terkait
pencegahan masalah gizi (Almatsier, 2009). Direktorat Gizi Departemen Kesehatan
RI, mengeluarkan PUGS pada tahun 1995 sebagai alat dalam memberikan penyuluhan
pangan dan gizi kepada masyarakat luas. PUGS terdiri dari 13 pesan dasar,
yaitu:
1) Makanlah
aneka ragam makanan.
2) Makanlah
makanan untuk memenuhi kebutuhan energi.
3) Makanlah
makanan sumber karbohidrat, setengah dari
kebutuhan energi.
4) Batasi
konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kebutuhan energi.
5) Gunakan
garam beriodium.
6) Makanlah
makanan sumber zat besi (sayuran hijau, kacang-kacangan, hati, telur dan daging).
7) Berikan
Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sampai umur 6 bulan.
8) Biasakan
makan pagi.
9) Minumlah
air bersih, aman, dan cukup jumlahnya (minimal 2 liter atau sekitar 8 gelas
perhari).
10) Lakukan
kegiatan fisik dan olahraga secara teratur.
11) Hindari
minum minuman beralkohol.
12) Makanlah
makanan yang aman bagi kesehatan.
13) Bacalah
label pada makanan yang dikemas
Pada dasarnya PUGS
menganjurkan setiap individu memiliki pola makan dengan terjaminnya
keseimbangan zat gizi. Asupan zat gizi yang seimbang diperoleh dengan
mengkonsumsi aneka ragam makanan. Makanan yang beraneka ragam dikelompokkan ke
dalam 3 kategori: sumber tenaga (energi), sumber zat pembangun (protein), dan
sumber zat pengatur (vitamin dan mineral). Tidak hanya asal berbeda, melainkan
harus benar-benar seimbang. Jika tidak seimbang, akan menyebabkan berbagai
gangguan kesehatan. Seperti penyakit busung lapar yang disebabkan kurangnya
asupan energi dan protein, sembelit (konstipasi) akibat kurang konsumsi bahan
pangan mengandung serat, atau penyakit rabun senja karena kekurangan vitamin A.
Untuk memudahkan
pembagian porsi antara masing-masing kelompok bahan pangan, digunakanlah
piramida makanan seperti yang ditunjukkan gambar nomor 64.
Piramida makanan
menunjukkan bahwa untuk menentukan konsumsi bahan pangan sehari-hari, tidaklah
sembarangan. Terdapat perbandingan antar bahan pangan supaya menjadi suatu
komposisi gizi yang seimbang. Jika kekurangan atau kelebihan konsumsi salah
satu bahan pangan tersebut, biasanya akan mengalami gangguan kesehatan atau
penyakit-penyakit tertentu.
Dalam satu hari, porsi
terbesar asupan makanan didapat dari bahan pangan sumber karbohidrat. Bahan
pangan sumber karbohidrat biasanya terdiri dari makanan pokok, berupa: nasi
(beras), jagung, gandum, ubi, kentang, dan hasil olahan bahan-bahan tersebut,
seperti roti, mie, pasta, dan lain-lain. Kekurangan karbohidrat akan
menyebabkan kekurangan energi, sehingga produktivitas akan menurun. Sebaliknya
kelebihan energi dapat menimbulkan timbunan lemak di tubuh, karena karbohidrat
(glukosa) yang berlebihan dan tidak dibakar dalam bentuk aktivitas fisik akan
diubah menjadi lemak. Kondisi ini disebut sebagai obesitas (kegemukan).
Buah dan sayuran
mengandung vitamin dan mineral, serta serat yang sangat penting untuk meningkatkan
derajat kesehatan. Vitamin dan mineral seperti kita ketahui, merupakan zat yang
akan meningkatkan fungsi organ tubuh tertentu sehingga dapat mengurangi risiko
terkena penyakit. Pola makan yang baik akan sia-sia apabila saluran pencernaan
kita bermasalah. Serat berfungsi untuk melancarkan pencernaan, dengan cara
memudahkan pengeluaran sisa makanan yang tidak terserap tubuh. Apabila
kekurangan serat makanan, akan timbul masalah sembelit/konstipasi (susah buang
air besar).
Bahan pangan sumber
protein dibagi menjadi 2 jenis: protein hewani (berasal dari hewan), dan
protein nabati (berasal dari tumbuhan). Keduanya sangat penting untuk
dikonsumsi, karena protein berfungsi sebagai zat yang berperan dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Kekurangan protein yang disertai
kekurangan energy, dapat menyebabkan suatu kondisi yang sering disebut busung
lapar (Kurang Energi Protein/KEP).
Untuk lemak, minyak,
garam, dan gula, harus dibatasi konsumsinya. Kelebihan konsumsi lemak akan
meningkatkan kadar kolesterol dalam darah, yang akan memicu berbagai penyakit
berbahaya. Sedangka garam yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan darah di
atas normal, atau disebut gejala hipertensi (tekanan darah tinggi). Gula yang
berlebihan juga tidak baik, terutama bagi mereka yang mengidap penyakit
diabetes (kencing manis), atau memiliki anggota keluarga dengan penyakit
diabetes.
Kekurangan energi,
protein, dan zat-zat gizi lainnya didapat dengan mengonsumsi jenis-jenis
camilan (snack). Biasanya camilan
atau pangan jajanan diberikan pada pagi hari menjelang siang (antara pukul
09.00 – 10.00) atau sore hari (pukul 16.00 – 17.00). Beberapa di antara jenis
jajanan tradisional khas Indonesia: lemper, arem-arem, klepon, getuk, berbagai
jenis gorengan, dan jenis kolak atau makanan manis berkuah santan.
Memilih jajanan tradisional
juga harus teliti dan jeli, karena sebagian produsen menggunakan bahan-bahan
pengawet, penyedap rasa, atau pewarna yang tidak aman bagi kesehatan tubuh.
Hindari membeli makanan, yang tidak tertutup, apalagi di lingkungan yang kurang
bersih. Beberapa kasus kecacingan pada anak sering terjadi akibat sembarangan
jajan dan malas cuci tangan dengan sabun.
Banyak pula jenis
camilan atau makanan ringan kemasan, yang lebih modern dan diproduksi di
pabrik. Biasanya makanan atau minuman ringan buatan pabrik dipromosikan melalui
berbagai media massa. Anak lebih mudah menyerap informasi dari TV sebagai media
elektronik, yang biasanya paling awal diperkenalkan oleh lingkungan keluarga.
Jika terlalu lama menonton TV, kemungkinan anak menjadi korban iklan makin
besar. Hal ini akan berisiko jika pangan jajanan yang disukai anak,
membahayakan kesehatan jika terus dikonsumsi.
Kita harus sedini
mungkin menanamkan pola hidup sehat, terutama diawali dengan mengkonsumsi
makanan dan minuman yang bersih, aman, dan tidak menimbulkan penyakit.
Sepanjang akhir tahun 2010 dan awal tahun 2011 ini, terjadi keracunan makanan
dan minuman pada anak sekolah di beberapa daerah, di Indonesia. Bahkan ada
seorang anak yang sampai meninggal dunia (14 Februari 2011) setelah meminum
minuman ringan yang dibeli di warung dekat rumahnya. Apalagi kalau bukan akibat
pangan jajanan. Memang tidak semua jajanan berbahaya, tetapi melihat
kasus-kasus yang ada masihkah kita dapat tenang-tenang saja saat kesehatan anak
terancam dengan keamanan pangan jajanan?
Badan POM (2010)
melakukan suatu penelitian mengenai jajanan anak sekolah. Hasilnya cukup
mengkhawatirkan, sebab diketahui bahwa sebesar 45% dari 2.984 sampel jajanan
anak sekolah, mengandung zat-zat berbahaya. Oleh sebab itu, kita harus
mengetahui zat-zat berbahaya apa saja yang kemungkinan dikonsumsi anak melalui
pangan jajanan. Akan lebih baik jika kita menyediakan camilan sehat sebagai
pengganti pangan jajanan yang dibeli di luar rumah. Selain lebih sehat,
hubungan antar anak dan orang tua dapat terjalin lebih baik. Hal ini
dikarenakan membuat makanan atau memasak untuk anak merupakan penyaluran kasih
sayang.
Jadi, tunggu apa lagi? Mari
kita sajikan makanan dan minuman sehat untuk anak. Dimulai dengan mengurangi
jajan di luar rumah. Sediakan camilan bergizi seimbang, aman, dan bersih di
rumah. Ajak anak untuk menentukan camilan sehat yang diinginkan. Kesehatan anak
saat ini, menentukan masa depan bangsa di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Almatsier, Sunita.
2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Hidajat, Noenoek dan
Diana Damayanti. 30 Camilan Paling
Diminati Anak. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Nuraini, Henny. 2007. Memilih & Membuat Jajanan Anak yang
Sehat & Halal. Jakarta: QultumMedia.
Supariasa, I Dewa
Nyoman dkk. 2001. Penilaian Status Gizi.
Jakarta: EGC.
TimDapurDeMedia. 2008. Aneka Jajanan & Minuman Populer.
Jakarta: DeMedia.
Internet
dan lainnya:
Admin. Keamanan Pangan untuk Meningkatkan Kesehatan
Petani SPFS. Diakses dari http://database.deptan.go.id pada 14 Maret 2011.
Admin. 2002. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Diakses dari http://www.kpi.go.id pada 24
Maret 2011.
Admin. 2003. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 942/MENKES/SK/VII/2003 Tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi
Makanan Jajanan. Diakses dari http://dinkes-sulsel.go.id pada 28
Februari 2011.
Admin. 2010. Bahan
Kimia Berbahaya dan Beracun dalam Pangan. Diakses dari http://pendidikantech.blogspot.com
pada 14 Maret 2011.
Admin. 2010. 3 Bakteri Penyebab Keracunan Makanan.
Diakses dari http://majalahkesehatan.com pada 16
Maret 2011.
Admin. 2011. Bocah Tewas Keracunan Jajanan. Diakses
dari http://www.waspada.co.id
pada 26 Februari 2011.
Admin. 2011. Kyaraben Workshop. Diakses dari http://sekolahtetum.org
pada 28 Maret 2011.
Admin. 2011. Virus-virus yang Terdapat dalam Makanan.
Diakses dari http://www.food-info.net pada 16 Maret
2011.
Admin. 2011. Waspadai Bahan Tambahan Makanan. Diakses
dari http://www.lizaherbal.com
pada 14 Maret 2011.
Anonim. Bahan Tambahan Pangan. Diakses dari http://www.diskes.jabarprov.go.id
pada 14 Maret 2011.
Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia. 2003. Bahan
Tambahan Pangan. Jakarta: Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan
Pangan, dan Bahan Berbahaya.
Badan POM RI. 2007. Food Watch, Sistem Keamanan Pangan
Terpadu:Jajanan Anak Sekolah. Diakses dari http://www.pom.go.id pada 28
Februari 2011.
Devianti, dkk. Bahan Pewarna Makanan. Diakses dari http://catatankimia.com
pada 14 Maret 2011.
Dewi, Shintya Sari.
2010. Kecukupan Energi dan Protein Serta
Sumbangan Energi dan Protein dari Makanan Jajanan pada Anak SD Negeri No.
060822 Kecamatan Medan Area. Medan: Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
Fermia P, Intan. 2008. Gambaran Konsumsi Makanan Ringan pada Anak
Sekolah di SD Cakra Buana Depok. Depok: Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
Hayati, Mawar. 2009. Pengaruh Peer Edukasi Tentang Jajanan Sehat
Terhadap Perilaku Anak Usia Sekolah di Kota Lhokseumawe Nanggroe Aceh
Darussalam. Depok: Tesis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Handayani, Nila. Peran Orang Tua, Sekolah, dan Pedagang pada
Makanan Jajanan Anak. Diakses dari http://jurnal.pdii.lipi.go.id
pada 03 Maret 2011.
Judarwanto, Widodo.
2009. Perilaku Makan Anak Sekolah.
Diakses dari http://www.pdpersi.co.id pada 08 Maret
2011.
Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. 1985. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
:239/Men.Kes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan
Berbahaya: Jakarta.
Noorastuti, Pipiet Tri
& Mutia Nugraheni. 2011. Jarang
Sarapan Picu Penyakit Jantung?. Diakses dari http://kosmo.vivanews.com
pada 29 Maret 2011.
Priska, Siagian. Membuat Anak Makan Sehat dengan Sukarela.
Diakses dari http://www.preventionindonesia.com
pada 16 Maret 2011.
Purtiantini. 2010. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Mengenai
Pemilihan Makanan Jajanan dengan Perilaku Anak Memilih Makanan di SDIT
Muhammadiyah Al Kautsar Gumpang Kartasura. Surakarta: Skripsi Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah.
Purwantiningsih, Emma.
2006. Beberapa Faktor yang Berhubungan
dengan Pemilihan Jenis Makanan Jajanan di Sekolah Studi pada Siswa SDN Gemolong
2 Kecamatan Gemolong Kabupaten Sragen. Diakses dari http://eprints.undip.ac.id
pada 02 Februari 2010.
Raharjo, Teguh Budi.
2008. Pengaruh Iklan Makanan Ringan
Terhadap Sikap Konsumtif Anak-anak SD. Seminar Hasil Penelitian &
Pengabdian kepada Masyarakat, UNILA diakses dari http://galuhindrawati.site50.net
pada 08 Maret 2011.
Suci, Eunike Sri Tyas.
2009. Gambaran Perilaku Jajan Murid
Sekolah Dasar di Jakarta. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Katolik
Atma Jaya.
Supriadi, Kuat. 2006. Hubungan Sikap Ibu Terhadap Iklan Makanan
Jajanan di Televisi dengan Pemilihan Makanan Jajanan Untuk Anak Balita Di Desa
Karangtengah Kecamatan Sampang Kabupaten Cilacap. Diakses dari http://digilib.unimus.ac.id
pada 01 Februari 2010.
Susilo, Wiwik. Jangan Biarkan Anak Jajan Sembarangan.
Diakses dari http://berita.liputan6.com pada 28
Februari 2011.
Tarsidi, Didi. Peranan Hubungan Teman Sebaya dalam
Perkembangan Kompetensi Sosial Anak. Diakses dari http://file.upi.edu pada 08
Maret 2011.
Yulianingsih, Pratiwi.
2009. Hubungan Pengetahuan Gizi dengan
Sikap Anak Sekolah Dasar dalam Memilih Makanan Jajanan di Madrasah Ibtidaiyah
Tanjunganom, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri. Surakarta: Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah.