Dunia anak-anak memang tidak ada habisnya untuk diperbincangkan. Saya sendiri sebelumnya pernah menulis beberapa artikel (sekalian curcol), yang berhubungan dengan anak-anak, tidak terkecuali mereka yang masih disebut Balita. Baik fenomena yang terjadi di masyarakat, pengalaman saat saya kecil, atau ketika saya berinteraksi dengan sepupu dan keponakan yang imut, lucu, cerdas, dan kadang cukup menguji kesabaran saat menghadapi mereka. Di bawah ini beberapa tulisan yang saya maksud:
Dua belas tulisan? Belum mencapai puluhan sih, tetapi saya sendiri baru sadar bahwa ada lebih dari 10 tulisan (non fiksi) yang berhubungan dengan anak-anak. Dulu, atau bahkan mungkin sampai saat ini, ada saja suatu masa ketika anak-anak berceloteh ingin segera menjadi orang dewasa. Saya sendiri pernah berpikir demikian, hanya karena alasan sepele. Tidak ingin lagi mengerjakan PR yang setiap hari diberikan oleh para guru. Padahal orang dewasa itu lebih rumit, lebih banyak tanggung jawabnya, dan ada titik jenuh di mana orang dewasa kembali merindukan masa kecil. Saat sudah mencapai usia dewasa, tiba-tiba ingin menjadi anak kecil lagi, yang tidak punya beban pikiran ini dan itu, serta tanpa malu menangis lalu lima menit kemudian tertawa bahagia.
Tapi bukan keinginan menjadi anak kecil lagi, yang akan saya bahas. Kain ajaib yang bisa membuat kita jadi bayi kembali, cuma ada di komik karangan Fujiko F. Fujio (Bukti bahwa penulis mati memang meninggalkan karya. Komik dan kartun Doraemon masih tetap dikenal anak-anak masa kini). Mustahil kan balik lagi ke dalam perut ibu, atau tiba-tiba terbangun dengan pakaian sudah kedodoran akibat badan yang menyusut seperti Shinichi Kudo? #KenapaJadiBahasKomik?
Inti dari artikel kali ini adalah, siapa pun orangnya, anak kecil sekali pun yang kita temui, mereka akan memberikan pelajaran penting untuk kita. Terinspirasi dari kisah nyata (kayak opening di film ceritanya) yang terjadi hari Minggu lalu. Saat rumah kami kedatangan tamu-tamu kecil berjumlah 4 orang. Yang paling besar perempuan kelas 4 SD, kemudian murid TK B yang centilnya hampir sepadan sama cerdasnya, dan 2 balita cewek dan cowok.
Apa sih pelajaran dari hari itu? Saya lebih menekankan kepada yang TK dan balita ya, soalnya yang kelas 4 SD kan sudah bisa diberi tahu cukup dengan kata-kata. Beda sama para Balita, yang kadang lebih dari sekedar kata-kata, tapi bagaimana cara kita menyampaikannya.
Jika ada banyak jenis mainan di hadapan mereka, tetap yang diperebutkan hanya satu. Misalnya saat yang satu bermain Lego, maka yang lain akan ikut memperebutkannya, padahal masih ada boneka dan buku mewarnai+krayon yang nganggur. Begitu juga sebaliknya saat yang satunya bosan, dan meninggalkan Lego, yang lain ikut-ikutan lagi. Memperebutkan objek yang berbeda, dan terulang lagi berantem khas mereka.
Begitu juga masalah perhatian orang dewasa di sekitarnya, sama-sama tidak mau kalah merengek minta ditemani bermain. Hehe senang sih, lumayan jadi berasa bocah lagi main bareng mereka, tapi harus hati-hati bersikap dan sebisa mungkin adil, supaya mereka enggak berantem atau ada yang merasa kurang diperhatikan. Walaupun mereka sebenarnya keponakan, tapi memanggil saya dengan sebutan Kakak/Mbak. Jadi sebentar-sebentar terdengarlah rengekan "Kak, kak, kak."
Saya dulu juga pernah membaca artikel tentang mengatasi anak yang tidak mau makan. Artikel tersebut menyebutkan tidak perlu adanya pemaksaan, karena bisa berakibat trauma dan membuat anak membenci aktivitas makan. Caranya adalah biarkan saja anak bermain atau melakukan hal yang disukainya, hentikan membujuk anak untuk makan. Maka siang itu saya makan duluan dengan keponakan yang kelas 4 SD. Serta membiarkan balita yang perempuan dan yang masih TK B, tetap bermain dan mewarnai tanpa ditemani.
Setelah saya selesai makan, saya iseng bertanya ke ponakan yang sudah TK B, dengan tersenyum dan bicara dengan nada sok imut. "Yakin nih enggak mau makan?" Mungkin karena sudah merasa lapar, dia pun mengangguk dan malu-malu berkata mau makan asalkan disuapin sama Bunda. Setelah yang satu mau makan, balita perempuan yang satunya lagi, juga ikut-ikutan mau makan. Memang sih sempat ditakut-takutin kalau tidak mau makan, nanti enggak diajak berenang. Tapi menurut saya yang membuat mereka mau makan, bukan ancaman itu. Soalnya dari awal sudah diancam (secara halus lah) seperti itu, enggak ada pengaruhnya. Tetap keukeuh menolak makanan yang sudah berada di depan mulut. Hal tersebut terjadi karena saat pertama ditawari makan, mereka belum merasa lapar. Setelah puas bermain, barulah mereka merasa lapar dan butuh makanan. Jadi lebih mudah membujuknya.
Terbukti artikel yang pernah saya baca itu benar. Jadi pemaksaan yang kadang dilakukan dengan alasan kebaikan anak (takut kebutuhan gizi tak terpenuhi), tidak dapat dibenarkan. Memang sih orang tua kadang saking lelahnya dan pusing menghadapi anak, maka terkadang lupa untuk bersikap lembut pada anak. Wajar karena itu semua demi kebaikan anaknya. Saya sama sekali tidak berhak membahas ini secara panjang lebar karena belum berpengalaman. #TakutKualat
Satu hal lagi, yaitu saat anak-anak hampir marah atau menangis, baik saat berantem atau kejadian kekerasan tidak sengaja yang mereka alami, bisa dicegah dengan cara mengalihkan perhatian mereka. Tetapi saya sendiri tidak tahu apakah ini bagus untuk perkembangan mentalnya, karena ada emosi yang semestinya dikeluarkan tiba-tiba ditahan/dialihkan ke hal lain.
Di kolam renang yang dangkal, saya bertiga dengan keponakan yang masih TK B dan balita perempuan. Menemani mereka sekaligus mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi begini ceritanya, mereka sempat bertabrakan antara tangan dan muka. Sekilas tampak wajah mereka tegang, dan saya pikir sebentar lagi akan ada perang disusul tangisan ala bocah. Maka jurus jayus dapat dikeluarkan jika kita berada di situasi serupa.
Jayus? Maksud L? Iya, melakukan hal apa pun yang menurut kita sangat tidak lucu tapi seenggaknya bisa buat anak kecil tertawa atau minimal senyum lah. Maka, saat itu refleks saya pun segera membentuk huruf "V" dengan jari tangan, sambil berkata "Peace ^_^....." Dan wajah tegang mereka pun sirna menjadi tawa lepas. Fiuhhh.... Lega, enggak kebayang gimana nanti bikin berhenti nangis kalau mereka benar-benar emosi? Secara, seakrab apa pun saya dengan mereka, tetap saja itu pertemuan pertama kami yang benar-benar saling kenal. Dulu mereka masih pada belajar jalan, pasti sudah lupa dengan wajah apalagi nama saya. Makasih adik-adik, eh keponakan-keponakanku atas hari Minggu kemarin. #MasihLupaSamaUmur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar